Translate

Senin, 29 Juli 2019

Panggilan Dari Masa Lalu (3)


gambar dari Pixabay



Part sebelumnya di sini.
Tahun depan, saat PAUD ini sudah menerima angkatan kedua dan Pakde Manto sudah menambah beberapa guru lagi, pasti ruangan ini akan terasa jauh lebih menyenangkan. Tidak seperti sekarang, entah kenapa setiap kali duduk di mejanya, Rani merasa seperti ada yang mengawasinya dari meja-meja kosong yang belum ditempati itu.

Pernah pula didengarnya ada suara berbisik-bisik seperti sedang bercakap-cakap di meja kosong di sebelahnya, padahal jelas tidak ada siapa-siapa. Tapi Rani berusaha mengabaikannya. Menyibukkan diri dengan pekerjaannya.
Ya, di sini Rani dan Bu Ambar tidak hanya bertugas sebagai guru saja, tetapi juga merangkap sebagai bendahara, petugas tata usaha, dan lain-lainnya. Waktu dan tenaganya tercurah sepenuhnya demi usaha milik Pakde Manto ini.
Sampai-sampai dia tak kunjung sempat untuk pergi ke rumah Della dan Indah, padahal itu adalah rencana pertama yang dia pikirkan saat sampai di sini.
Rani masih sering bermimpi tentang Della dan Indah. Dan mimpi itu selalu sama. Seperti saat pertama kali Rani memimpikannya. Berada di padang rumput tak berbatas, dengan banyak pohon besar yang letaknya jarang-jarang. Rani bahkan sudah mulai merasa terbiasa di padang itu. Tidak lagi panik atau takut. Tetap tidak ada Della atau Indah di situ. Hanya ada suara-suara mereka yang memintanya untuk pergi secepatnya.
“Bu Rani, apa masih ada yang harus saya kerjakan? Kalau tidak, saya mau ijin pulang dulu.” Mbak Narti melongokkan kepalanya dari balik pintu.
“Oh, ya sudah, pulang duluan saja Mbak, ini saya juga sudah mau pulang kok. Tinggal menunggu Tiara dan Bian dijemput saja.” Balas Rani sambil mengemasi pekerjaannya. Belum selesai sebenarnya, nanti dilanjutkan di rumah saja. Terus terang, Rani tidak ingin berada di sini saat Mbak Narti dan Bu Ambar tidak berada di sini juga.
Rani keluar ruangan. Sepertinya Tiara sudah dijemput. Hanya tinggal Bian yang sedang bermain ayunan bersama Bu Ambar.
“Bu Rani, tolong temani Bian dulu ya, saya mau ke kamar mandi sebentar...” Kata Bu Ambar saat melhat Rani.
“Oke, Bu...” Sahut Rani, menggantikan posisi Bu Ambar, duduk di ayunan di sebelah Bian.
Rani mengamati Bian. Anak ini tampak begitu tampan saat tidak nakal. Ehm, sejujurnya, saat nakal pun dia tetap terlihat tampan. Sepertinya mewarisi ketampanan ayahnya.
Rani merasakan bahwa jantungnya berdegup lebih kencang saat bayangan Pak Arya, ayah Bian, melintas di benaknya. Rani ingin berhenti memikirkannya, tapi justru hatinya bertanya-tanya, kenapa setelah kematian ibunya Bian 3 tahun yang lalu, Pak Arya tidak mencari pengganti?
“Ah, itu bukan urusanku. Kenapa aku ikut campur dengan urusan keluarganya Bian?”  Tanpa sadar Rani menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Berusaha mengenyahkan bayangan Pak Arya dari benaknya.
“Bu Rani kenapa geleng-geleng? Bu Rani pusing?”  Suara kecil Bian menyadarkannya.
“Eh enggak kok sayang... Bu Rani baik-baik saja...” Jawab Rani sambil mengelus kepala Bian. Anak ini sebenarnaya baik, mungkinkah kenakalannya selama ini karena sebenarnya dia hanya ingin diperhatikan?
Ibunya meninggal beberapa hari setelah melahirkannya, yang berarti dia tidak pernah mengenal sosok ibu selama 3 tahun kehidupannya. Sehari-hari dia hanya tinggal bersama ayah dan Mbak Sum, asisten rumah tangga.
Rani mengenal Mbak Sum ketika beberapa kali dia datang ke sekolah menjemput Bian saat Pak Arya sedang sibuk dengan urusan pekerjaannya.
“Ayah datang...!”  Teriakan Bian menyadarkan Rani dari lamunannya. Dilihatnya mobil Pak Arya perlahan memasuki halaman sekolah. Jantung Rani kembali berdegup kencang ketika sosok yang sudah beberapa kali singgah di pikirannya itu turun dari mobil dan menyambut Bian dalam pelukannya.
“Hari ini Bian nakal tidak?” Tanya Pak Arya yang membuat Bian tertunduk diam. Rani jadi kasihan melihatnya.
“Hari ini Bian ada kemajuan... nakalnya hanya satu kali... ya kan Bian?” Rani menyela dan itu membuat Bian terlihat lega.
“Besok pasti ada kemajuan lagi, tidak nakal sama sekali...”  Lanjut Rani sambil mengajak Bian tos. Bian tersenyum bangga sambil memandang ayahnya, seolah mengatakan, ‘tuh kan.. aku sudah tidak nakal lagi’.
“Tadi Bian merebut boneka milik Tiara sampai Tiara menangis.”  Rani memberitahu Pak Arya ketika Bian sudah duduk manis di dalam mobil. Pak Arya mengangguk paham dan berjanji untuk akan memperhatikan Bian dengan lebih baik lagi.
Rani bergegas ke ruang guru setelah mobil Pak Arya menghilang dari pandangannya. Bu Ambar juga sudah bersiap-siap akan pulang. Setelah mengunci dan memastikan semua pintu dan jendela tertutup rapat, Rani dan Bu Ambar berjalan menuju motor masing-masing untuk pulang. Rani mendapatkan pinjaman motor dari Pakde Manto selama dia membantu di PAUD ini. “Untuk mempermudah segala urusanmu.” Begitu kata Pakde Manto ketika Rani berusaha menolak dengan halus pinjaman itu karena merasa tidak enak.
Sewaktu kecil, Rani terbiasa naik angkot ke mana-mana, tetapi sekarang dia sudah agak lupa dengan rute-rute yang dilewati angkot sesuai dengan nomornya. Perlu waktu untuk menghapalkannya kembali. Dan menurut Pakde Manto akan jauh lebih efektif jika Rani menerima pinjaman motor darinya. Lebih praktis, karena dari rumah nenek ke jalan raya pun membutuhkan waktu sekitar 10 menit dengan berjalan kaki.
Parkiran motor terletak tepat di depan ruang guru. Hanya di batasi koridor dan sebuah taman kecil. Tanpa sengaja Rani melihat ke arah jendela ruang guru dan hampir pingsan karena kagetnya.
Ada anak kecil yang sedang menatapnya dari balik jendela. Bukan... bukan anak kecil... menjelang remaja tepatnya. Sekitar umur 12 atau 13 tahun.
“B... Bu Ambar... a... anak itu terkunci di dalam...” Rani tergagap-gagap karena tidak mengira sama sekali dengan apa yang dilihatnya.
“Anak...? anak siapa, Bu? Anak terakhir yang dijemput hanya Tiara dan Bian. Tidak ada yang lain lagi...” Bu Ambar menatap Rani dengan heran.
“Apa Bu Rani pusing? Mau mampir dulu ke tempat saya? Istirahat barang sebentar, setelah merasa enak baru pulang...?” Tawar Bu Ambar. Rumahnya memang hanya berjarak 15 menit saja dari sekolah.
Tapi bukan itu masalahnya... masa Bu Ambar tidak melihatnya? Anak itu bahkan tersenyum kini. Tangannya melambai-lambai seolah ingin mengajak Rani untuk masuk kembali ke ruangan guru.
Jantung Rani berdegup kencang. Matanya terpaku ke arah jendela ruang guru. Dia ingin berpaling sebenarnya, tapi entah kenapa rasanya sulit sekali. Dia seperti dipaksa untuk terus melihat ke sana. Bersitatap dengan anak itu yang wajahnya terlihat semakin menyeramkan. Wajahnya memucat seperti kapas, dengan lingkaran hitam di sekeliling matanya. Senyumnya berubah menjadi seringai yang menakutkan. Dan tangannya terus melambai-lambai seperti menginginkan Rani untuk kembali masuk ke ruang guru.
“Bu... Bu Rani... kenapa Bu? Bu Rani sakit? Bu Rani bisa dengar saya tidak?”  Tubuh Rani tersentak saat Bu Ambar mengguncang-guncang pundaknya. Rani mengerjapkan matanya dan anak itu lenyap.
“Bu... anak tadi itu siapa Buuu.....”  Rani tidak dapat menahan tangisnya. Dia ingin berpikir logis, tapi rasa takut lebih menguasainya. Bu Ambar juga tampak kebingungan. Berkali-kali melihat ke arah jendela ruang guru dan tidak melihat apapun atau siapapun. Dia bahkan membuka kembali pintu ruang guru dan memeriksa ke dalam untuk memastikan, dan memang tidak ada siapa-siapa di sana.
“Bu Rani lebih baik ke rumah saya dulu ya? kalau sudah merasa lebih baik nanti baru pulang... mau kan?”  Bu Ambar merasa khawatir melihat kondisi Rani yang masih gemetar, berkeringat, dan terus saja menangis ketakutan.
Rani mengiyakan. Tak sanggup rasanya mengendarai motor hingga 45 menit ke depan menuju rumah. Seluruh tubuhnya masih terasa lemas dan gemetar. Untuk tiba di rumah Bu Ambar yang hanya berjarak 15 menit saja dia harus sekuat tenaga memaksakan diri.
Bersambung

1 komentar:

  1. Jadi Rani kenapa? Nunggu part selanjutnya nih
    Kalau baca tentang Bian, jadi inget siswa saya yang kayak gitu juga di Bimbel, hihi

    BalasHapus