Translate

Jumat, 30 Agustus 2019

Panggilan Dari Masa Lalu ( 6 )


Gambar dari PIXABAY

Part sebelumnya di sini.
Rara masih bertanya-tanya siapa anak itu, ketika... tiba-tiba... anak laki-laki itu menoleh dan memandang tajam ke arahnya.

Jantungnya bagai berhenti berdetak. Rara ingin mengalihkan pandang, tapi tak bisa. Matanya seperti terus dipaksa untuk melihat ke sana. Melihat wajah anak laki-laki seusianya yang begitu pucat menyeramkan di bawah temaram cahaya lampu beranda.
Mungkin Rara akan pingsan jika saja saat itu Ibu tidak masuk ke kamarnya dan bertanya apa yang sedang di lihatnya di luar sana. Rara akhirnya berkedip dan anak laki-laki itu hilang dalam sekerjapan mata.
Dan malam ini, saat jam mulai menunjukkan lewat tengah malam dan matanya belum mampu juga terpejam, dia mulai bertanya-tanya akankah suara anak laki-laki yang memanggil-manggil Rani itu akan didengarnya lagi? Apakah dia datang setiap malam, atau hanya sekali itu saja di malam ketika Rara melihatnya?
Rara bergidik ngeri membayangkan anak laki-laki itu sedang berada di teras saat ini. Dengan wajah pucat dan lingkaran mata yang berwarna hitam keunguan, berdiri di bawah cahaya lampu teras yang remang-remang, sambil memanggil-manggil Rani.
Hiiiyyyy.... Rara sekuat tenaga menepis pikirannya yang menakutkan, menarik selimut hingga ke atas kepalanya.... dan.... benar saja..... akhirnya dia mendengarnya...
“Raaa niii.....  Raaa... niiii......”
***
Rani terus saja berjalan. Dalam hati bertanya-tanya kenapa mimpinya tak kunjung usai? Meski tak merasakan lelah, tapi Rani tahu bahwa dia sudah berjalan cukup lama.
Akhirnya langkahnya terhenti saat matanya menangkap seseorang berdiri di kejauhan. Di antara pepohonan, seperti sedang sengaja menunggunya datang.
Rani mempercepat langkahnya, ingin tahu siapa gerangan yang berdiri di sana.
Seorang anak laki-laki. Menjelang remaja, mungkin seusia Rara.  Rani merasa familiar dengan wajahnya.
Ah ya, Rani ingat sekarang. Dia adalah salah satu teman SD-nya dulu, sebelum Rani pindah ke Jakarta saat mendekati pertengahan kelas 6.
Tiba-tiba Rani merasa bahwa dirinya tersedot ke masa itu, saat dia menghabiskan sebagian besar masa SD-nya di kota ini, yang hanya sampai awal kelas 6 saja.
***
***
( Rani kecil )
Rani, Della, dan Indah baru saja kembali dari kantin ketika Bagas dan Nisa, sang ketua kelas dan wakilnya, tampak sibuk membagi-bagikan kaos biru bertuliskan nama sekolah mereka.
Kaos untuk study wisata yang akan diselenggarakan dalam beberapa bulan ke depan. Seluruh kelas tampak riang dan bersemangat. Semua membicarakan tentang study wisata itu.
Kecuali Rani. Sudah dipastikan bahwa dia tidak akan bisa ikut karena dia dan keluarganya sudah harus berangkat ke Jakarta tepat seminggu sebelum study wisata berlangsung.
Hatinya hancur berkeping-keping. Dia sangat ingin mengikuti acara itu, tapi pekerjaan baru Ayah di Jakarta tidak bisa menunggu.
Bagas menghampirinya, memberikan sebuah kaos yang terbungkus plastik bening.  “Kata Bu Murti, kamu tetap dapat kaos ini. Meskipun kamu nggak ikut study wisata, tapi kamu tetap bagian dari kelas ini...”
Kata-kata Bagas membuat pertahanannya runtuh. Rani menangis tersedu-sedu. Air matanya deras berlelehan di pipinya.
Della dan Indah memeluk dan menghiburnya. Pun teman-temannya yang lain. Semua berkerumun di mejanya dan menyemangatinya. Menghiburnya.
“Bagaimanapun, kamu tetap bagian dari kelas ini, Rani....”  kata-kata itu yang berulang-ulang diucapkan oleh Bagas. Dan itu membuat hatinya tersentuh. Merasa terhibur.
“Iya, meski kamu pindah ke Jakarta, kamu tetap bagian dari kelas ini...” teman-temannya yang lain mengikuti ucapan Bagas.
“Kamu tetap bagian dari kami, Rani...”
“Kita akan tetap berteman selamanya...”
***
Sebuah kekuatan seperti menarik tubuhnya ke dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Dan tiba-tiba saja dia sudah berada di padang rumput ini lagi.
Anak laki-laki itu masih di sana. Ah, dialah Bagas. Ketua kelas yang senantiasa menyemangatinya dengan mengatakan bahwa dia tetaplah bagian dari kelas mereka, meskipun sudah pindah.
Ada sepercik kebahagiaan mengalir di hatinya. Dia bertemu bagas. Berarti, mungkin dia masih bisa bertemu dengan Della dan Indah.
Bagas tersenyum padanya. Rani ingat senyuman itu. Senyum yang selalu menenangkan. Bagas adalah seorang ketua kelas yang luar biasa.
Meski usianya baru 12 tahun, tapi dia mampu menyikapi apapun dengan bijak dan berkepala dingin. Saat di antara mereka ada yang sedang bermusuhan, Bagas akan selalu turun tangan mendamaikan dengan tidak memihak. Saat ada yang sedang mengalami masalah, Bagaslah yang akan dengan cepat menggerakkan seluruh kelas untuk membantu sejauh yang mereka mampu. Bagas seperti seorang kakak bagi seluruh kelas. Senyumannya menenangkan. Tatapan matanya mendamaikan.
Dan sekarang Rani bagai terhipnotis dengan senyuman itu. Sepercik kebahagiaan yang sejak tadi dirasakannya kini semakin membuncah. Meski sebagian kecil kesadarannya bertanya-tanya, kenapa Bagas tidak tumbuh dewasa...?

Bersambung
==============================================================
Saya juga memposting cerbung fiksi ini di grup Facebook KOMUNITAS BISA MENULIS ya temans....  saya beritahukan hal ini supaya jika ada temans yang membaca ini juga di grup tersebut, tidak ada sangkaan plagiat.
Terima kasih ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar