Lebaran
adalah saat yang paling saya tunggu-tunggu, terutama ketika masih kecil dulu.
Lebaran adalah moment yang sangat spesial, karena kami melakukan rutinitas yang
berbeda dengan hari-hari biasanya, dan itu membuat saya selalu bersemangat
menyambutnya.
Beberapa
minggu sebelum lebaran tiba, biasanya Ibu dan Mbak yang membantu di rumah sudah
sibuk membuat kue-kue lebaran, yang kemudian dilanjut dengan membuat masakan
yang enak-enak untuk hantaran tetangga, beberapa hari menjelang lebaran.
Di
lingkungan tempat tinggal saya memang memiliki tradisi saling mengirimkan
hantaran untuk tetangga setiap menjelang lebaran. Lucunya, masakan yang
dihantarkan seringkali sama, misalnya sambel goreng hati, tumis buncis, bakmi
goreng, dan ayam goreng.
Pernah
terjadi ada 2 rumah yang memasak untuk hantaran pada hari yang sama. Alhasil,
kami semua jadi memiliki makanan dalam jumlah yang berlebih-lebihan. Tetapi di
lebaran-lebaran berikutnya, kejadian memasak di hari yang sama itu tidak pernah
terjadi lagi. Entahlah, mungkin ibu-ibu di lingkungan saya tersebut lalu
membuat jadwal siapa yang hari ini akan memasak untuk hantaran. Mungkiinn...
lho ya....
Di
sela-sela kesibukan itu, Ibu juga akan menyempatkan diri membeli baju baru untuk saya dan Adik. Pernah
juga membeli kain, lalu mengajak saya dan Adik pergi ke tukang jahit untuk
membuat baju lebaran. Pokoknya ketika itu, tiada lebaran tanpa baju baru.
Hihihi.....
Kebiasaan
membeli baju baru itu lalu berhenti ketika saya duduk di bangku SMA (kalau
tidak salah). Ketika itu Ibu akan bertanya, mau dibelikan baju atau diberikan
mentahnya saja? Dan tentu saja saya memilih mentahnya saja, hahaha..... tapi
kalau tidak salah, Ibu tetap membelikan baju baru untuk Adik.
Keseruan
menyambut lebaran berlanjut dengan acara mudik ke rumah nenek. Nenek memiliki 9
orang anak yang semuanya berkumpul ketika lebaran tiba. Bisa dibayangkan berapa
ramainya kan?
Dan
salah satu tradisi yang saya suka di desa Nenek adalah malam takbiran.
Di
malam itu sehabis sholat Isya di mesjid saya pasti akan ikut takbiran
berkeliling desa sambil membawa obor. Seru sekali.
Saya
tidak tahu sampai jam berapa takbiran keliling itu berlangsung. Biasanya,
setelah malam cukup larut, maka anak-anak akan diantar pulang ke rumah
masing-masing, sementara orang-orang dewasa, entahlah apa mereka melanjutkan
tabiran keliling ataukah kembali ke masjid.
Meskipun
diharuskan pulang ketika belum puas berkeliling desa, saya tidak terlalu
kecewa. Tahu kenapa? Karena di rumah Nenek juga ada kegiatan yang tidak kalah
menyenangkannya.
Para
bibi berkumpul di ruang tengah, menggelar tikar dan duduk mengelilingi sebuah
baskom besar berisi jenang, dodol, dan wajik berwarna pink. Para bibi
membungkus makanan itu dalam ukuran kecil-kecil dengan kertas minyak
berwarna-warni. Biasanya kami yang masih kecil-kecil berniat untuk membantu,
tapi oleh para bibi malah dianggap ngrusuhi
(mengganggu). Lalu kami akan disuruh untuk masuk kamar dan tidur. Tapi kami
tetap happy, membayangkan keseruan
lebaran yang akan berlanjut esok hari.
Keesokan
harinya kami berlomba untuk bangun lebih pagi, karena harus antri memakai kamar
mandi. Setelah mandi, kami lalu berdandan rapi, memakai baju lebaran yang sudah
disiapkan jauh-jauh hari.
Di
hari lebaran, seluruh rumah di desa nenek melakukan open house. Mereka juga menyiapkan uang recehan untuk anak-anak
yang datang bersilaturahmi. Semua anak yang ada di desa nenek biasanya sudah
menyiapkan dompet khusus untuk menampung uang-uang receh yang akan didapat.
Semakin banyak uang yang diperoleh maka akan semakin berat dompetnya. Hahaha...
beda dengan jaman sekarang ya, berapa banyakpun uang yang diterima, dompetnya
tetap enteng, lha wong sekarang orang memberi uang lebaran pakai uang kertas
dua ribuan.
Biasanya
kami, maksudnya saya dan para sepupu yang sebaya, akan pulang saat jam makan
siang. Lalu bersama-sama menghitung perolehan yang didapat hari itu. Siapa yang
jumlah uangnya paling banyak, maka dialah yang menang. Hahaha... seru sekali
pokoknya lebaran di masa kecil saya.
Di
masa sekarang, entahlah, saya merasa greget
lebaran sudah jauh berkurang. Sekarang tidak ada lagi acara membuat kue di
keluarga saya. Banyaknya penjual kue lebaran yang menjamur membuat kami lebih
memilih praktisnya saja. Para sepupu yang ketika kecil dulu begitu kompak
sekarang sudah sama-sama dewasa dan memiliki kesibukan masing-masing. Bahkan
seringkali tidak mudik lagi ke rumah nenek saat lebaran tiba.
Sungguh
saya merindukan masa itu. Masa ketika lebaran menjadi moment terindah yang
selalu saya tunggu-tunggu.
Terima kasih, Mbak Rita. Ngomongin tentak wajik, saya jadi inget kebiasaan nenek saya dulu, selalu tersedia wajik saat lebaran tiba. Terima kasih, ya, partisipasinya. ;)
BalasHapusTerima kasih, Mbak Rita. Ngomongin tentak wajik, saya jadi inget kebiasaan nenek saya dulu, selalu tersedia wajik saat lebaran tiba. Terima kasih, ya, partisipasinya. ;)
BalasHapusBiasanya menjelang lebaran saya bikin kue sama anak-anak. Tapi tahun ini tidak.
BalasHapusBenar mbak, pilih praktis dengan membeli ya.
cerita lebaran masa kecil memang seru dan tak ada habisnya
BalasHapusKebayang ramainya, Mba. Mama mertuaku juga 9 bersaudara (kalo gak salah ingat). Jadi tiap mudik dulu, ya ampun rame banget krn masing-masing saudara mama bawa anak-anaknya juga. Selamat Lebaran ya, Mba ^^
BalasHapusiya kalau sekarang serba praktis. Jaid kangen sama suasana lebaran saat maish kecil
BalasHapus