Gambar dari PIXABAY |
Part sebelumnya di sini.
Rara
masih bertanya-tanya siapa anak itu, ketika... tiba-tiba... anak laki-laki itu
menoleh dan memandang tajam ke arahnya.
Jantungnya
bagai berhenti berdetak. Rara ingin mengalihkan pandang, tapi tak bisa. Matanya
seperti terus dipaksa untuk melihat ke sana. Melihat wajah anak laki-laki
seusianya yang begitu pucat menyeramkan di bawah temaram cahaya lampu beranda.
Mungkin
Rara akan pingsan jika saja saat itu Ibu tidak masuk ke kamarnya dan bertanya
apa yang sedang di lihatnya di luar sana. Rara akhirnya berkedip dan anak laki-laki
itu hilang dalam sekerjapan mata.
Dan
malam ini, saat jam mulai menunjukkan lewat tengah malam dan matanya belum
mampu juga terpejam, dia mulai bertanya-tanya akankah suara anak laki-laki yang
memanggil-manggil Rani itu akan didengarnya lagi? Apakah dia datang setiap
malam, atau hanya sekali itu saja di malam ketika Rara melihatnya?
Rara
bergidik ngeri membayangkan anak laki-laki itu sedang berada di teras saat ini.
Dengan wajah pucat dan lingkaran mata yang berwarna hitam keunguan, berdiri di
bawah cahaya lampu teras yang remang-remang, sambil memanggil-manggil Rani.
Hiiiyyyy....
Rara sekuat tenaga menepis pikirannya yang menakutkan, menarik selimut hingga
ke atas kepalanya.... dan.... benar saja..... akhirnya dia mendengarnya...
“Raaa
niii..... Raaa... niiii......”
***
Rani
terus saja berjalan. Dalam hati bertanya-tanya kenapa mimpinya tak kunjung
usai? Meski tak merasakan lelah, tapi Rani tahu bahwa dia sudah berjalan cukup
lama.
Akhirnya
langkahnya terhenti saat matanya menangkap seseorang berdiri di kejauhan. Di antara
pepohonan, seperti sedang sengaja menunggunya datang.
Rani
mempercepat langkahnya, ingin tahu siapa gerangan yang berdiri di sana.
Seorang
anak laki-laki. Menjelang remaja, mungkin seusia Rara. Rani merasa familiar dengan wajahnya.
Ah
ya, Rani ingat sekarang. Dia adalah salah satu teman SD-nya dulu, sebelum Rani
pindah ke Jakarta saat mendekati pertengahan kelas 6.
Tiba-tiba Rani
merasa bahwa dirinya tersedot ke masa itu, saat dia menghabiskan
sebagian besar masa SD-nya di kota ini, yang hanya sampai awal kelas 6 saja.
***
***
( Rani kecil )
Rani,
Della, dan Indah baru saja kembali dari kantin ketika Bagas dan Nisa, sang
ketua kelas dan wakilnya, tampak sibuk membagi-bagikan kaos biru bertuliskan
nama sekolah mereka.
Kaos
untuk study wisata yang akan diselenggarakan dalam beberapa bulan ke depan.
Seluruh kelas tampak riang dan bersemangat. Semua membicarakan tentang study
wisata itu.
Kecuali
Rani. Sudah dipastikan bahwa dia tidak akan bisa ikut karena dia dan
keluarganya sudah harus berangkat ke Jakarta tepat seminggu sebelum study
wisata berlangsung.
Hatinya
hancur berkeping-keping. Dia sangat ingin mengikuti acara itu, tapi pekerjaan
baru Ayah di Jakarta tidak bisa menunggu.
Bagas
menghampirinya, memberikan sebuah kaos yang terbungkus plastik bening. “Kata Bu Murti, kamu tetap dapat kaos ini. Meskipun
kamu nggak ikut study wisata, tapi kamu tetap bagian dari kelas ini...”
Kata-kata
Bagas membuat pertahanannya runtuh. Rani menangis tersedu-sedu. Air matanya
deras berlelehan di pipinya.
Della
dan Indah memeluk dan menghiburnya. Pun teman-temannya yang lain. Semua
berkerumun di mejanya dan menyemangatinya. Menghiburnya.
“Bagaimanapun,
kamu tetap bagian dari kelas ini, Rani....”
kata-kata itu yang berulang-ulang diucapkan oleh Bagas. Dan itu membuat
hatinya tersentuh. Merasa terhibur.
“Iya,
meski kamu pindah ke Jakarta, kamu tetap bagian dari kelas ini...”
teman-temannya yang lain mengikuti ucapan Bagas.
“Kamu
tetap bagian dari kami, Rani...”
“Kita
akan tetap berteman selamanya...”
***
Sebuah
kekuatan seperti menarik tubuhnya ke dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Dan
tiba-tiba saja dia sudah berada di padang rumput ini lagi.
Anak
laki-laki itu masih di sana. Ah, dialah Bagas. Ketua kelas yang senantiasa
menyemangatinya dengan mengatakan bahwa dia tetaplah bagian dari kelas mereka,
meskipun sudah pindah.
Ada
sepercik kebahagiaan mengalir di hatinya. Dia bertemu bagas. Berarti, mungkin
dia masih bisa bertemu dengan Della dan Indah.
Bagas
tersenyum padanya. Rani ingat senyuman itu. Senyum yang selalu menenangkan.
Bagas adalah seorang ketua kelas yang luar biasa.
Meski
usianya baru 12 tahun, tapi dia mampu menyikapi apapun dengan bijak dan
berkepala dingin. Saat di antara mereka ada yang sedang bermusuhan, Bagas akan
selalu turun tangan mendamaikan dengan tidak memihak. Saat ada yang sedang
mengalami masalah, Bagaslah yang akan dengan cepat menggerakkan seluruh kelas
untuk membantu sejauh yang mereka mampu. Bagas seperti seorang kakak bagi
seluruh kelas. Senyumannya menenangkan. Tatapan matanya mendamaikan.
Dan
sekarang Rani bagai terhipnotis dengan senyuman itu. Sepercik kebahagiaan yang
sejak tadi dirasakannya kini semakin membuncah. Meski sebagian kecil
kesadarannya bertanya-tanya, kenapa Bagas tidak tumbuh dewasa...?
Bersambung
==============================================================
Saya juga memposting cerbung fiksi ini di grup Facebook KOMUNITAS BISA MENULIS ya temans.... saya beritahukan hal ini supaya jika ada temans yang membaca ini juga di grup tersebut, tidak ada sangkaan plagiat.
Terima kasih ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar