Gambar dari Pixabay |
Part sebelumnya di sini
Rani
merasa tidak asing dengan wajah menyeramkan itu... dia pernah melihatnya
sebelumnya......
Rani
terbangun. Rara sudah tidak ada di sampingnya. Cahaya matahari menerobos masuk
melalui jendela yang sudah dibuka. Dia kesiangan rupanya.
Dan
kemudian teringat bahwa pekerjaannya sudah harus selesai pagi ini, karena nanti
siang Pakde Manto akan datang ke sekolah untuk memeriksa.
Tapi
Rani enggan bangun. Dia enggan datang ke sekolah.
Wajah
Bagas yang berubah menyeramkan dalam mimpinya itu... masih melekat kuat dalam
ingatannya. Dan menyadari bahwa wajah itu adalah wajah yang kemarin dilihatnya
di jendela ruang guru, membuat Rani ingin kembali menarik selimutnya dan berada
di rumah saja seharian.
Dia
benar-benar tidak mengerti apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
Ternyata
Bagas tidak hanya menemuinya di dalam mimpi. Ternyata anak laki-laki yang dia
lihat di jendela ruang guru kemarin itu adalah Bagas.
Dan
tiba-tiba dia teringat dengan wajah Della dan Indah yang juga berubah pucat dan
menyeramkan di foto itu... foto yang dia temukan di laci lemari di hari pertama
kedatangannya ke sini.
Rani
benar-benar tidak mengerti. Apakah itu semua nyata, atau hanya halusinasinya
saja. Apakah mimpi-mimpinya selama ini hanya bunga tidur semata, atau ada pesan
tersirat di dalamnya.
“Mbak
Rani sudah bangun? Sarapan dulu yuk, Ibu sudah masak nasi goreng. Rara bawa
sebagian ke sini supaya kita bisa sarapan bersama.” Rara sudah memakai seragam sekolahnya. Rani
melirik jam beker yang terletak di atas meja tulisnya. Belum begitu terlambat
rupanya. Masih ada waktu untuknya sarapan dan bersiap-siap tanpa harus
terlambat tiba di sekolah.
***
“Bu,
bisa tolong handle kelasku dulu nggak? Pekerjaanku belum selesai nih. Nanti
siang mau dipriksa Pakde Manto...” Rani
merasa tidak enak sebetulnya. Tapi bagaimana lagi... belakangan ini
hari-harinya terasa kacau oleh sesuatu yang bahkan tidak diketahuinya.
“Beres....
biar nanti anak-anak aku kumpulkan di aula saja...” Jawab Bu Ambar dengan penuh pengertian.
Mengingat apa yang telah Rani alami kemarin, dia sudah bisa menduga bahwa Rani tidak baik-baik saja.
Suasana
segera menjadi sepi setelah Bu Ambar membawa anak-anak masuk ke ruangan yang
lebih besar, yang mereka fungsikan sebagai aula.
Rani
akan masuk ke ruang guru untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda, ketika
wajah Bagas yang menyeramkan, menyeringai sambil melambai-lambaikan tangan ke
arahnya, kembali terlintas dalam benaknya. Dia mengurungkan niatnya untuk masuk
ke ruang guru, dan memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya di ruang kelas
saja.
“Kamu
sudah berjanji untuk tetap menjadi bagian dari kami, Rani...”
Rani
tersentak. Suara itu terasa sangat dekat di telinganya, sementara di dalam
kelas ini hanya ada dirinya seorang saja.
Suara
itu kembali mengingatkan akan mimpinya semalam. Suara Bagas. Suara yang masih
anak-anak.
Merasakan
sesuatu yang tidak sewajarnya, Rani bergegas bangkit dari kursinya dan berjalan
cepat-cepat menuju pintu, namun....
“Braakk...” Tiba-tiba pintu itu tertutup dengan
sendirinya. Rani meraih handlenya dengan panik. Terkunci. Bagaimanapun Rani mengguncang-guncang
handle itu, menarik dan mendorong... tetap saja pintu itu terkunci. Seperti ada
yang sengaja menahannya supaya tidak terbuka.
Rani
semakin panik. Keringat dingin mengucur deras membasahi tubuh dan bajunya.
Jantungnya bagai sedang berlomba, berloncat-loncatan di dalam dadanya. Dan
ketika dia menengok ke belakang, sosok itu sudah berdiri di sana. Sosok yang
semalam berada di dalam mimpinya.
Ya,
Bagas. Dengan mata teduh dan senyum menenangkan itu.... tapi Rani sama sekali
tidak merasa tenang. Dia mulai menangis. Berteriak-teriak minta tolong sambil
menggedor-gedor pintu, berharap Bu Ambar atau Mbak Narti mendengar dan segera
menolongnya.
“Kenapa
kamu ingin pergi Rani? Kamu tidak menepati janji...!” Suara Bagas membuatnya bergidik. Hatinya
mulai dipenuhi tanya. Benarkah itu Bagas? Tapi apa yang sebenarnya terjadi...?
“Biarkan
Rani pergi, Bagas... tolonglah... biarkan dia pergi...”
Tiba-tiba
ada suara lain di ruang kelas itu, dan sekejap kemudian tiba-tiba muncul Della
dan Indah yang sedang duduk berdampingan di meja paling depan.
Rani
semakin syok. Dia sudah tidak tahu lagi harus merasa gembira atau tidak melihat
dua sahabat yang sangat dirindukannya itu. Dua sahabat yang sosoknya masih sama
dengan saat mereka berpisah, 10 tahun yang lalu.
Dan
akalnya semakin hilang saja rasanya saat bangku-bangku di ruang kelas itu mulai
terisi satu persatu. Sosok-sosok yang tiba-tiba bermunculan begitu saja.
Rani
bisa mengenali seluruh teman-teman sekelasnya sebelum dia pindah ke Jakarta.
Sebagian masih dia ingat namanya, dan sebagian sudah agak lupa. Meski begitu,
wajah-wajah mereka cukup familiar. Wajah-wajah yang seharusnya sudah dewasa
sekarang. Namun nyatanya sosok teman-temannya itu tidak berubah. Masih sama
seperti saat 10 tahun yang lalu mereka berpisah. Seandainya semuanya normal,
geli rasanya melihat mereka duduk dengan canggung di bangku-bangku mungil milik
anak TK.
“Hai
Rani... apa kabar...?
“Wah...
kamu sudah besar ya, Rani...?
“Hai
Rani, masih ingat aku tidak...?
“Wah
kamu hebat Rani. Sekarang sudah jadi ibu guru...”
Sosok-sosok
itu berceloteh dengan riang, memanggil dan menyebut namanya. Rani hanya bisa
terisak. Bingung, takut, kalut.... dan entah perasaan apa lagi yang tak
tergambarkan berkecamuk berdesakan dalam benaknya. Jangankan untuk berteriak,
untuk berbicara pun suaranya bagai tercekik di tenggorokan. Seluruh tubuhnya
terasa lunglai tak bertulang. Kakinya tak mampu lagi menahan berat tubuhnya
sehingga dia jatuh merosot ke lantai.
“Saatnya
sudah tiba, Rani. Bukankah kamu adalah bagian dari kita semua...?” Suara Bagas
menghentikan celotehan teman-temannya. Rani menatap sosok Bagas dengan nanar.
“S...saat...?
saat a... apa...?” Tanyanya dengan suara
tercekik.
“Saatnya
untukmu kembali bergabung dengan kelas kita. Kami sudah menunggu cukup
lama.” Jawab Bagas. Dan wajah Bagas yang
tampan pun perlahan berubah menyeramkan. Rani tercengang. Tangisnya semakin
kencang saat dilihatnya wajah Bagas menjadi pucat seperti mayat. Dengan
lingkaran ungu kehitaman di sekeliling matanya yang sedang menatap Rani dengan sorot
tajam dan menakutkan. Wajah yang kemarin dilihatnya di jendela ruang guru.
“Saatnya
untukmu kembali bergabung dengan kelas kita...”
“Kami
sudah menunggu cukup lama, Rani...”
Teman-teman
yang lain segera membeo ucapan Bagas. Dan wajah-wajah mereka juga berubah menjadi
semenyeramkan Bagas.
Suara
mereka semakin riuh meminta Rani untuk bergabung kembali, menenggelamkan jerit
tangis yang berhasil keluar dari mulutnya dengan sisa-sisa tenaganya.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar