PANGGILAN DARI MASA LALU (2)
gambar dari Pixabay |
Diambilnya
pouch besar berisi pakaian dalam dan beberapa kaus kakinya. Itu adalah barang
terakhir yang belum tertata di tempatnya. Rani membuka laci lemari, lalu
terkesiap melihat sesuatu di dalamnya.
Ada
foto dirinya bersama Indah dan Della. Sedang bergaya dengan tawa yang ceria.
Rani tersenyum melihat wajahnya dan dua sahabatnya yang masih lugu dan imut.
Bagaimana mungkin foto ini tertinggal di sini? seingat Rani, sebelum
dia meninggalkan kamar ini 10 tahun yang lalu, dia sudah mengecek seluruh isi
kamarnya, termasuk laci lemari ini, yakin bahwa tidak ada barang yang
tertinggal.
“Yah,
mungkin aku kurang teliti.” Pikirnya sambil mengamati foto itu. sebentuk
kerinduan mengalir dalam hatinya. Membayangkan seperti apa sosok Della dan
Indah sekarang. Apakah mereka sudah bekerja juga? Atau masih kuliah? Rani
sedang menimbang-nimbang untuk mengunjungi rumah mereka, ketika tiba-tiba
terlihat ada yang aneh pada foto itu.
Dalam
pandangannya, wajah Della dan Indah yang cantik dan imut perlahan berubah
menyeramkan. Senyum yang ceria berubah menjadi seringai menakutkan. Mata mereka menyorot tajam dan seperti ada sepercik cahaya di sana.
Dada
Rani berdegup kencang. Terkejut dan bingung dengan apa yang di lihatnya, tangannya reflek melepaskan foto itu, yang kemudian jatuh ke dekat kakinya. Rani
menunduk, memandang kembali foto itu untuk memastikan, dan terlihat tiga wajah
imut dan cantik yang sedang tersenyum ceria. Dia, Indah, dan Della.
Sambil
tersenyum lega, Rani membungkuk mengambil fotonya.
“Aku
terlalu capek rupanya, sampai otakku berhalusinasi yang tidak-tidak.” Pikirnya.
Lekas-lekas membereskan pakaian dalam dan kaus kakinya ke dalam laci, kemudian menuju tempat tidur untuk beristirahat. Sambil tetap memegang foto itu,
Rani mulai terlelap. Tubuhnya yang terasa kaku setelah seharian duduk di kereta
dan taksi, perlahan mulai rileks dan tak lama kemudian suara dengkur halusnya
mulai terdengar.
***
“Pergilah
Rani... jangan kembali ke sini lagi....”
Itu
suara Indah. Ya, suara itu masih sama seperti dulu. Tidak berubah.
“Indah...?
itu kamu kan? kamu di mana? Aku kangen kalian... kamu di mana sih?” Rani celingak-celinguk mencari sosok Indah,
heran juga suara Indah tidak berubah. Masih seperti dulu... suara anak-anak.
Rani
mengedarkan pandang ke sekeliling.
“Ini
di mana ya?” Pikirnya bingung. Tidak ada apapun selain padang rumput yang
teramat luas sejauh mata memandang, ada banyak pohon besar yang jaraknya
saling berjauhan.
“Pergilah
Rani... jangan berada di sini...!”
Kali
ini suara Della. Rani tak habis pikir bagaimana mungkin suara Della dan Indah
tak berubah sama sekali? Seakan-akan mereka tak pernah tumbuh dewasa.
“Indah...
Della... kalian di mana sih? Ayo dong... jangan bercanda...”
Rani
melongok ke balik pohon yang paling dekat dengannya. Kosong.
Lalu
dia mulai berjalan dari pohon satu ke pohon yang lain. Tak ada Della maupun
Indah. Rasanya Rani sudah berjalan terlampau jauh. Dia takut tersesat.
Tersesat...?
ah, bukankah dia memang sudah tidak tahu ini di mana sejak awal tadi? Rani
mulai panik. Dengan kalut dia menghampiri setiap pohon dan melongok ke
baliknya, berharap menemukan Indah atau Della di sana.
Lalu
suasana mulai menggelap. Langit biru di atasnya perlahan mulai berwarna oranye.
Sudah mau malam?... tapi ini di mana? Bagaimana dia bisa pulang? Rani mulai
terisak. Semakin kalut, ditengoknya setiap pohon yang seakan tidak ada habisnya
itu sambil memanggil-manggil Della dan Indah.
Mungkin
sudah ratusan pohon yang dia tengok, dan tidak ada Indah atau Della... atau
siapapun... yang bisa ditanyai atau dimintai tolong.
Suasana
semakin gelap, warna oranye di langit perlahan meredup. Rani menangis,
bingung... tidak tahu harus bagaimana.
“Rani...
pergilah...” Suara Indah. Rani menghentikan tangisnya. Mencari-cari sumber
suara. Berteriak lagi memanggil Indah, tapi suaranya habis. Tenggorokannya
sakit karena berteriak terus dari tadi, memanggil-manggil kedua sahabatnya itu.
“Jangan
berada di sini Rani, cepat pergi...” Kali ini suara Della.
“Pergilah
Rani....” Suara Indah lagi.
Langit
semakin gelap, suasana semakin dingin, dan suara Indah dan Della semakin
bersahut-sahutan menyuruhnya pergi. Hanya suara, tanpa wujud yang nyata.
Rani
semakin panik, ketakutan... ditutupnya telinga dengan kedua tangan tapi tetap saja
suara Indah dan Della yang bersahut-sahutan masih terdengar... semakin lama
semakin menakutkan.
Tak
tahu harus bagaimana, Rani menjerit sekencang-kencangnya... tak peduli
tenggorokannya sakit dan suaranya habis, Rani terus menjerit...
***
Rani
tergeragap bangun dengan nafas terengah-engah dan keringat yang membanjiri
tubuhnya. Dengan lega, didapatinya dirinya masih berada di tempat tidurnya.
Suasana sudah gelap. Kamarnya gelap, hanya ada sebias cahaya yang menerobos
dari luar jendela.
“Aku
tidur terlalu lama...” Pikirnya. Baru hendak beranjak dari tempat tidur ketika ada seseorang di depan pintu kamarnya yang terbuka.
“Indah...?” Suaranya hanya mampu berbisik karena
terkejutnya. Terkejut dan tidak percaya. Ya, bagaimana mungkin sosok Indah
masih sama seperti dulu? Seperti 10 tahun yang lalu? kenapa dia tidak tumbuh
dewasa?
Rani
memandang sosok sahabatnya dengan perasaan ngeri, jantungnya berdegup kencang,
seluruh tubuhnya gemetar. Benarkan itu Indah?
“Rani
pergilah... jangan berada di sini...”
Sosok itu bersuara. Suara Indah. Suara saat dia masih 12 tahun...
“Te...tapi....tapi....”
Rani hanya mampu tergagap-gagap. Tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi, dan jantungnya seperti sedang berlompatan
di dalam dadanya.
Sosok
itu meraih saklar lampu.... ‘cekrek...’
lampu menyala menerangi seluruh kamar.
“Mbak
Rani...? Ya Allah... Mbak Rani kenapa? Kenapa keringetan sampai basah kuyup
begini? Mbak Rani...? Mbak Rani dengar Rara tidak...?”
Rani
mengerjap-ngerjapkan matanya. Tubuhnya dialiri kelegaan yang luar biasa melihat
Rara di depannya. Kenapa dia tadi bisa menyangka itu adalah sosok Indah? Apa
karena mimpinya tentang Indah dan Della yang baru saja dialaminya? Tapi suara
tadi...? suara tadi bukan mimpi kan? itu benar-benar suara Indah, yang
menyuruhnya pergi dari sini.
“Ah,
aku pasti hanya terlalu terbawa mimpi...” Putusnya kemudian. Didapatinnya foto
itu masih berada di tangannya, dan dia semakin yakin bahwa semua yang
dialaminya tadi... mimpi dan halusinasi tadi, hanya karena dia terlalu
merindukan sahabat-sahabatnya itu.
“Ibu
sudah masak untuk makan malam, Mbak Rani mau makan di rumah Rara, atau mau di
sini saja? Nanti Rara antarkan makanannya.” Suara Rara, sentuhan Rara di
tangannya, membuatnya benar-benar yakin bahwa yang tadi itu semua hanyalah
mimpi.
“Jangan...
biar nanti Mbak ke rumah Rara saja. Mbak kan juga belum ketemu dengan ayah
Rara. Sekarang Mbak mau mandi dulu ya... keringetan nih.... Rara mau pulang
dulu, atau mau nungguin Mbak?” Rani
menjawab dengan perasaan yang teramat lega. Segera diambilnya handuk dan
perlengkapan mandinya. Dilihatnya Rara mulai melangkah keluar kamar.
“Rara
pulang dulu saja ya mbak, masih banyak PR soalnya. Rara mau kerjakan dulu
sambil menunggu Mbak Rani selesai mandi...”
“Oh,
oke kalau begitu... nanti Mbak bantu kalau Rara ada yang kesulitan mengerjakan
PRnya ya...”
Rara
tersenyum sambil mengangguk, lalu menghilang di balik pintu ruang tamu.
Rani
cepat-cepat mandi. Tidak enak sudah ditunggu oleh keluarga Bulik Warni untuk
makan malam. Di merutuki diri kenapa terlalu pulas tidurnya tadi. Seharusnya
dia bangun sebelum gelap supaya masih sempat membantu Bulik Warni memasak makan
malam.
Tidak
sampai 15 menit kemudian, Rani sudah selesai mandi. Segera masuk kamar untuk
bersiap-siap, dan sungguh terkejut mendapati foto itu berada di lantai, di
depan tempat tidurnya. Rani ingat betul tadi meletakkan foto itu di atas
tumpukan kaus kakinya di dalam laci lemari.
“Ah, mungkin aku lupa...” Menepis keraguannya
sendiri, Rani berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Pun saat sekilas di
lihatnya wajah Della dan Indah di foto itu tampak menyeramkan, seperti yang
dilihatnya saat pertama kali menemukan foto itu, tadi siang. Rani sedikit
bergidik saat menyimpan foto itu di dalam laci lemari, kemudian bergegas pergi
ke rumah Bulik Warni.
***
Suara
tangis itu melengking memekakkan telinga. Rani menghela napas, pasti Bian lagi.
Sebulan berada PAUD ini cukup untuk Rani mengenal karakter 20 bocah-bocah
mungil itu dengan cukup baik.
Dia
bergegas keluar dan melihat Tiara, bocah cantik menggemaskan yang wajahnya
sedang berlinang air mata, tengah dipeluk oleh Bu Ambar, rekannya sesama guru.
Tak jauh dari mereka, Bian, bocah tampan yang usianya hanya terpaut beberapa
hari dengan Tiara, berdiri dengan kepala tertunduk. Wajahnya tampak lesu. Pasti
habis ditegur oleh Bu Ambar.
“Bian
merebut boneka Barbie milik Tiara...” Bisik Bu Ambar saat berjalan melewati
Rani sambil menggandeng Tiara dan Bian masuk ke dalam kelas. Rani hanya
mengangguk sambil tersenyum geli, masuk kembali ke ruangan guru yang hanya ditempatinya berdua dengan Bu Ambar saja
Tahun
ini Pakde Manto hanya mempekerjakan 3 orang saja di PAUD ini. Dia dan Bu Ambar,
serta mbak Narti, yang bertugas bersih-bersih dan membantu berbagai keperluan
Rani dan Bu Ambar di situ.
Terkadang,
Rani merasa aneh saat berada di ruangan guru sendirian. Ruangan yang terlalu
luas kalau hanya ditempati berdua saja.
Tahun
depan, saat PAUD ini sudah menerima angkatan kedua dan Pakde Manto sudah
menambah beberapa guru lagi, ruangan ini pasti akan jauh lebih menyenangkan.
Tidak seperti sekarang, entah kenapa setiap kali duduk di mejanya, Rani merasa
seperti ada yang mengawasinya dari meja-meja kosong yang belum ditempati itu.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar