Yang
seangkatan dengan saya, pasti tidak asing dengan kegiatan surat menyurat. Surat
pribadi ya... bukan surat tagihan, hihihi....
Jaman dulu
itu di majalah anak-anak kan sering ada ya, rubrik sahabat pena. Di situ kita
bisa mengirimkan foto diri, nama, alamat, hobi, dan lain-lain. Kemudian yang
berminat untuk berkenalan bisa mengirim surat. Mereka yang sudah memasang foto
diri ya harus siap menerima setiap surat dan membalasnya.
Saya belum
pernah mengirimkan foto diri ke rubrik itu, pun belum pernah mengirim surat
kepada siapapun yang fotonya ada di situ, meskipun ingin.
Bukan
apa-apa, saya merasa sungkan kalau ujug-ujug
harus mengajak kenalan dan ngobrol dengan orang yang belum pernah saya kenal
sebelumnya. Jadi ya, saya cuma ikut merasa senang saja, ketika di sekolah,
teman-teman sekelas saya sering kali bercerita, “Eh, suratku sudah dibalas lho
sama Anu.” Atau “Aku kemarin habis kirim surat nih, sama si
Inu... duh, balesnya cepet nggak yaaaa...?”
Pokoknya
yang pernah merasakan jaman itu, pasti merasakan keseruannya. Ya kan? Ya kan?
Nah kalau
saya, berkirim surat hanya dengan orang-orang yang memang sudah saya kenal
sebelumnya. Itupun sudah banyak sekali. Jadi misalnya, teman sekelas
mengenalkan saya pada tetangganya. Nah langsung deh, kami saling bertukar
alamat (kalau sekarang kan bertukar nomer telepon ata WA ya). Dan kemudian
saling berkirim surat.
Salah satu
sahabat saya di masa SMP, Mya namanya. Karena SMA kami tidak sama, jadi kami
tidak bisa lagi bertemu setiap hari. Tapi kami masih sering ketemu beberapa
kali dalam seminggu karena memang rumah kami tidak terlalu jauh. Setiap
berangkat dan pulang sekolah saya selalu melewati gang menuju rumahnya. Saling
bertelepon pun juga lumayan sering saat itu.
Tapi dasar
tangan saya ini merasa gatal kalau tidak menulis surat, jadi saya tulis surat
juga untuknya :D
Padahal
untuk menuju ke kantor pos itu saya harus melewati gang menuju ke rumahnya.
Lah, kenapa saya tidak berbelok saja masuk ke gangnya dan berikan surat itu
langsung ke rumahnya, dari pada jauh-jauh pergi ke kantor pos :D *getok kepala
Benar juga
kata mbak Noer Ima Kaltsum, saya hanya menambah-nambahi kerjaan Pak Pos saja
hahaha....
Mya, kalau
kamu baca ini, semoga kamu tetap ingat ya masa-masa itu... masa-masa tumbuh
kembang kita, hahaha......
Hobi
berkirim surat dimulai ketika saya kelas 5 SD. Saat itu salah satu bulik saya
yang tinggal di Jakarta mengajak saya untuk saling berkirim surat.
Di surat
pertama, saya bercerita banyak sekali. Sampai berlembar-lembar. Mungkin itu
adalah cikal bakal hobi menulis saya ya, hahaha.....
Sejak surat
pertama untuk bulik saya tersebut, keinginan untuk menulis surat terus
berkembang sampai rasanya tidak terbendung. Ada sensasi tersendiri ketika saya
bercerita lewat tulisan. Meskipun untuk itu saya harus menulis sampai
berlembar-lembar.
Keseruan
berkirim surat bukan hanya pada saat menulisnya saja. Ada rasa dag dig dug saat
melihat pak pos lewat di depan rumah. Dari kejauhan, sudah menebak-nebak,
‘berhenti di rumahku nggak yaaa?’ dan kemudian kecewa ketika si pak pos berlalu
tanpa menoleh ke rumah saya, hahaha...
Saat di
toko buku atau di pusat perbelanjaan, saya tidak pernah lupa membeli kertas
surat. Kertas surat di masa itu.... Ya Allah.... benar-benar menggoda iman.
Dari kertasnya yang cantik dan lucu-lucu, baunya yang wangi semerbak, sampai
packagingnya pun didesain dengan sangat bagus.
Koleksi
kertas surat saya sampai bertumpuk-tumpuk di rumah, hahaha... Ketika itu, jika disuruh memilih mau dibelikan
baju atau kertas surat, saya lebih memilih di belikan kertas surat :D
Oh ya,
keseruan dari hobi berkirim surat juga merembet ke hobi lainnya yaitu
mengumpulkan perangko. Jadi kalau mendapat surat yang gambar perangkonya belum
dimiliki, pasti akan senang sekali. Seringkali bahkan janjian dengan yang
dikirimi surat: “Nanti kalau membalas suratku, beli prangkonya yang gambarnya
seri ‘ini’ ya...” Begitu teman-teman, hihihi...
Di sekolah,
saya dan teman-teman juga saling bertukar kertas surat dan perangko. Pokoknya
di masa itu, koleksi kertas surat dan perangko memang booming sekali.
Surat
terakhir yang saya tulis berada di sekitar akhir 2004 atau awal 2005 (lupa
heuheu...).
Menjelang kelahiran anak pertama, saya berhenti menulis surat. Selain repot, sudah
tidak jaman pula.
Sering saya
dapat komentar: “What...? kamu masih surat-suratan? Ini sudah jaman apa
Jeeenngg...?”
Iya, jaman
sudah berubah memang. Saya sudah tidak lagi menulis surat selain surat ijin
untuk wali kelas saat anak saya tidak masuk sekolah, hahaha....
Beberapa
waktu lalu sempat terbersit sedikit penyesalan karena surat-surat, koleksi
kertas surat, dan koleksi perangko saya tidak tersimpan dengan baik dan banyak
yang hilang. Seharusnya saya simpan baik-baik untuk kenang-kenangan ya....
tapi, ah sudahlah... jaman toh sudah berubah...
Selamat
berhari Minggu, terima kasih sudah membaca ya ^_^
Jreng jrengggg. Dengan tetangga ajah surat2an.
BalasHapusBudaya surat menyurat seperti halnya mengirimkan kartu lebaran, sudah mulai punah
BalasHapusDulu saya suka baca bobo terutama stelah liat koleksi surat kakak yg cukup byk dari sahabat pena. Tapi parahnya cita-cita saya punya sahabat pena hilang krn gk brani kirim surat 😂
BalasHapus