Part sebelumnya di sini.
“Hati-hati
Ra, jangan bawa ponsel ke kamar mandi, nanti kecemplung di air lho..” Rani
berusaha mengingatkan. Tapi Rara sudah menghilang ke ruang dalam. Cepat sekali
jalannya. Rani merasa ada yang janggal.... tapi apa...?
Rani
ingin berpikir logis. Maka segera dibuangnya berbagai perasaan janggal yang
saat ini berkecamuk memenuhi benaknya. “Cepat selesaikan pekerjaan, kemudian
tidur.” Tekadnya. Tubuhnya terasa penat setelah semua yang dilaluinya hari ini.
Tubuhnya,... juga hatinya.
Baru
beberapa detik dia menunduk menekuri pekerjaannya yang menumpuk, tiba-tiba
didengarnya suara Rara dan Bulik Warni yang sedang mengobrol di luar. Serta
langkah kaki mereka saat menaiki tangga kecil menuju teras.
Jantung
Rani seperti berhenti berdetak. Jika Rara berada di luar, lalu siapa yang saat
ini berada di kamar mandi...?
Pintu
terbuka.
“Assalamualaikum....”
Rara
mengucap salam. Seperti yang biasa dia lakukan saat akan memasuki rumah. Bulik
Warni mengikutinya dari belakang. Membawa sepiring kacang rebus yang uapnya
masih tampak mengepul.
“Ini...
baru matang. Untuk menemani menyelesaikan pekerjaanmu.” Kata Bulik Warni sambil
meletakkan piring kacang di atas meja.
“Memang
keterlaluan sekali kok pakdemu itu. Lha mbok ya menambah satu saja pegawai lagi
supaya pekerjaanmu tidak terlalu berat seperti ini.” Omelnya, seperti biasa jika
dilihatnya Rani membawa pulang pekerjaannya yang menumpuk.
“Mbak
Rani...? kenapa...? Mbak baik-baik saja...?”
Rara
akhirnya menyadari ada yang tidak beres dengan Rani. Tampak pucat, syok, dan
ketakutan.
Bulik
Warni juga mulai menyadari, lalu menyentuh tangan Rani. Rani terlonjak oleh
sentuhan lembut itu, kemudian tangisnya pecah.
Seluruh
tubuhnya gemetar. Dia ingin bercerita, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Hanya suara isak tangis saja yang mampu dikeluarkannya dari bibirnya.
Bulik
Warni dan Rara tampak kebingungan. Berusaha menenangkannya sambil terus saja
bertanya ada apa.
Setelah
mereguk segelas air yang disodorkan oleh Rara, Rani mulai sedikit tenang.
Diceritakannya bahwa tadi ada ‘Rara lain’ di sini. Berbicara dengannya, dan
pamit hendak ke kamar mandi.
“Tapi
waktu Rara mengambil air untuk Mbak Rani di dapur tadi, Rara lihat di kamar
mandi tidak ada siapa-siapa, Mbak... kosong...”
Rani
kembali menangis.
Lagi-lagi
hanya dirinya saja yang melihat. Kenapa yang lain tidak melihat juga? Apa
‘mereka’ memang sengaja hanya ingin mengganggunya saja? Tapi kenapa? Apa
salahnya? Apa mereka tidak menyukai kehadirannya kembali di rumah ini? Tapi
bukankah ini juga rumahnya? Berbagai macam pertanyaan datang silih berganti
memenuhi hati dan pikirannya.
Akhirnya
Bulik Warni menyuruh Rani untuk membereskan pekerjaannya. “Lanjut besok
saja!” Perintahnya. Bulik menganggap
bahwa Rani terlalu lelah bekerja sehingga berhalusinasi yang tidak-tidak.
Mungkin
khawatir atau apa, Bulik kemudian memutuskan untuk menginap di sini juga. Tidur
di kamar bekas orang tuanya. Yah, paling tidak, itu membuat Rani jauh lebih
tenang. Paling tidak, malam ini dia tidak sendirian. Karena Rani benar-benar
tidak sanggup jika harus sendiri saja malam ini.
***
Padang
rumput ini lagi.
Bahkan
dalam mimpi pun, Rani mulai paham bahwa ini hanya mimpi. Karena setiap kali
dalam tidurnya, mimpinya hanya seperti ini saja. Rani bahkan sudah hapal bahwa
setelah ini, suara Indah dan Della akan terdengar bersahut-sahutan. Suara
terakhir yang didengarnya sebelum mereka berpisah. Suara yang tidak tumbuh
dewasa.
Rani
hanya berjalan-jalan saja di padang rumput itu. Tidak lagi mencari-cari Della
dan Indah. Karena dia tahu pasti bahwa itu sia-sia. Meski suara mereka
terdengar bersahut-sahutan memintanya pergi dari sini, tapi wujud mereka tak
pernah terlihat. Mereka seperti tak pernah ada.
Rani
terus berjalan. Padang rumput ini seperti tak ada habisnya. Dan sejauh apapun
dia berjalan, pemandangannya selalu sama. Rani sudah tidak takut lagi akan
tersesat. Karena dia tahu, ini hanya mimpi. Setelah dia terbangun nanti, semua
akan baik-baik saja. Seperti biasanya.
Dan
butuh beberapa saat untuk mengetahui bahwa kali ini dia salah. Bahwa kali ini
ada yang tidak seperti biasanya.
***
***
( Rara )
Rara
gelisah. Matanya tak kunjung terpejam. Meski hanya tinggal di rumah sebelah,
namun sepanjang ingatannya, baru kali ini dia menginap tidur di sini.
Kenangan
masa kecilnya di rumah ini hanya terlintas sekilas-sekilas saja. Wajar, karena
usianya masih dua tahun saat itu. Saat Rani masih sering menggendongnya dan
mengajaknya bermain atau tidur siang di kamarnya. Di kamar ini.
Yang
dia ingat selanjutnya hanyalah dia tak pernah lagi bertemu dengan Rani, dan
rumah ini kosong. Ibu setiap hari datang untuk bersih-bersih, menyalakan lampu
di sore hari, dan mematikannya di pagi hari.
Di
hari Minggu, terkadang dia yang ditugaskan oleh Ibu untuk bersih-bersih di
rumah ini. Menyapu, mengepel, membersihkan kamar mandi, dan mengelap seluruh
perabotan yang masih tertinggal di sini.
Saat
membersihkan kamar Rani, terkadang memorinya terputar meski tidak sempurna.
Bahwa dia pernah menghabiskan waktu bersama Rani kecil di sini. Sekali lagi,
hanya terlintas sekilas-sekilas saja. Ya, karena dia memang masih sangat kecil
waktu itu.
Yang
kemudian benar-benar diingatnya adalah, ketika suatu malam, didengarnya suara
seorang anak memanggil-manggil nama Rani.
Rara
heran, kenapa ada seorang anak mencari Rani? Apa dia tidak tahu kalau Rani
sudah pindah ke Jakarta sejak bertahun-tahun yang lalu? Siapa dia? Kalau
temannya Rani, kenapa suaranya seperti suara anak-anak?
Terdorong
rasa penasaran, Rara mengintip dari balik gorden kamarnya. Menajamkan pandang
ke rumah sebelah yang hanya dipisahkan oleh sebidang kecil tanah yang
dimanfaatkan oleh Ibu untuk tempat jemuran.
Dalam
keremangan lampu teras, dilihatnya sesosok anak laki-laki.... mungkin
seusianya... berdiri di depan pintu sambil terus saja memanggil-manggil Rani.
Rara
masih bertanya-tanya siapa anak itu, ketika... tiba-tiba... anak laki-laki itu
menoleh dan memandang tajam ke arahnya.
bersambung
Serem...
BalasHapus