Translate

Jumat, 01 Juli 2016

Kisah Lebaranku... Dulu...



Lebaran adalah saat yang paling saya tunggu-tunggu, terutama ketika masih kecil dulu. Lebaran adalah moment yang sangat spesial, karena kami melakukan rutinitas yang berbeda dengan hari-hari biasanya, dan itu membuat saya selalu bersemangat menyambutnya.

Beberapa minggu sebelum lebaran tiba, biasanya Ibu dan Mbak yang membantu di rumah sudah sibuk membuat kue-kue lebaran, yang kemudian dilanjut dengan membuat masakan yang enak-enak untuk hantaran tetangga, beberapa hari menjelang lebaran.
Di lingkungan tempat tinggal saya memang memiliki tradisi saling mengirimkan hantaran untuk tetangga setiap menjelang lebaran. Lucunya, masakan yang dihantarkan seringkali sama, misalnya sambel goreng hati, tumis buncis, bakmi goreng, dan ayam goreng.
Pernah terjadi ada 2 rumah yang memasak untuk hantaran pada hari yang sama. Alhasil, kami semua jadi memiliki makanan dalam jumlah yang berlebih-lebihan. Tetapi di lebaran-lebaran berikutnya, kejadian memasak di hari yang sama itu tidak pernah terjadi lagi. Entahlah, mungkin ibu-ibu di lingkungan saya tersebut lalu membuat jadwal siapa yang hari ini akan memasak untuk hantaran. Mungkiinn... lho ya....
Di sela-sela kesibukan itu, Ibu juga akan menyempatkan diri  membeli baju baru untuk saya dan Adik. Pernah juga membeli kain, lalu mengajak saya dan Adik pergi ke tukang jahit untuk membuat baju lebaran. Pokoknya ketika itu, tiada lebaran tanpa baju baru. Hihihi.....
Kebiasaan membeli baju baru itu lalu berhenti ketika saya duduk di bangku SMA (kalau tidak salah). Ketika itu Ibu akan bertanya, mau dibelikan baju atau diberikan mentahnya saja? Dan tentu saja saya memilih mentahnya saja, hahaha..... tapi kalau tidak salah, Ibu tetap membelikan baju baru untuk Adik.
Keseruan menyambut lebaran berlanjut dengan acara mudik ke rumah nenek. Nenek memiliki 9 orang anak yang semuanya berkumpul ketika lebaran tiba. Bisa dibayangkan berapa ramainya kan?
Dan salah satu tradisi yang saya suka di desa Nenek adalah malam takbiran.
Di malam itu sehabis sholat Isya di mesjid saya pasti akan ikut takbiran berkeliling desa sambil membawa obor. Seru sekali.
Saya tidak tahu sampai jam berapa takbiran keliling itu berlangsung. Biasanya, setelah malam cukup larut, maka anak-anak akan diantar pulang ke rumah masing-masing, sementara orang-orang dewasa, entahlah apa mereka melanjutkan tabiran keliling ataukah kembali ke masjid.
Meskipun diharuskan pulang ketika belum puas berkeliling desa, saya tidak terlalu kecewa. Tahu kenapa? Karena di rumah Nenek juga ada kegiatan yang tidak kalah menyenangkannya.
Para bibi berkumpul di ruang tengah, menggelar tikar dan duduk mengelilingi sebuah baskom besar berisi jenang, dodol, dan wajik berwarna pink. Para bibi membungkus makanan itu dalam ukuran kecil-kecil dengan kertas minyak berwarna-warni. Biasanya kami yang masih kecil-kecil berniat untuk membantu, tapi oleh para bibi malah dianggap ngrusuhi (mengganggu). Lalu kami akan disuruh untuk masuk kamar dan tidur. Tapi kami tetap happy, membayangkan keseruan lebaran yang akan berlanjut esok hari.
Keesokan harinya kami berlomba untuk bangun lebih pagi, karena harus antri memakai kamar mandi. Setelah mandi, kami lalu berdandan rapi, memakai baju lebaran yang sudah disiapkan jauh-jauh hari.
Di hari lebaran, seluruh rumah di desa nenek melakukan open house. Mereka juga menyiapkan uang recehan untuk anak-anak yang datang bersilaturahmi. Semua anak yang ada di desa nenek biasanya sudah menyiapkan dompet khusus untuk menampung uang-uang receh yang akan didapat. Semakin banyak uang yang diperoleh maka akan semakin berat dompetnya. Hahaha... beda dengan jaman sekarang ya, berapa banyakpun uang yang diterima, dompetnya tetap enteng, lha wong sekarang orang memberi uang lebaran pakai uang kertas dua ribuan.
Biasanya kami, maksudnya saya dan para sepupu yang sebaya, akan pulang saat jam makan siang. Lalu bersama-sama menghitung perolehan yang didapat hari itu. Siapa yang jumlah uangnya paling banyak, maka dialah yang menang. Hahaha... seru sekali pokoknya lebaran di masa kecil saya.
Di masa sekarang, entahlah, saya merasa greget lebaran sudah jauh berkurang. Sekarang tidak ada lagi acara membuat kue di keluarga saya. Banyaknya penjual kue lebaran yang menjamur membuat kami lebih memilih praktisnya saja. Para sepupu yang ketika kecil dulu begitu kompak sekarang sudah sama-sama dewasa dan memiliki kesibukan masing-masing. Bahkan seringkali tidak mudik lagi ke rumah nenek saat lebaran tiba.
Sungguh saya merindukan masa itu. Masa ketika lebaran menjadi moment terindah yang selalu saya tunggu-tunggu.
http://www.andariyuan.com/2016/06/1st-ga-ceritalebaran.html?m=1

6 komentar:

  1. Terima kasih, Mbak Rita. Ngomongin tentak wajik, saya jadi inget kebiasaan nenek saya dulu, selalu tersedia wajik saat lebaran tiba. Terima kasih, ya, partisipasinya. ;)

    BalasHapus
  2. Terima kasih, Mbak Rita. Ngomongin tentak wajik, saya jadi inget kebiasaan nenek saya dulu, selalu tersedia wajik saat lebaran tiba. Terima kasih, ya, partisipasinya. ;)

    BalasHapus
  3. Biasanya menjelang lebaran saya bikin kue sama anak-anak. Tapi tahun ini tidak.

    Benar mbak, pilih praktis dengan membeli ya.

    BalasHapus
  4. cerita lebaran masa kecil memang seru dan tak ada habisnya

    BalasHapus
  5. Kebayang ramainya, Mba. Mama mertuaku juga 9 bersaudara (kalo gak salah ingat). Jadi tiap mudik dulu, ya ampun rame banget krn masing-masing saudara mama bawa anak-anaknya juga. Selamat Lebaran ya, Mba ^^

    BalasHapus
  6. iya kalau sekarang serba praktis. Jaid kangen sama suasana lebaran saat maish kecil

    BalasHapus