Translate

Sabtu, 03 Agustus 2019

SURAT


Yang seangkatan dengan saya, pasti tidak asing dengan kegiatan surat menyurat. Surat pribadi ya... bukan surat tagihan, hihihi....
Jaman dulu itu di majalah anak-anak kan sering ada ya, rubrik sahabat pena. Di situ kita bisa mengirimkan foto diri, nama, alamat, hobi, dan lain-lain. Kemudian yang berminat untuk berkenalan bisa mengirim surat. Mereka yang sudah memasang foto diri ya harus siap menerima setiap surat dan membalasnya.

Saya belum pernah mengirimkan foto diri ke rubrik itu, pun belum pernah mengirim surat kepada siapapun yang fotonya ada di situ, meskipun ingin.
Bukan apa-apa, saya merasa sungkan kalau ujug-ujug harus mengajak kenalan dan ngobrol dengan orang yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Jadi ya, saya cuma ikut merasa senang saja, ketika di sekolah, teman-teman sekelas saya sering kali bercerita, “Eh, suratku sudah dibalas lho sama Anu.”  Atau  “Aku kemarin habis kirim surat nih, sama si Inu... duh, balesnya cepet nggak yaaaa...?”
Pokoknya yang pernah merasakan jaman itu, pasti merasakan keseruannya. Ya kan? Ya kan? 
 Nah kalau saya, berkirim surat hanya dengan orang-orang yang memang sudah saya kenal sebelumnya. Itupun sudah banyak sekali. Jadi misalnya, teman sekelas  mengenalkan saya pada tetangganya. Nah langsung deh, kami saling bertukar alamat (kalau sekarang kan bertukar nomer telepon ata WA ya). Dan kemudian saling berkirim surat.

Salah satu sahabat saya di masa SMP, Mya namanya. Karena SMA kami tidak sama, jadi kami tidak bisa lagi bertemu setiap hari. Tapi kami masih sering ketemu beberapa kali dalam seminggu karena memang rumah kami tidak terlalu jauh. Setiap berangkat dan pulang sekolah saya selalu melewati gang menuju rumahnya. Saling bertelepon pun juga lumayan sering saat itu.
Tapi dasar tangan saya ini merasa gatal kalau tidak menulis surat, jadi saya tulis surat juga untuknya :D
Padahal untuk menuju ke kantor pos itu saya harus melewati gang menuju ke rumahnya. Lah, kenapa saya tidak berbelok saja masuk ke gangnya dan berikan surat itu langsung ke rumahnya, dari pada jauh-jauh pergi ke kantor pos :D *getok kepala
Benar juga kata mbak Noer Ima Kaltsum, saya hanya menambah-nambahi kerjaan Pak Pos saja hahaha....
Mya, kalau kamu baca ini, semoga kamu tetap ingat ya masa-masa itu... masa-masa tumbuh kembang kita, hahaha......
Hobi berkirim surat dimulai ketika saya kelas 5 SD. Saat itu salah satu bulik saya yang tinggal di Jakarta mengajak saya untuk saling berkirim surat.
Di surat pertama, saya bercerita banyak sekali. Sampai berlembar-lembar. Mungkin itu adalah cikal bakal hobi menulis saya ya, hahaha.....
Sejak surat pertama untuk bulik saya tersebut, keinginan untuk menulis surat terus berkembang sampai rasanya tidak terbendung. Ada sensasi tersendiri ketika saya bercerita lewat tulisan. Meskipun untuk itu saya harus menulis sampai berlembar-lembar.
Keseruan berkirim surat bukan hanya pada saat menulisnya saja. Ada rasa dag dig dug saat melihat pak pos lewat di depan rumah. Dari kejauhan, sudah menebak-nebak, ‘berhenti di rumahku nggak yaaa?’ dan kemudian kecewa ketika si pak pos berlalu tanpa menoleh ke rumah saya, hahaha...
Saat di toko buku atau di pusat perbelanjaan, saya tidak pernah lupa membeli kertas surat. Kertas surat di masa itu.... Ya Allah.... benar-benar menggoda iman. Dari kertasnya yang cantik dan lucu-lucu, baunya yang wangi semerbak, sampai packagingnya pun didesain dengan sangat bagus.
Koleksi kertas surat saya sampai bertumpuk-tumpuk di rumah, hahaha...  Ketika itu, jika disuruh memilih mau dibelikan baju atau kertas surat, saya lebih memilih di belikan kertas surat :D
Oh ya, keseruan dari hobi berkirim surat juga merembet ke hobi lainnya yaitu mengumpulkan perangko. Jadi kalau mendapat surat yang gambar perangkonya belum dimiliki, pasti akan senang sekali. Seringkali bahkan janjian dengan yang dikirimi surat: “Nanti kalau membalas suratku, beli prangkonya yang gambarnya seri ‘ini’ ya...” Begitu teman-teman, hihihi...
Di sekolah, saya dan teman-teman juga saling bertukar kertas surat dan perangko. Pokoknya di masa itu, koleksi kertas surat dan perangko memang booming sekali.

Surat terakhir yang saya tulis berada di sekitar akhir 2004 atau awal 2005 (lupa heuheu...).
Menjelang kelahiran anak pertama, saya berhenti menulis surat. Selain repot, sudah tidak jaman pula.
Sering saya dapat komentar: “What...? kamu masih surat-suratan? Ini sudah jaman apa Jeeenngg...?”
Iya, jaman sudah berubah memang. Saya sudah tidak lagi menulis surat selain surat ijin untuk wali kelas saat anak saya tidak masuk sekolah, hahaha....
Beberapa waktu lalu sempat terbersit sedikit penyesalan karena surat-surat, koleksi kertas surat, dan koleksi perangko saya tidak tersimpan dengan baik dan banyak yang hilang. Seharusnya saya simpan baik-baik untuk kenang-kenangan ya.... tapi, ah sudahlah... jaman toh sudah berubah...
Selamat berhari Minggu, terima kasih sudah membaca ya ^_^

3 komentar:

  1. Jreng jrengggg. Dengan tetangga ajah surat2an.

    BalasHapus
  2. Budaya surat menyurat seperti halnya mengirimkan kartu lebaran, sudah mulai punah

    BalasHapus
  3. Dulu saya suka baca bobo terutama stelah liat koleksi surat kakak yg cukup byk dari sahabat pena. Tapi parahnya cita-cita saya punya sahabat pena hilang krn gk brani kirim surat 😂

    BalasHapus