Translate

Selasa, 27 Agustus 2019

Panggilan Dari Masa Lalu (5)




Part sebelumnya di sini.
“Hati-hati Ra, jangan bawa ponsel ke kamar mandi, nanti kecemplung di air lho..” Rani berusaha mengingatkan. Tapi Rara sudah menghilang ke ruang dalam. Cepat sekali jalannya. Rani merasa ada yang janggal.... tapi apa...?

Rani ingin berpikir logis. Maka segera dibuangnya berbagai perasaan janggal yang saat ini berkecamuk memenuhi benaknya. “Cepat selesaikan pekerjaan, kemudian tidur.” Tekadnya. Tubuhnya terasa penat setelah semua yang dilaluinya hari ini. Tubuhnya,... juga hatinya.
Baru beberapa detik dia menunduk menekuri pekerjaannya yang menumpuk, tiba-tiba didengarnya suara Rara dan Bulik Warni yang sedang mengobrol di luar. Serta langkah kaki mereka saat menaiki tangga kecil menuju teras.
Jantung Rani seperti berhenti berdetak. Jika Rara berada di luar, lalu siapa yang saat ini berada di kamar mandi...?
Pintu terbuka.
“Assalamualaikum....” 
Rara mengucap salam. Seperti yang biasa dia lakukan saat akan memasuki rumah. Bulik Warni mengikutinya dari belakang. Membawa sepiring kacang rebus yang uapnya masih tampak mengepul.
“Ini... baru matang. Untuk menemani menyelesaikan pekerjaanmu.” Kata Bulik Warni sambil meletakkan piring kacang di atas meja.
“Memang keterlaluan sekali kok pakdemu itu. Lha mbok ya menambah satu saja pegawai lagi supaya pekerjaanmu tidak terlalu berat seperti ini.” Omelnya, seperti biasa jika dilihatnya Rani membawa pulang pekerjaannya yang menumpuk.
“Mbak Rani...? kenapa...? Mbak baik-baik saja...?”
Rara akhirnya menyadari ada yang tidak beres dengan Rani. Tampak pucat, syok, dan ketakutan.
Bulik Warni juga mulai menyadari, lalu menyentuh tangan Rani. Rani terlonjak oleh sentuhan lembut itu, kemudian tangisnya pecah.
Seluruh tubuhnya gemetar. Dia ingin bercerita, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Hanya suara isak tangis saja yang mampu dikeluarkannya dari bibirnya.
Bulik Warni dan Rara tampak kebingungan. Berusaha menenangkannya sambil terus saja bertanya ada apa.
Setelah mereguk segelas air yang disodorkan oleh Rara, Rani mulai sedikit tenang. Diceritakannya bahwa tadi ada ‘Rara lain’ di sini. Berbicara dengannya, dan pamit hendak ke kamar mandi.
“Tapi waktu Rara mengambil air untuk Mbak Rani di dapur tadi, Rara lihat di kamar mandi tidak ada siapa-siapa, Mbak... kosong...”
Rani kembali menangis.
Lagi-lagi hanya dirinya saja yang melihat. Kenapa yang lain tidak melihat juga? Apa ‘mereka’ memang sengaja hanya ingin mengganggunya saja? Tapi kenapa? Apa salahnya? Apa mereka tidak menyukai kehadirannya kembali di rumah ini? Tapi bukankah ini juga rumahnya? Berbagai macam pertanyaan datang silih berganti memenuhi hati dan pikirannya.
Akhirnya Bulik Warni menyuruh Rani untuk membereskan pekerjaannya. “Lanjut besok saja!”  Perintahnya. Bulik menganggap bahwa Rani terlalu lelah bekerja sehingga berhalusinasi yang tidak-tidak.
Mungkin khawatir atau apa, Bulik kemudian memutuskan untuk menginap di sini juga. Tidur di kamar bekas orang tuanya. Yah, paling tidak, itu membuat Rani jauh lebih tenang. Paling tidak, malam ini dia tidak sendirian. Karena Rani benar-benar tidak sanggup jika harus sendiri saja malam ini.
***
Padang rumput ini lagi.
Bahkan dalam mimpi pun, Rani mulai paham bahwa ini hanya mimpi. Karena setiap kali dalam tidurnya, mimpinya hanya seperti ini saja. Rani bahkan sudah hapal bahwa setelah ini, suara Indah dan Della akan terdengar bersahut-sahutan. Suara terakhir yang didengarnya sebelum mereka berpisah. Suara yang tidak tumbuh dewasa.
Rani hanya berjalan-jalan saja di padang rumput itu. Tidak lagi mencari-cari Della dan Indah. Karena dia tahu pasti bahwa itu sia-sia. Meski suara mereka terdengar bersahut-sahutan memintanya pergi dari sini, tapi wujud mereka tak pernah terlihat. Mereka seperti tak pernah ada.
Rani terus berjalan. Padang rumput ini seperti tak ada habisnya. Dan sejauh apapun dia berjalan, pemandangannya selalu sama. Rani sudah tidak takut lagi akan tersesat. Karena dia tahu, ini hanya mimpi. Setelah dia terbangun nanti, semua akan baik-baik saja. Seperti biasanya.
Dan butuh beberapa saat untuk mengetahui bahwa kali ini dia salah. Bahwa kali ini ada yang tidak seperti biasanya.
***
***
( Rara )
Rara gelisah. Matanya tak kunjung terpejam. Meski hanya tinggal di rumah sebelah, namun sepanjang ingatannya, baru kali ini dia menginap tidur di sini.
Kenangan masa kecilnya di rumah ini hanya terlintas sekilas-sekilas saja. Wajar, karena usianya masih dua tahun saat itu. Saat Rani masih sering menggendongnya dan mengajaknya bermain atau tidur siang di kamarnya. Di kamar ini.
Yang dia ingat selanjutnya hanyalah dia tak pernah lagi bertemu dengan Rani, dan rumah ini kosong. Ibu setiap hari datang untuk bersih-bersih, menyalakan lampu di sore hari, dan mematikannya di pagi hari.
Di hari Minggu, terkadang dia yang ditugaskan oleh Ibu untuk bersih-bersih di rumah ini. Menyapu, mengepel, membersihkan kamar mandi, dan mengelap seluruh perabotan yang masih tertinggal di sini.
Saat membersihkan kamar Rani, terkadang memorinya terputar meski tidak sempurna. Bahwa dia pernah menghabiskan waktu bersama Rani kecil di sini. Sekali lagi, hanya terlintas sekilas-sekilas saja. Ya, karena dia memang masih sangat kecil waktu itu.
Yang kemudian benar-benar diingatnya adalah, ketika suatu malam, didengarnya suara seorang anak memanggil-manggil nama Rani.
Rara heran, kenapa ada seorang anak mencari Rani? Apa dia tidak tahu kalau Rani sudah pindah ke Jakarta sejak bertahun-tahun yang lalu? Siapa dia? Kalau temannya Rani, kenapa suaranya seperti suara anak-anak?
Terdorong rasa penasaran, Rara mengintip dari balik gorden kamarnya. Menajamkan pandang ke rumah sebelah yang hanya dipisahkan oleh sebidang kecil tanah yang dimanfaatkan oleh Ibu untuk tempat jemuran.
Dalam keremangan lampu teras, dilihatnya sesosok anak laki-laki.... mungkin seusianya... berdiri di depan pintu sambil terus saja memanggil-manggil Rani.
Rara masih bertanya-tanya siapa anak itu, ketika... tiba-tiba... anak laki-laki itu menoleh dan memandang tajam ke arahnya.
bersambung

1 komentar: