Translate

Selasa, 03 September 2019

Panggilan Dari Masa Lalu (7)


gambar dari Pixabay




( Rara )
Rara merasakan seluruh tubuhnya gemetar di balik selimut. Kenapa anak itu tidak pergi-pergi? Suaranya justru terdengar semakin nyaring memanggil-manggil Rani. Rara semakin ketakutan. Bagaimana kalau dia masuk ke rumah ini...?

Diulurkannya satu tangan keluar dari selimut dan menggoyang-nggoyang tubuh Rani. “Mbaakk... bangun Mbaakk....”  Bisiknya sambil menggoyang tubuh Rani semakin keras.
Tak ada reaksi. Dengkur halus Rani masih terdengar lembut dan teratur. “Mbak Rani ini sedang bermimpi apa sih, sampai pules banget gitu tidurnya...” Pikirnya dengan kesal.
Akhirnya Rara hanya diam di balik selimutnya. Pasrah menunggu hantu itu pergi dengan sendirinya. Menghitung suara detik jarum jam dan berharap pagi segera datang.
Sedikit kelegaan mengalir dalam hatinya ketika terdengar pintu kamar yang ditempati Ibu terbuka. “Syukurlah aku tidak mendengarkan hantu itu sendirian...”  Pikirnya. Dibukanya selimut yang menutupi kepala ketika didengarnya Ibu masuk ke kamarnya.
“Ra... dengar tidak?...” Bisik Ibu.  Rara hanya mengangguk. Tangannya kembali menggoyang-nggoyang tubuh Rani untuk membangukan. Tapi Dicegah oleh Ibu. “Sudah, biarkan saja. Nanti malah tambah syok mbak-mu itu, kalau sampai mendengar juga.”
Rara menurut. Sedikit kesal karena Rani benar-benar pulas sampai tidak mendengar kalau ada hantu yang sedang mencarinya, dan mungkin juga setiap malam memanggil-manggil dirinya.
“Ayo, temani Ibu melihat ke depan..”  Ajak Ibu sambil menggamit tangannya. Rara terperangah. Tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Yang benar saja Ibu mau melihat dan menemui hantu itu...?
“Kalau tidak diselesaikan sekarang, nanti malah makin berlarut-larut masalahnya. Kasihan Mbakmu kalau jadi terus-menerus merasa ketakutan.”  Ibu seperti menangkap apa yang sedang dipikirkannya.
Rara tahu, Ibu memang terkenal pemberani. Seringkali Ibu bercerita tentang masa kecilnya, saat dulu kampung ini masih jarang penduduknya, dan lebih banyak didominasi lahan-lahan kosong, sawah, dan kebun bambu. Katanya, Ibu sering melihat makhluk tinggi besar di kebun bambu, yang orang-orang sebut sebagai genderuwo. Atau orang-orang asing yang tidak dikenalnya di persawahan, tapi saat Ibu menengok ke arah lain sebentar, tahu-tahu orang itu sudah tidak ada.
Ya, Ibu memang pemberani, tapi bukan berarti sekarang ini harus dengan sengaja menemui hantu kan?  Rara ingin protes, tapi Ibu sudah menarik tangannya keluar kamar, menuju ruang depan.
Rara merasakan bahwa jantungnya berdegup kencang, dan kakinya lemas seperti tak bertenaga. Rasa takut menguasai seluruh sendi dalam tubuhnya, hingga rasanya lunglai tak berdaya.
Dalam hati, dia sungguh kesal pada Rani. Ranilah yang dicari-cari oleh hantu, tapi kenapa dia yang sekarang harus menghadapi si hantu?. Meskipun begitu, tetap saja di sudut hatinya dia membenarkan kata-kata Ibu.
Rara sudah terlanjur merasa` nyaman dengan keberadaan Rani di sini. Dia yang selama ini sendirian, tiba-tiba seperti memiliki seorang kakak yang pengertian dan menyenangkan. Mendengarkan berbagai curhatannya, membantu mengerjakan PRnya, menemaninya belajar, dan memahami gejolak masa remajanya.
Rara terlanjur sangat menyayangi Rani, begitupun sebaliknya. Jika masalah ini terus berlarut dan menyebabkan Rani tidak betah dan memutuskan untuk kembali ke Jakarta, tentu dia akan merasa sangat sedih.
Jadi, dikuat-kuatkannya hatinya untuk membantu Rani menyelesaikan persoalan ini. Digandengnya tangan Ibu erat-erat untuk menetralisir rasa takutnya. Telapak tangan Ibu basah oleh keringat. Sepertinya, Ibu juga ketakutan.
Mereka berdua berhenti di depan pintu. Saling memandang, saling menggenggam tangan,... saling menguatkan. Hantu itu masih memanggil-manggil Rani. Dan dengan jarak yang hanya dipisahkan oleh selembar daun pintu, suaranya terdengar lebih seram dan menakutkan.
Ibu memegang handle pintu. Berdoa, menguatkan hati.... lalu membuka pintu.
Kosong. Tak ada apapun dan siapapun. Suara tadi juga lenyap begitu saja. Rara menghembuskan nafas lega. Bersyukur tidak harus bertatap muka dengan si hantu.
Hanya melihat dari kejauhan dari balik jendela kamarnya saja hantu itu sudah teramat menakutkan, apalagi jika harus bertatap muka dari dekat. Hiiyy.... Rara tidak berani membayangkan.
***
Bagas masih berdiri di sana. Tersenyum. Menunggunya datang. Menawarkan persahabatan, kenyamanan, dan kedamaian. Meski tidak bicara, tapi Rani tahu bahwa Bagas memanggilnya. Bahwa Bagas sudah menunggunya sejak lama.
“Rani... pergilah... kamu harus cepat pergi....”
“Pergilah Rani... cepat pergi...!”
Tiba-tiba suara Della dan Indah terdengar ribut bersahut-sahutan.
Rani mengedarkan pandang ke sekeliling. Berharap kali ini dapat bertemu dengan kedua sahabatnya.
Nihil. Tetap saja  Rani tidak melihat mereka. Entah di mana mereka bersembunyi, Rani mulai merasa kesal terhadap Della dan Indah.
“Ikutlah denganku Rani, akan kuajak kau ke tempat Indah dan Della.”  Tiba-tiba Bagas bersuara. Suara yang sama saat terakhir kali Rani bertemu dengannya.
“Benarkah...?” Tanya Rani.  Merasa senang,  dan mulai melangkah mendekati Bagas.
“Rani... jangan dekati dia... kamu pergi saja, Rani...”
“Pergi Rani.... cepat pergi dari sini.....”
Suara Indah dan Della terdengar begitu dekat. Begitu nyata... dan.... mereka ada!
Rani tersenyum senang melihat kedua sahabatnya. Dia tidak peduli lagi dengan kenyataan bahwa Della dan Indah juga tidak tumbuh dewasa. Dia berlari menghampiri Della dan Indah... tapi kedua sahabat yang begitu dirindukannya itu malah mundur sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan semakin ribut menyuruhnya untuk segera pergi.
“Ta... tapi.... kenapa...?” Tanya Rani bingung.
Dan saat itulah dia menyadari bahwa Bagas sedang menatap Della dan Indah dengan pandangan penuh amarah. Senyum menenangkan yang sejak tadi menghiasi bibirnya berubah menjadi seringai jahat dan menakutkan.  Wajahnya yang tampan berubah pucat dan menyeramkan.
Rani merasa tidak asing dengan wajah menyeramkan itu... dia pernah melihatnya sebelumnya......
Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar