Translate

Jumat, 03 Juni 2016

Langkah Saya Menuntun Anak Menjadi Manusia Yang Bahagia



Adakah orang tua yang tidak ingin melihat anak-anaknya sukses, kelak di masa dewasanya? Tinggal di rumah bagus, punya mobil bagus, memakai pakaian-pakaian bagus. Rasanya mustahil jika ada orang tua yang tidak menginginkan anaknya seperti itu.

Begitupun saya. Sebagai orang tua, tentu saya menginginkan dan mendoakan agar kelak Raki dan Rafka hidup berkecukupan, bahagia dan sejahtera.
Banyak hal yang saya lakukan untuk mewujudkan impian tersebut, mulai dari cerewet menceramahi Raki untuk rajin belajar supaya kelak bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus, membiasakan mereka menabung dan berhemat, sampai membekali mereka, terutama Raki untuk saat ini, dengan beberapa skill tambahan untuk berjaga-jaga seandainya di masa mereka kelak persaingan sudah terlampau ketat dan pekerjaan sulit didapat.
Awalnya, saya merasa paling tidak itu akan lumayan membantu di masa dewasa mereka nanti.
Namun ternyata, hidup itu jauh lebih kompleks dari pada sekedar hidup berkecukupan (baca: kaya).
Saya mulai sering merenungkan, bagaimana seandainya ternyata Allah membuatkan skenario yang berbeda untuk Raki dan Rafka kelak? Bagaimana jika nanti mereka tidak berhasil mendapatkan pekerjaan yang bagus, rumah bagus, dan uang yang banyak? Mungkinkah mereka akan menjadi stress dan depresi karenanya? Mungkinkah mereka nanti akan menganggap diri mereka sendiri sebagai manusia yang gagal?
***
Sebelum dilanjutkan, saya mau sedikit bercerita tentang sebuah rumah di belakang pasar, dekat rumah saya.
Rumah tersebut tampak tua, tidak terawat, agak jauh dari tetangga, dan ada sebuah pohon besar di dekatnya. Terus terang kalau saya, saya tidak akan mau tinggal di rumah tersebut. Ketika itu kami sedang mengantarkan teman suami mencari rumah kontrakan, dan menemukan rumah itu. Dan seperti dugaan saya, teman suami pun juga enggan tinggal di situ, yang akhirnya mendapatkan rumah kontrakan di sebuah kompleks perumahan.
Bulan berganti, rumah di belakang pasar itu akhirnya ditempati oleh sepasang suami istri muda yang belum memiliki anak. Sepasang suami istri yang sungguh sederhana dan bersahaja. Sang istri mencari uang dengan membuat kue-kue kecil yang kemudian dititipkan di warung-warung tetangga. Si suami kabarnya berjualan tahu, tapi saya belum pernah melihatnya berjualan karena memang tidak terlalu memperhatikan.
Dan mungkin karena belum memiliki anak, mereka berdua lalu mengundang anak-anak tetangga sekitar ke rumah itu setiap sore untuk belajar mengaji.
Rumah yang dulu membuat saya bergidik ketika melihatnya, rumah yang dulu saya pandang sebelah mata, kini justru menjadi tempat Raki dan Rafka mengaji.
Rumah itu kini tampak bersih dan nyaman. Dan yang pasti, ada aura kebahagiaan yang saya rasakan di sana, di rumah sederhana, yang ditempati oleh pasangan suami istri sederhana.
Jadi, apa yang tertangkap oleh hati saya dari hal ini?
Hmm... rupanya bahagia atau tidaknya seseorang itu bukan semata-mata dari pekerjaan yang bagus dan uang yang banyak. Saya belajar dari pasangan suami istri itu, bahwa bahagia akan datang ketika kita sanggup menerima apapun yang Allah skenario-kan untuk kita. Dan bahagia akan berlimpah ruah, ketika kita mau menyebarkan kebaikan dan manfaat untuk orang-orang di sekeliling kita.
***
Jadi apakah impian saya untuk masa depan anak-anak lalu berubah haluan..?
Jujur sih... Iya.
Memang saya tetap cerewet meminta Raki untuk rajin belajar. Tapi itu supaya kelak dia bisa menyebarkan kebaikan dan manfaat untuk orang-orang di sekitarnya. Seperti pasangan suami istri itu.
Saya juga tetap menekankan pentingnya menabung dan berhemat, itu supaya kelak mereka bisa lebih leluasa untuk menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan.
Dan saya menambahkan beberapa hal supaya Raki dan Rafka kelak mendapatkan kebahagiaan yang sebenar-benarnya:
1.   Menekankan kepada mereka bahwa sebenarnya hidup itu indah, asalkan kita selalu berada di jalur yang sudah ditetapkan oleh Allah.
2.   Membiasakan Raki dan Rafka untuk selalu berlapang dada ketika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Ini masih sulit, terutama untuk Rafka. Kalau Raki sedikit-sedikit sudah mulai bisa mengendalikan emosi dan perasaannya ketika  merasa ada sesuatu yang menyebabkannya sedih, kesal, atau marah. Saya selalu mengatakan kepada mereka bahwa jika kita bisa bersabar terhadap sesuatu yang membuat perasaan kita tidak nyaman, maka Allah akan memberikan hadiah yang sangat indah. “Mama tidak tahu hadiahnya apa, tapi yang pasti hadiah itu akan membuat kita semua sangat bahagia.”  Untuk saat ini, kalimat itu terasa efektif karena Raki terlihat begitu berusaha untuk bisa mengendalikan perasaannya yang tadinya begitu cepat marah karena hal-hal kecil yang (bagi saya) tidak begitu penting.
3.   Berusaha mengendalikan keinginan-keinginan mereka terutama yang menyangkut benda-benda keduniawian (kalau ini sih bukan anak-anak saja yang berusaha saya kendalikan, tapi saya sendiri juga, hehe...) Jadi saya tanamkan pemahaman kepada Raki dan Rafka bahwa di dalam diri mereka terdapat 2 hal, yaitu keinginan akan sesuatu, dan kebutuhan akan sesuatu. Di usia mereka terkadang masih suka bingung menentukan atara kedua hal itu. Satu contoh: belum lama ini Raki merengek minta dibelikan tas sekolah baru yang berwarna hitam. Alasannya adalah karena dia malu memakai tas berwarna biru yang ada gambarnya, sementara teman-temannya memakai tas berwarna hitam dan polos. Raki merasa ‘butuh’ tas berwarna hitam supaya tidak dikatakan ‘seperti anak kecil’ oleh teman-temannya. Saya kembali menjelaskan bahwa yang seperti itu sebenarnya hanyalah keinginannya saja. Hal itu akan berubah menjadi kebutuhan apabila tas birunya sobek sehingga tidak bisa digunakan lagi. Alhamdulillah Raki mengerti dan tidak minta dibelikan tas lagi. Etapi emaknya ini yang lalu merasa trenyuh dan kasihan... akhirnya tas hitam itu dibeli juga. Dan komentar Raki ketika itu adalah: “Benar juga ya Ma, Allah akan memberikan hadiah ketika kita bersabar terhadap sesuatu yang membuat hati kita merasa tidak nyaman...” Hehe... semoga poin nomer 2 itu benar-benar meresap ke dalam jiwanya.
4.   Selalu mengingatkan untuk mensyukuri segala nikmat dan kesenangan yang mereka rasakan sekecil apapun bentuknya. Itu akan membuat mereka selalu berpikir positif bahkan ketika kesulitan tengah melanda (semoga).
5.   Mengajak mereka untuk bersama-sama menebarkan sayang dan kasih kepada orang-orang di sekeliling mereka, itu akan membuat mereka belajar mencintai dan merasa dicintai. Menurut saya, perasaan mencintai dan dicintai ini memegang peranan penting untuk membuat seseorang merasa bahagia.
6.   Menanamkan pemahaman kepada mereka (terutama Raki untuk saat ini) bahwa setiap sakit, musibah, dan kesusahan itu semata-mata hanyalah karena Allah begitu sayang dan sedang memberikan ujian untuk menaikkan level keimanan atau mungkin sedang mengangkat dan menghapus dosa-dosa kita (Aamiin...)
7.   Menanamkan pemahaman bahwa masih ada akherat setelah dunia. Sebenarnya yang ini saya baru akan membicarakan dengan Raki saja. Tapi rupanya Rafka pun seringkali ikut menyimak dan sepertinya dia mulai sedikit paham juga.
Jadi intinya, jangan terlalu diambil pusing jika kita mungkin tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan di dunia. Memang di dunia itu penuh kesusahan, penderitaan, dan ketidak-nyamanan. Tapi jika kita ikhlas menerima itu semua, selalu dan tetap mendekatkan diri padaNya, selalu dan tetap berada di jalanNya... insyaAllah kita akan mendapatkan kebahagiaan dan tempat terindah di akherat kelak (Aamiin).

Dalam menerapkan hal-hal yang saya sebutkan di atas tentu saja membutuhkan waktu dan proses yang tidak sebentar. Perlu sekali untuk terus mengulang dan mengulang apa yang pernah  saya sampaikan supaya hal-hal tersebut tertanam dengan kuat dalam jiwa mereka.
Bahagia itu gratis, tetapi terkadang begitu sulit menemukannya. Semoga apa yang saya lakukan sekarang akan membawa Raki dan Rafka menuju kebahagiaan mereka yang sebenar-benarnya.
Sekarang, saya tidak lagi mendidik anak-anak saya untuk menjadi kaya, tetapi menjadi bahagia. Karena tidak semua orang kaya bisa merasakan kebahagiaan yang sebenar-benarnya bahagia. Sementara orang yang bahagia, tidak peduli dia dalam keadaan miskin atau kaya, dia akan tetap bersyukur dan bahagia.
Tentu saya tetap meminta anak-anak saya melakukan semua yang terbaik yang mereka bisa. Jika ternyata kelak mereka tidak ditakdirkan untuk menjadi orang kaya, insyaAllah mereka akan tetap menjadi orang yang bahagia. Dan seandainya ternyata Allah mentakdirkan mereka menjadi orang kaya... wah, Alhamdulillah ya......

* Saya banyak belajar dari pasangan  suami istri itu.
* Allah seperti mengirimkan mereka untuk membuka hati dan pikiran saya.
* Malu sebenarnya, saya yang setua ini harus belajar pada pasangan semuda mereka ^_^

4 komentar:

  1. dalam diri kita selalu ada bahagia asal kita merasakan kebahagiaan itu hanya ada pada diri kita sendiri, bukan karena yang lain

    BalasHapus
  2. Setuju, Mbak. Yang pentings ellau merasa bahagia. Karena bahagia termausk ungkapan rasa syukur juga :)

    BalasHapus
  3. Definisi kebahagiaan itu memang relatif ya mbak, tergantung dari standart masing-masing pribadi. Tapi intinya cuma satu,,,,rasa syukur,,, :)
    oiya,,,,salam kenal ya mbak :)

    BalasHapus
  4. Baru kali ini bunda baca postingan sampai gak ada yang terlewat. Tampilan penulisannya apik banget -- ada indented untuk setiap para, serasa lagi membaca novel, hehe... Koq bisa sih pake indented, Rita? Kalo bunda belum bisa tuh menulis postingan dengan indented untuk setiap paragraf. Pengetikan rapih typo cuma di point 2 doank "atara" untuk "antara" lho3x koq bunda jadi fokus ke penulisan, ya? hehe...maaf. Postingan Rita ini sangat bermanfaat, memang selalu ada yang harus dimenangkan di antara yang dua itu: keinginan dan kebutuhan. Semoga Raki dan Rafka jadi anak-anak yang soleh dan pintar dan bisa dibanggakan oleh orangtua. Aamiin.

    BalasHapus