gambar dari Pixabay |
Part sebelumnya di sini.
Tahun
depan, saat PAUD ini sudah menerima angkatan kedua dan Pakde Manto sudah
menambah beberapa guru lagi, pasti ruangan ini akan terasa jauh lebih menyenangkan.
Tidak seperti sekarang, entah kenapa setiap kali duduk di mejanya, Rani merasa
seperti ada yang mengawasinya dari meja-meja kosong yang belum ditempati itu.
Pernah
pula didengarnya ada suara berbisik-bisik seperti sedang bercakap-cakap di meja
kosong di sebelahnya, padahal jelas tidak ada siapa-siapa. Tapi Rani berusaha
mengabaikannya. Menyibukkan diri dengan pekerjaannya.
Ya,
di sini Rani dan Bu Ambar tidak hanya bertugas sebagai guru saja, tetapi juga
merangkap sebagai bendahara, petugas tata usaha, dan lain-lainnya. Waktu dan
tenaganya tercurah sepenuhnya demi usaha milik Pakde Manto ini.
Sampai-sampai
dia tak kunjung sempat untuk pergi ke rumah Della dan Indah, padahal itu adalah
rencana pertama yang dia pikirkan saat sampai di sini.
Rani
masih sering bermimpi tentang Della dan Indah. Dan mimpi itu selalu sama.
Seperti saat pertama kali Rani memimpikannya. Berada di padang rumput tak
berbatas, dengan banyak pohon besar yang letaknya jarang-jarang. Rani bahkan
sudah mulai merasa terbiasa di padang itu. Tidak lagi panik atau takut. Tetap tidak
ada Della atau Indah di situ. Hanya ada suara-suara mereka yang memintanya untuk
pergi secepatnya.
“Bu
Rani, apa masih ada yang harus saya kerjakan? Kalau tidak, saya mau ijin pulang
dulu.” Mbak Narti melongokkan kepalanya dari balik pintu.
“Oh,
ya sudah, pulang duluan saja Mbak, ini saya juga sudah mau pulang kok. Tinggal
menunggu Tiara dan Bian dijemput saja.” Balas Rani sambil mengemasi
pekerjaannya. Belum selesai sebenarnya, nanti dilanjutkan di rumah saja. Terus
terang, Rani tidak ingin berada di sini saat Mbak Narti dan Bu Ambar tidak
berada di sini juga.
Rani
keluar ruangan. Sepertinya Tiara sudah dijemput. Hanya tinggal Bian yang sedang
bermain ayunan bersama Bu Ambar.
“Bu
Rani, tolong temani Bian dulu ya, saya mau ke kamar mandi sebentar...” Kata Bu
Ambar saat melhat Rani.
“Oke,
Bu...” Sahut Rani, menggantikan posisi Bu Ambar, duduk di ayunan di sebelah
Bian.
Rani
mengamati Bian. Anak ini tampak begitu tampan saat tidak nakal. Ehm,
sejujurnya, saat nakal pun dia tetap terlihat tampan. Sepertinya mewarisi
ketampanan ayahnya.
Rani
merasakan bahwa jantungnya berdegup lebih kencang saat bayangan Pak Arya, ayah
Bian, melintas di benaknya. Rani ingin berhenti memikirkannya, tapi justru
hatinya bertanya-tanya, kenapa setelah kematian ibunya Bian 3 tahun yang lalu,
Pak Arya tidak mencari pengganti?
“Ah,
itu bukan urusanku. Kenapa aku ikut campur dengan urusan keluarganya
Bian?” Tanpa sadar Rani menggelengkan
kepalanya kuat-kuat. Berusaha mengenyahkan bayangan Pak Arya dari benaknya.
“Bu
Rani kenapa geleng-geleng? Bu Rani pusing?”
Suara kecil Bian menyadarkannya.
“Eh
enggak kok sayang... Bu Rani baik-baik saja...” Jawab Rani sambil mengelus
kepala Bian. Anak ini sebenarnaya baik, mungkinkah kenakalannya selama ini
karena sebenarnya dia hanya ingin diperhatikan?
Ibunya
meninggal beberapa hari setelah melahirkannya, yang berarti dia tidak pernah
mengenal sosok ibu selama 3 tahun kehidupannya. Sehari-hari dia hanya tinggal
bersama ayah dan Mbak Sum, asisten rumah tangga.
Rani
mengenal Mbak Sum ketika beberapa kali dia datang ke sekolah menjemput Bian
saat Pak Arya sedang sibuk dengan urusan pekerjaannya.
“Ayah
datang...!” Teriakan Bian menyadarkan
Rani dari lamunannya. Dilihatnya mobil Pak Arya perlahan memasuki halaman
sekolah. Jantung Rani kembali berdegup kencang ketika sosok yang sudah beberapa
kali singgah di pikirannya itu turun dari mobil dan menyambut Bian dalam
pelukannya.
“Hari
ini Bian nakal tidak?” Tanya Pak Arya yang membuat Bian tertunduk diam. Rani
jadi kasihan melihatnya.
“Hari
ini Bian ada kemajuan... nakalnya hanya satu kali... ya kan Bian?” Rani menyela
dan itu membuat Bian terlihat lega.
“Besok
pasti ada kemajuan lagi, tidak nakal sama sekali...” Lanjut Rani sambil mengajak Bian tos. Bian
tersenyum bangga sambil memandang ayahnya, seolah mengatakan, ‘tuh kan.. aku
sudah tidak nakal lagi’.
“Tadi
Bian merebut boneka milik Tiara sampai Tiara menangis.” Rani memberitahu Pak Arya ketika Bian sudah
duduk manis di dalam mobil. Pak Arya mengangguk paham dan berjanji untuk akan
memperhatikan Bian dengan lebih baik lagi.
Rani
bergegas ke ruang guru setelah mobil Pak Arya menghilang dari pandangannya. Bu
Ambar juga sudah bersiap-siap akan pulang. Setelah mengunci dan memastikan
semua pintu dan jendela tertutup rapat, Rani dan Bu Ambar berjalan menuju motor
masing-masing untuk pulang. Rani mendapatkan pinjaman motor dari Pakde Manto
selama dia membantu di PAUD ini. “Untuk mempermudah segala urusanmu.” Begitu
kata Pakde Manto ketika Rani berusaha menolak dengan halus pinjaman itu karena
merasa tidak enak.
Sewaktu
kecil, Rani terbiasa naik angkot ke mana-mana, tetapi sekarang dia sudah agak
lupa dengan rute-rute yang dilewati angkot sesuai dengan nomornya. Perlu waktu
untuk menghapalkannya kembali. Dan menurut Pakde Manto akan jauh lebih efektif
jika Rani menerima pinjaman motor darinya. Lebih praktis, karena dari rumah
nenek ke jalan raya pun membutuhkan waktu sekitar 10 menit dengan berjalan
kaki.
Parkiran
motor terletak tepat di depan ruang guru. Hanya di batasi koridor dan sebuah
taman kecil. Tanpa sengaja Rani melihat ke arah jendela ruang guru dan hampir
pingsan karena kagetnya.
Ada
anak kecil yang sedang menatapnya dari balik jendela. Bukan... bukan anak
kecil... menjelang remaja tepatnya. Sekitar umur 12 atau 13 tahun.
“B...
Bu Ambar... a... anak itu terkunci di dalam...” Rani tergagap-gagap karena
tidak mengira sama sekali dengan apa yang dilihatnya.
“Anak...?
anak siapa, Bu? Anak terakhir yang dijemput hanya Tiara dan Bian. Tidak ada
yang lain lagi...” Bu Ambar menatap Rani dengan heran.
“Apa
Bu Rani pusing? Mau mampir dulu ke tempat saya? Istirahat barang sebentar,
setelah merasa enak baru pulang...?” Tawar Bu Ambar. Rumahnya memang hanya
berjarak 15 menit saja dari sekolah.
Tapi
bukan itu masalahnya... masa Bu Ambar tidak melihatnya? Anak itu bahkan
tersenyum kini. Tangannya melambai-lambai seolah ingin mengajak Rani untuk
masuk kembali ke ruangan guru.
Jantung
Rani berdegup kencang. Matanya terpaku ke arah jendela ruang guru. Dia ingin
berpaling sebenarnya, tapi entah kenapa rasanya sulit sekali. Dia seperti
dipaksa untuk terus melihat ke sana. Bersitatap dengan anak itu yang wajahnya
terlihat semakin menyeramkan. Wajahnya memucat seperti kapas, dengan lingkaran
hitam di sekeliling matanya. Senyumnya berubah menjadi seringai yang menakutkan.
Dan tangannya terus melambai-lambai seperti menginginkan Rani untuk kembali
masuk ke ruang guru.
“Bu...
Bu Rani... kenapa Bu? Bu Rani sakit? Bu Rani bisa dengar saya tidak?” Tubuh Rani tersentak saat Bu Ambar
mengguncang-guncang pundaknya. Rani mengerjapkan matanya dan anak itu lenyap.
“Bu...
anak tadi itu siapa Buuu.....” Rani
tidak dapat menahan tangisnya. Dia ingin berpikir logis, tapi rasa takut lebih
menguasainya. Bu Ambar juga tampak kebingungan. Berkali-kali melihat ke arah
jendela ruang guru dan tidak melihat apapun atau siapapun. Dia bahkan membuka
kembali pintu ruang guru dan memeriksa ke dalam untuk memastikan, dan memang
tidak ada siapa-siapa di sana.
“Bu
Rani lebih baik ke rumah saya dulu ya? kalau sudah merasa lebih baik nanti baru
pulang... mau kan?” Bu Ambar merasa
khawatir melihat kondisi Rani yang masih gemetar, berkeringat, dan terus saja
menangis ketakutan.
Rani
mengiyakan. Tak sanggup rasanya mengendarai motor hingga 45 menit ke depan
menuju rumah. Seluruh tubuhnya masih terasa lemas dan gemetar. Untuk tiba di
rumah Bu Ambar yang hanya berjarak 15 menit saja dia harus sekuat tenaga
memaksakan diri.
Bersambung
Jadi Rani kenapa? Nunggu part selanjutnya nih
BalasHapusKalau baca tentang Bian, jadi inget siswa saya yang kayak gitu juga di Bimbel, hihi