Translate

Minggu, 14 Juli 2019

Panggilan Dari Masa Lalu (1)

Assalamualaikum temans.....
Dulu, saya sangat suka menulis fiksi.  Hanya saja, setelah menikah dan menjadi ibu, kegemaran saya itu mulai terlupakan karena kesibukan mengurus rumah dan keluarga.

Beberapa kali menyempatkan diri nge-fiksi, ya tapi itu sekedar mengisi me time saja. 

Ini mau mencoba nge-fiksi lagi, hehe.... karena anak-anak sudah besar dan mulai memiliki kesibukan sendiri-sendiri, jadi saya mulai mengorek-ngorek lagi hobi masa lalu, salah satunya ya menulis cerita fiksi seperti ini.

BismillahirRahmanirRahim,
Semoga teman-teman suka :D

PANGGILAN DARI MASA LALU (1)

gambar dari Pixabay

Rani mengedarkan pandang dari balik kaca jendela taksi yang ditumpanginya. Berusaha mengingat dan mengenali kembali setiap sudut yang terlewati, sekaligus menggali ingatan tentang masa kecil yang pernah dihabiskan di sini.

Hanya sedikit yang bisa diingatnya. 10 tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk bisa melihat berbagai perubahan yang terjadi di sini.
Rani bahkan tak lagi mengenali toko Mas Di, yang berada di samping bekas SD nya, tempatnya dulu jajan es dan chiki setiap pulang sekolah. Toko itu kini sudah tampak dipugar dan disekat-sekat, mungkin sudah berganti pemilik.
Rani menyandarkan kepala dengan lelah. Berjam-jam duduk di dalam kereta dan berlanjut dengan taksi membuatnya begitu merindukan kasur dan bantal saat ini. Dia membayangkan seperti apa rumah nenek sekarang. Masihkah sama seperti dulu?, apakah kamarnya juga masih sama?
Ketika meninggalkan rumah itu... 10 tahun yang lalu, Rani menangis. Indah dan Della, sahabat karibnya, juga menangis. Ya, mereka menangis bersama saat itu. Berpelukan bertiga, sedih karena tak bisa lagi bersama.
***
Beberapa bulan setelah Nenek berpulang menyusul Kakek, Ayah lalu mendapatkan sebuah tawaran pekerjaan yang cukup menjanjikan di Jakarta. Seandainya masih ada Nenek, mungkin Ayah akan berangkat sendiri ke Jakarta, mencari kos atau kontrakan kecil di sana. Membiarkan Ibu dan Rani tetap di sini untuk menjaga dan menemani Nenek.
Tapi berhubung Nenek sudah tidak ada, Maka Ayah lalu memutuskan untuk membawa Ibu dan Rani ke Jakarta. Rumah dititipkan kepada Bulik Warni, saudara jauh yang tinggal di sebelah rumah, untuk dirawat dan dibersihkan setiap hari. Tentu saja Bulik Warni mendapatkan imbalan yang sepantasnya. Dan sejak saat itu, Rani belum pernah sekali pun kembali ke sini. Seperti kehilangan kontak dengan segala kenangannya di kota ini.
***
Taksi memasuki halaman rumah Nenek yang cukup luas, kemudian berhenti di depan anak tangga menuju ke beranda. Rani turun dari taksi dan memandang rumah itu dengan perasaan berkecamuk. Entahlah, apa yang seharusnya dirasakannya. Bahagia, bersemangat, sedih, terharu... bercampur menjadi satu dalam benaknya. Tepat di sini, di tempatnya berdiri saat ini... dulu dia, Indah, dan Della, menangis bersama sambil berangkulan untuk yang terakhir kalinya. Mengucapkan janji untuk bersahabat selamanya, untuk akan rajin saling berkirim surat. Janji yang hanya bisa ditepati Rani sampai beberapa bulan saja. Surat terakhir yang dikirimnya, tak pernah lagi mendapatkan balasan dari Indah maupun Della.
“Wah, Rani sudah sampai... kenapa diam saja di situ? Masuk saja, pintunya tidak Bulik kunci kok....”
Rani tersentak dari lamunannya. Tersenyum ke arah Bulik Warni yang berjalan cepat-cepat dari arah rumahnya, menghampiri taksi kemudian membantu Pak Sopir menurunkan koper dan beberapa barang bawaannya.
Seorang gadis yang sedang beranjak remaja mengikutinya dari belakang. Meskipun sudah 10 tahun tak bertemu, Rani bisa mengenalinya.
“Ini Rara kan...?”
Rara mengangguk sambil tersenyum malu-malu. Dulu umurnya masih 2 tahun saat Rani pindah ke Jakarta. Rani sangat menyayanginya dan teramat sangat sedih saat harus berpisah dengannya. Jadi, selain menangis karena harus berpisah dengan Indah dan Della, Rani juga menangis karena harus meninggalkan Rara, bocah imut lucu nan menggemaskan.... yang sekarang sudah akan beranjak remaja. Rani reflek memeluk Rara, yang membalas pelukannya dengan perasaan terkejut bercampur senang.
“Sudah bulik, biar Rani saja yang bawa....”
Rani tidak enak hati melihat Bulik Warni bersusah payah membawa kopernya melewati anak tangga menuju beranda.
“Tidak apa-apa. Ringan ini kopermu... Bulik biasa bawa gabah satu karung....”  Balas Bulik Warni sambil tertawa. Rani ikut tertawa dengan perasaan tidak enak. Tapi itu segera terhapus dengan perasaan yang lain. perasaan bersemangat dan antusias menghadapi hari-hari di sini lagi selama setahun kedepan.
***
Bertepatan dengan diraihnya gelar Sarjana Pendidikan, Pakde dan Bude Manto, kakak sepupu Ibu yang tinggal di kota ini, mengabarkan kalau mereka baru saja mendirikan sebuah lembaga Pendidikan Anak Usia Dini alias PAUD. Benar-benar baru berdiri, dan baru akan menerima angkatan pertama. Itulah sebabnya Pakde dan Bude Manto bermaksud menghemat pengeluaran di awal-awal lembaga PAUDnya berjalan. Dan karena baru menerima angkatan pertama, mereka hanya akan memperkerjakan dua guru saja.  Dan supaya lebih bisa berhemat lagi, mereka meminta tolong kepada Rani, untuk menjadi salah satu guru, dengan gaji seadanya.
Pakde Manto memprediksi, bahwa dalam setahun kedepan lembaga PAUDnya sudah bisa berjalan dengan stabil. Saat itu, keputusan ada di tangan Rani, apakah akan kembali ke Jakarta, atau tetap di PAUD tersebut, tentu dengan gaji yang sewajarnya, sama seperti guru yang lainnya. Rani sangat senang. Tidak apa jika gajinya di bawah standard. Toh niatnya memang membantu saudara. Dan itu akan menjadi pengalaman kerjanya yang pertama.
Jadi, di sinilah dia sekarang. Kembali ke kota tempat menghabiskan masa kecilnya. Ke rumah tua peninggalan Nenek yang menyimpan begitu banyak kenangan bahagia.
***
Rani memindahkan pakaian-pakaiannya dari dalam koper ke dalam lemari lamanya. Lemari miliknya 10 tahun yang lalu.
Lemari itu sudah dibersihkan oleh Bulik Warni, jadi Rani tinggal memakainya saja. Ranjang dan seluruh sudut kamar juga sudah dirapikan dan dibersihkan. Untung saja, karena Rani merasa sangat lelah dan satu-satunya yang diinginkannya saat ini hanyalah menuntaskan kerinduannya kepada kasur dan bantal yang sudah dipendamnya sedari tadi.
Semua pakaian dan barang-barangnya sudah beres. Tinggal pakaian dalam dan beberapa kaus kaki yang rencananya akan disimpannya di dalam laci yang berada di dalam lemari. Ya, Rani menyusun pakaian dan barang-barangnya sama persis seperti 10 tahun yang lalu. Seperti masa kecilnya dulu.
“Hmm... rupanya aku terlalu terbawa arus melankolis masa lalu.” Pikir Rani sambil mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Dia tersenyum geli bercampur senang melihat penataan perabot dan barang-barang yang sengaja ditatanya persis seperti dulu.
Diambilnya pouch besar berisi pakaian dalam dan beberapa kaus kakinya. Itu adalah barang terakhir yang belum tertata di tempatnya. Rani membuka laci lemari, lalu terkesiap melihat sesuatu di dalamnya.

                     bersambung



Mohon bersabar menunggu lanjutannya ya temans, di samping itu, mohon kritik dan sarannya juga ya....
Terima kasih... :D



Tidak ada komentar:

Posting Komentar