Gambar dari Pixabay |
Part sebelumnya di sini
Suara
mereka semakin riuh meminta Rani untuk bergabung kembali, menenggelamkan jerit
tangis yang berhasil keluar dari mulutnya dengan sisa-sisa tenaganya.
“Tidak bisakah kita melepaskannya...?”
“Tidak
bisakah cukup kita saja? Tidak usah mengajaknya...”
Suara
itu, suara Della dan Indah.
Rani
baru teringat bahwa Della dan Indah juga ada. Mereka masih duduk di sana.
Memandang Bagas dengan tatapan memohon. Meminta Bagas untuk melepaskannya.
Meski
pandangannya kabur oleh air mata, Rani bisa melihat bahwa Bagas menatap Della
dan Indah dengan penuh amarah.
Bagas
menghampiri bangku tempat Della dan Indah duduk. Hendak mengatakan, atau
melakukan sesuatu... ketika Rani merasakan daun pintu di belakangnya bergerak.
Rani
berbalik. Dan melihat Mbak Narti sedang menatapnya bingung sambil membawa
tongkat pel.
“Lho,
Bu Rani? Kenapa? Bu Rani baik-baik saja? Kenapa duduk di lantai begini?”
Gelombang
besar kelegaan menerjang menguasai seluruh sendi dalam tubuhnya. Seketika
Bagas, Indah, Della dan seluruh teman sekelasnya lenyap begitu saja. Dipelukanya
Mbak Narti sambil menangis menumpahkan segala rasa yang sejak tadi
menghimpitnya, membuatnya sesak. Mbak Narti yang kebingungan hanya bisa
mengelus-elus punggungnya, berusaha menenangkannya.
Dan
Bu Ambar yang baru saja keluar dari ruang guru untuk mengambil sesuatu, segera
melihat bahwa Rani sedang berada dalam situasi yang ‘tidak aman’.
Bu
Ambar segera mengambil alih Rani. Mengajaknya duduk di ruang guru, dan meminta
Mbak Narti untuk menjaga anak-anak yang sedang belajar mewarnai di aula.
Rani
menceritakan semuanya kepada Bu Ambar. Semua. Tentang mimpi-mimpinya juga. Dia
sudah yakin sekarang, bahwa semua yang dialaminya, bukan lagi sekedar bunga
tidur atau halusinasi. Ini nyata. Bahwa dia sedang di teror oleh seseorang,
atau sesuatu... Dan yang membuatnya begitu penasaran adalah, benarkah mereka
tadi itu adalah teman-temannya? Dan kalau benar, apa yang sesungguhnya telah
terjadi pada mereka?
***
Rani
membelokkan motornya memasuki gang rumah Della. Atas saran Bu Ambar, kali ini
dia benar-benar menyempatkan diri untuk mengunjungi sahabat masa kecilnya itu.
Dengan begitu, mungkin Rani akan mendapatkan jawaban tentang apa yang sudah
dialaminya akhir-akhir ini.
Gang
ini masih terasa begitu akrab baginya. Seketika memorinya terputar ke masa
lalu. 10 tahun yang lalu, ketika mereka bertiga berjalan menyusurinya, sambil
berceloteh riang membicarakan apa saja. Sesekali bercanda dan tertawa-tawa.
“Ah...
Della, Indah... apa yang sebenarnya telah terjadi pada kalian?” Bisik hati Rani
dengan resah.
Sebelum
ke sini, dia sudah mengunjungi rumah Indah terlebih dulu. Tapi rupanya rumah
itu sudah berganti pemilik. Menurut si pemilik baru, keluarga Indah menjual
rumah itu karena terlalu sedih setelah salah satu putri mereka meninggal. Tak
sanggup melihat setiap kenangan yang tercipta di seluruh penjuru rumah, membuat
mereka memutuskan untuk pindah meninggalkan rumah itu bersama segala kenangan yang
ada di dalamnya.
Indah
memiliki satu kakak perempuan dan satu adik perempuan. Jadi ada tiga anak
perempuan di dalam keluarga Indah. Sayangnya, si pemilik baru tidak tahu putri yang mana yang meninggal. Jadi Rani
masih membawa beribu tanya saat berbelok arah menuju rumah Della.
Tidak
banyak yang berubah. Kecuali warna catnya, rumah Della masih sama. Membawa arus
gelombang melankolis yang tiba-tiba saja menyerbu rasa.
Pagarnya,
halaman mungilnya, bahkan rumpun mawar di sudut sana.... semua masih sama. Untuk
sesaat Rani hanya terdiam menikmati perasaan haru yang menguasai benaknya.
Di
halaman mungil itu dulu mereka sering menghabiskan waktu bertiga. Bermain,
bercerita, mengerjakan PR bersama, dan tertawa bercanda ria.
Entah
bagaimana Rani seakan paham bahwa semua sudah tak lagi sama. Rentetan peristiwa
yang telah dialaminya, dan kunjungannya ke rumah Indah, itu seperti menuntunnya
menuju satu kesimpulan yang paling menyedihkan.
***
“Rani...
bangun, sudah siang. Nanti terlambat ke sekolah.” Suara Ibu yang lembut menenangkan malah
membuatnya makin nyaman dan enggan membuka mata.
“Sebentar
lagi Bu, Rani masih ngantuk,” Jawabnya
sambil menarik selimut hingga ke dagu.
Dan
kemudian dia membuka mata, dan tersadar bahwa dia hanya bermimpi. Bermimpi
masih berada di kamarnya yang nyaman di Jakarta. Damai, tenang, aman. Ada Ayah
yang selalu siap melindunginya, dan Ibu yang selalu memeluk dan menghapus
segala resahnya.
Ah...
Rani rindu rumah. Dia ingin pulang ke Jakarta.
Sinar
mentari menerobos masuk melalui jendela. Dia baru sadar sedang berada di kamar
Zahra, putri Bu Ambar.
Rani
tak ingat lagi bagaimana dia bisa bertahan memacu motornya tadi malam. Melewati
jalan raya, menuju rumah Bu Ambar, sampai tertidur di kamar Zahra.
Yang
dia ingat hanyalah perjumpaannya dengan orang tua Della yang terasa begitu
memilukan.
Saat
dirinya dan ibunya Della hanya bisa saling memeluk sambil bertangis-tangisan,
sementara ayah Della bercerita tentang kecelakaan maut... saat bus pariwisata
yang membawa Della dan seluruh teman sekelasnya terguling jatuh ke dalam
jurang, dalam perjalanan pulang kembali dari study wisata. Tak ada yang
selamat, termasuk sopir dan beberapa orang guru yang berada di dalam bus naas
itu.
Walaupun
sudah mengambil kesimpulan sebelumnya, tetap saja Rani syok saat mendengarkan
ayah Della bercerita. Dan yang lebih membuatnya terguncang adalah kenyataan
bahwa teman-temannya ternyata juga menginginkan kematiannya. Mereka tak rela
jika dia sendiri yang tetap hidup, sementara yang lain harus merelakan impian,
masa depan, harapan, dan kehidupannya. Kandas begitu saja.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar