gambar dari Pixabay |
( Rara )
Rara
merasakan seluruh tubuhnya gemetar di balik selimut. Kenapa anak itu tidak
pergi-pergi? Suaranya justru terdengar semakin nyaring memanggil-manggil Rani.
Rara semakin ketakutan. Bagaimana kalau dia masuk ke rumah ini...?
Diulurkannya
satu tangan keluar dari selimut dan menggoyang-nggoyang tubuh Rani. “Mbaakk...
bangun Mbaakk....” Bisiknya sambil
menggoyang tubuh Rani semakin keras.
Tak
ada reaksi. Dengkur halus Rani masih terdengar lembut dan teratur. “Mbak Rani
ini sedang bermimpi apa sih, sampai pules banget gitu tidurnya...” Pikirnya
dengan kesal.
Akhirnya
Rara hanya diam di balik selimutnya. Pasrah menunggu hantu itu pergi dengan
sendirinya. Menghitung suara detik jarum jam dan berharap pagi segera datang.
Sedikit
kelegaan mengalir dalam hatinya ketika terdengar pintu kamar yang ditempati Ibu
terbuka. “Syukurlah aku tidak mendengarkan hantu itu sendirian...” Pikirnya. Dibukanya selimut yang menutupi
kepala ketika didengarnya Ibu masuk ke kamarnya.
“Ra...
dengar tidak?...” Bisik Ibu. Rara hanya
mengangguk. Tangannya kembali menggoyang-nggoyang tubuh Rani untuk membangukan.
Tapi Dicegah oleh Ibu. “Sudah, biarkan saja. Nanti malah tambah syok mbak-mu
itu, kalau sampai mendengar juga.”
Rara
menurut. Sedikit kesal karena Rani benar-benar pulas sampai tidak mendengar
kalau ada hantu yang sedang mencarinya, dan mungkin juga setiap malam
memanggil-manggil dirinya.
“Ayo,
temani Ibu melihat ke depan..” Ajak Ibu
sambil menggamit tangannya. Rara terperangah. Tak percaya dengan apa yang baru
saja didengarnya. Yang benar saja Ibu mau melihat dan menemui hantu itu...?
“Kalau
tidak diselesaikan sekarang, nanti malah makin berlarut-larut masalahnya.
Kasihan Mbakmu kalau jadi terus-menerus merasa ketakutan.” Ibu seperti menangkap apa yang sedang
dipikirkannya.
Rara
tahu, Ibu memang terkenal pemberani. Seringkali Ibu bercerita tentang masa
kecilnya, saat dulu kampung ini masih jarang penduduknya, dan lebih banyak
didominasi lahan-lahan kosong, sawah, dan kebun bambu. Katanya, Ibu sering
melihat makhluk tinggi besar di kebun bambu, yang orang-orang sebut sebagai
genderuwo. Atau orang-orang asing yang tidak dikenalnya di persawahan, tapi saat
Ibu menengok ke arah lain sebentar, tahu-tahu orang itu sudah tidak ada.
Ya,
Ibu memang pemberani, tapi bukan berarti sekarang ini harus dengan sengaja
menemui hantu kan? Rara ingin protes,
tapi Ibu sudah menarik tangannya keluar kamar, menuju ruang depan.
Rara
merasakan bahwa jantungnya berdegup kencang, dan kakinya lemas seperti tak
bertenaga. Rasa takut menguasai seluruh sendi dalam tubuhnya, hingga rasanya
lunglai tak berdaya.
Dalam
hati, dia sungguh kesal pada Rani. Ranilah yang dicari-cari oleh hantu, tapi
kenapa dia yang sekarang harus menghadapi si hantu?. Meskipun begitu, tetap
saja di sudut hatinya dia membenarkan kata-kata Ibu.
Rara
sudah terlanjur merasa` nyaman dengan keberadaan Rani di sini. Dia yang selama
ini sendirian, tiba-tiba seperti memiliki seorang kakak yang pengertian dan
menyenangkan. Mendengarkan berbagai curhatannya, membantu mengerjakan PRnya,
menemaninya belajar, dan memahami gejolak masa remajanya.
Rara
terlanjur sangat menyayangi Rani, begitupun sebaliknya. Jika masalah ini terus
berlarut dan menyebabkan Rani tidak betah dan memutuskan untuk kembali ke
Jakarta, tentu dia akan merasa sangat sedih.
Jadi,
dikuat-kuatkannya hatinya untuk membantu Rani menyelesaikan persoalan ini.
Digandengnya tangan Ibu erat-erat untuk menetralisir rasa takutnya. Telapak tangan
Ibu basah oleh keringat. Sepertinya, Ibu juga ketakutan.
Mereka
berdua berhenti di depan pintu. Saling memandang, saling menggenggam tangan,...
saling menguatkan. Hantu itu masih memanggil-manggil Rani. Dan dengan jarak
yang hanya dipisahkan oleh selembar daun pintu, suaranya terdengar lebih seram
dan menakutkan.
Ibu
memegang handle pintu. Berdoa, menguatkan hati.... lalu membuka pintu.
Kosong.
Tak ada apapun dan siapapun. Suara tadi juga lenyap begitu saja. Rara
menghembuskan nafas lega. Bersyukur tidak harus bertatap muka dengan si hantu.
Hanya
melihat dari kejauhan dari balik jendela kamarnya saja hantu itu sudah teramat
menakutkan, apalagi jika harus bertatap muka dari dekat. Hiiyy.... Rara tidak
berani membayangkan.
***
Bagas
masih berdiri di sana. Tersenyum. Menunggunya datang. Menawarkan persahabatan,
kenyamanan, dan kedamaian. Meski tidak bicara, tapi Rani tahu bahwa Bagas
memanggilnya. Bahwa Bagas sudah menunggunya sejak lama.
“Rani...
pergilah... kamu harus cepat pergi....”
“Pergilah
Rani... cepat pergi...!”
Tiba-tiba
suara Della dan Indah terdengar ribut bersahut-sahutan.
Rani
mengedarkan pandang ke sekeliling. Berharap kali ini dapat bertemu dengan kedua
sahabatnya.
Nihil.
Tetap saja Rani tidak melihat mereka.
Entah di mana mereka bersembunyi, Rani mulai merasa kesal terhadap Della dan
Indah.
“Ikutlah
denganku Rani, akan kuajak kau ke tempat Indah dan Della.” Tiba-tiba Bagas bersuara. Suara yang sama
saat terakhir kali Rani bertemu dengannya.
“Benarkah...?”
Tanya Rani. Merasa senang, dan mulai melangkah mendekati Bagas.
“Rani...
jangan dekati dia... kamu pergi saja, Rani...”
“Pergi
Rani.... cepat pergi dari sini.....”
Suara
Indah dan Della terdengar begitu dekat. Begitu nyata... dan.... mereka ada!
Rani
tersenyum senang melihat kedua sahabatnya. Dia tidak peduli lagi dengan
kenyataan bahwa Della dan Indah juga tidak tumbuh dewasa. Dia berlari
menghampiri Della dan Indah... tapi kedua sahabat yang begitu dirindukannya itu
malah mundur sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan semakin ribut
menyuruhnya untuk segera pergi.
“Ta...
tapi.... kenapa...?” Tanya Rani bingung.
Dan
saat itulah dia menyadari bahwa Bagas sedang menatap Della dan Indah dengan
pandangan penuh amarah. Senyum menenangkan yang sejak tadi menghiasi bibirnya
berubah menjadi seringai jahat dan menakutkan.
Wajahnya yang tampan berubah pucat dan menyeramkan.
Rani
merasa tidak asing dengan wajah menyeramkan itu... dia pernah melihatnya
sebelumnya......
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar