Assalamualaikum temans.....
Dulu, saya sangat suka menulis fiksi. Hanya saja, setelah menikah dan menjadi ibu, kegemaran saya itu mulai terlupakan karena kesibukan mengurus rumah dan keluarga.
Beberapa kali menyempatkan diri nge-fiksi, ya tapi itu sekedar mengisi me time saja.
Ini mau mencoba nge-fiksi lagi, hehe.... karena anak-anak sudah besar dan mulai memiliki kesibukan sendiri-sendiri, jadi saya mulai mengorek-ngorek lagi hobi masa lalu, salah satunya ya menulis cerita fiksi seperti ini.
BismillahirRahmanirRahim,
Semoga teman-teman suka :D
PANGGILAN DARI MASA LALU (1)
gambar dari Pixabay |
Rani
mengedarkan pandang dari balik kaca jendela taksi yang ditumpanginya. Berusaha
mengingat dan mengenali kembali setiap sudut yang terlewati, sekaligus menggali
ingatan tentang masa kecil yang pernah dihabiskan di sini.
Hanya sedikit yang bisa diingatnya. 10 tahun adalah waktu yang sangat cukup
untuk bisa melihat berbagai perubahan yang terjadi di sini.
Rani
bahkan tak lagi mengenali toko Mas Di, yang berada di samping bekas SD nya,
tempatnya dulu jajan es dan chiki setiap pulang sekolah. Toko itu kini sudah
tampak dipugar dan disekat-sekat, mungkin sudah berganti pemilik.
Rani
menyandarkan kepala dengan lelah. Berjam-jam duduk di dalam kereta dan
berlanjut dengan taksi membuatnya begitu merindukan kasur dan bantal saat ini.
Dia membayangkan seperti apa rumah nenek sekarang. Masihkah sama seperti dulu?,
apakah kamarnya juga masih sama?
Ketika
meninggalkan rumah itu... 10 tahun yang lalu, Rani menangis. Indah dan Della,
sahabat karibnya, juga menangis. Ya, mereka menangis bersama saat itu. Berpelukan
bertiga, sedih karena tak bisa lagi bersama.
***
Beberapa
bulan setelah Nenek berpulang menyusul Kakek, Ayah lalu mendapatkan sebuah
tawaran pekerjaan yang cukup menjanjikan di Jakarta. Seandainya masih ada
Nenek, mungkin Ayah akan berangkat sendiri ke Jakarta, mencari kos atau
kontrakan kecil di sana. Membiarkan Ibu dan Rani tetap di sini untuk menjaga
dan menemani Nenek.
Tapi
berhubung Nenek sudah tidak ada, Maka Ayah lalu memutuskan untuk membawa Ibu
dan Rani ke Jakarta. Rumah dititipkan kepada Bulik Warni, saudara jauh yang
tinggal di sebelah rumah, untuk dirawat dan dibersihkan setiap hari. Tentu saja
Bulik Warni mendapatkan imbalan yang sepantasnya. Dan sejak saat itu, Rani belum pernah sekali pun kembali ke sini. Seperti kehilangan kontak dengan segala kenangannya di kota ini.
***
Taksi
memasuki halaman rumah Nenek yang cukup luas, kemudian berhenti di depan anak
tangga menuju ke beranda. Rani turun dari taksi dan memandang rumah itu dengan
perasaan berkecamuk. Entahlah, apa yang seharusnya dirasakannya. Bahagia,
bersemangat, sedih, terharu... bercampur menjadi satu dalam benaknya. Tepat di
sini, di tempatnya berdiri saat ini... dulu dia, Indah, dan Della, menangis
bersama sambil berangkulan untuk yang terakhir kalinya. Mengucapkan janji untuk
bersahabat selamanya, untuk akan rajin saling berkirim surat. Janji yang hanya
bisa ditepati Rani sampai beberapa bulan saja. Surat terakhir yang dikirimnya,
tak pernah lagi mendapatkan balasan dari Indah maupun Della.
“Wah,
Rani sudah sampai... kenapa diam saja di situ? Masuk saja, pintunya tidak Bulik
kunci kok....”
Rani
tersentak dari lamunannya. Tersenyum ke arah Bulik Warni yang berjalan
cepat-cepat dari arah rumahnya, menghampiri taksi kemudian membantu Pak Sopir
menurunkan koper dan beberapa barang bawaannya.
Seorang
gadis yang sedang beranjak remaja mengikutinya dari belakang. Meskipun sudah 10
tahun tak bertemu, Rani bisa mengenalinya.
“Ini
Rara kan...?”
Rara
mengangguk sambil tersenyum malu-malu. Dulu umurnya masih 2 tahun saat Rani
pindah ke Jakarta. Rani sangat menyayanginya dan teramat sangat sedih saat
harus berpisah dengannya. Jadi, selain menangis karena harus berpisah dengan
Indah dan Della, Rani juga menangis karena harus meninggalkan Rara, bocah imut
lucu nan menggemaskan.... yang sekarang sudah akan beranjak remaja. Rani reflek
memeluk Rara, yang membalas pelukannya dengan perasaan terkejut bercampur
senang.
“Sudah
bulik, biar Rani saja yang bawa....”
Rani
tidak enak hati melihat Bulik Warni bersusah payah membawa kopernya melewati
anak tangga menuju beranda.
“Tidak
apa-apa. Ringan ini kopermu... Bulik biasa bawa gabah satu karung....” Balas Bulik Warni sambil tertawa. Rani ikut
tertawa dengan perasaan tidak enak. Tapi itu segera terhapus dengan perasaan
yang lain. perasaan bersemangat dan antusias menghadapi hari-hari di sini lagi
selama setahun kedepan.
***
Bertepatan
dengan diraihnya gelar Sarjana Pendidikan, Pakde dan Bude Manto, kakak sepupu
Ibu yang tinggal di kota ini, mengabarkan kalau mereka
baru saja mendirikan sebuah lembaga Pendidikan Anak Usia Dini alias PAUD.
Benar-benar baru berdiri, dan baru akan menerima angkatan pertama. Itulah
sebabnya Pakde dan Bude Manto bermaksud menghemat pengeluaran di awal-awal
lembaga PAUDnya berjalan. Dan karena baru menerima angkatan pertama, mereka
hanya akan memperkerjakan dua guru saja. Dan supaya lebih bisa berhemat lagi, mereka
meminta tolong kepada Rani, untuk menjadi salah satu guru, dengan gaji
seadanya.
Pakde
Manto memprediksi, bahwa dalam setahun kedepan lembaga PAUDnya sudah bisa
berjalan dengan stabil. Saat itu, keputusan ada di tangan Rani, apakah akan
kembali ke Jakarta, atau tetap di PAUD tersebut, tentu dengan gaji yang
sewajarnya, sama seperti guru yang lainnya. Rani sangat senang. Tidak apa jika
gajinya di bawah standard. Toh niatnya memang membantu saudara. Dan itu akan
menjadi pengalaman kerjanya yang pertama.
Jadi,
di sinilah dia sekarang. Kembali ke kota tempat menghabiskan masa kecilnya. Ke
rumah tua peninggalan Nenek yang menyimpan begitu banyak kenangan bahagia.
***
Rani
memindahkan pakaian-pakaiannya dari dalam koper ke dalam lemari lamanya. Lemari
miliknya 10 tahun yang lalu.
Lemari
itu sudah dibersihkan oleh Bulik Warni, jadi Rani tinggal memakainya saja.
Ranjang dan seluruh sudut kamar juga sudah dirapikan dan dibersihkan. Untung
saja, karena Rani merasa sangat lelah dan satu-satunya yang diinginkannya saat
ini hanyalah menuntaskan kerinduannya kepada kasur dan bantal yang sudah
dipendamnya sedari tadi.
Semua
pakaian dan barang-barangnya sudah beres. Tinggal pakaian dalam dan beberapa
kaus kaki yang rencananya akan disimpannya di dalam laci yang berada di dalam
lemari. Ya, Rani menyusun pakaian dan barang-barangnya sama persis seperti 10
tahun yang lalu. Seperti masa kecilnya dulu.
“Hmm...
rupanya aku terlalu terbawa arus melankolis masa lalu.” Pikir Rani sambil
mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Dia tersenyum geli bercampur senang
melihat penataan perabot dan barang-barang yang sengaja ditatanya persis seperti
dulu.
Diambilnya
pouch besar berisi pakaian dalam dan beberapa kaus kakinya. Itu adalah barang
terakhir yang belum tertata di tempatnya. Rani membuka laci lemari, lalu
terkesiap melihat sesuatu di dalamnya.
bersambung
Mohon bersabar menunggu lanjutannya ya temans, di samping itu, mohon kritik dan sarannya juga ya....
Terima kasih... :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar