Ini
ceritanya saya dengan suami baru saja ngobrolin seorang teman yang hobinya
jalan-jalan terus.
Iya sih,
kami pun suka jalan-jalan. Tapi nggak sering, ada banyak prioritas lain yang
kami anggap lebih penting dari pada sekedar jalan-jalan. Alhasil, kami hanya
akan jalan-jalan saat memang benar-benar sudah teramat sangat jenuh dengan
rutinitas keseharian.
Nah,
berbeda dengan si teman ini. Dia akan pergi jalan-jalan kapanpun dia inginkan. Tidak
pernah berpikir dua kali seperti saya dan suami. Kapan saja keinginan
jalan-jalan timbul, ya sudah ayo berangkat, begitu.
Pernah dia
berkata pada saya, “Sepertinya sulit menemukan tempat wisata yang belum pernah
kujelajahi. Hampir semua daerah wisata sudah pernah kudatangi.” Asyem banget kan? hahaha.....
Saya dan
suami yang sebenarnya juga hobi jalan-jalan, lalu mikir... kok bisa ya? padahal
penghasilan si teman itu juga 11 12 dengan kami, alias tidak jauh berbeda. Lalu
kami mulai menghitung-hitung, bisa nggak kalau kami juga sering-sering traveling
seperti dia?
Dan
ternyata kami juga bisa sodara-sodara.....
Nah
tapi....
Ada
beberapa hal yang harus kami relakan.
Pertama, saya nggak bisa
sering-sering belanja. Pernah cerita di sini bahwa antara belanja dan
kebahagiaan saya itu memiliki ikatan yang cukup erat, hehe...
Saya suka
beli baju baru, kerudung baru, atau perintilan masak yang lucu-lucu. Dan itu
semua harus saya korbankan jika ingin sering-sering traveling. Istri dari teman
kami itu, dia tidak gila belanja seperti saya. Jadi memang mereka bisa lebih
mudah mengumpulkan uang untuk jalan-jalan.
Kedua, mobil kami lebih bagus dari mobil
si teman. Yang mana artinya, cicilan yang harus kami bayarkan tentu lebih
besar. Si teman lebih memilih mobil yang murah meriah supaya bayar cicilannya
murah dan sisa uangnya bisa dikumpulkan lagi untuk memenuhi hobi jalan-jalan.
Dan kalau kami ingin sering-sering traveling juga, itu artinya kami (lebih
tepatnya suami, hehe...) harus rela mengganti mobil dengan yang lebih murah
supaya bayar cicilannya juga murah.
Ketiga, keluarga kami hobi kulineran,
sedangkan si teman...? tentu saja tidak.
Sudah tidak perlu dijelaskan lagi lah ya, hehehe....
Kemudian
kami merenung-renung, siapkah melepaskan beberapa hal di atas demi bisa
traveling?
Dan jawabannya, kami lebih
rela melepaskan traveling.
Intinya,
ini tentang prioritas keuangan.
Karena kami bukan keluarga sultan, maka kami tidak bisa mendapatkan semuanya.
Harus rela melepaskan yang ini untuk mendapatkan yang itu.
Teman yang
saya ceritakan itu juga tentu harus melepaskan beberapa hal untuk bisa
sering-sering traveling.
Tinggal
kita pilih saja, mana yang benar-benar kita butuhkan, inginkan, dan membuat
kita bahagia.
Terkadang
suka iri melihat si A yang bisa begini atau begitu. Padahal sebenarnya, supaya
bisa begini dan begitu, si A ini juga harus melepaskan beberapa hal.
Merelakannya supaya bisa mendapatkan apa yang benar-benar diinginkannya.
Kalau ingin
mendapatkan beberapa hal sekaligus, ya otomatis harus bekerja lebih keras,
supaya bisa mendapatkan uang lebih banyak. Tentu ada yang harus dikorbankan
juga, seperti waktu untuk bersantai, atau untuk bercengkrama dengan anak-anak.
Tidak ingin
kehilangan waktu-waktu itu? Ya sudah, terima saja kondisi keuangan yang
segitu-segitu saja, dengan konsekwensi harus melepaskan beberapa pilihan demi
mendapatkan pilihan yang lainnya.
Nah kembali
lagi pada pilihan hidup kan? mau santai tapi tidak bisa mendapatkan semuanya,
atau kehilangan saat-saat bersantai tapi bisa mendapatkan lebih banyak?
Yups, hidup
memang harus memilih, teman... Karena kita bukan Sultan :D
hahaha..
BalasHapusMbaaa...
saya juga sering banget membahas hal-hal prioritas kayak gini sama suami.
Tapi bukan masalah jalan-jalan sih.
Biasanya, saya tuh kesal ama teman yang IRIIIITTTTNYAAAAHHHHHHHHHH BIKIN PENGEN GIGIT SANDAL hahaha.
Iyaaa, ngajaklah ketemuan, ye kan saya punya bayi, jadi milih ke mol.
Eh setelah dengan penuh perjuangan diskusi, dia mau lah, dan minta ke foodcourt.
Oke, meski sedikit sedih, karena foodcourt means rame banget padahal saya bawa bayi yang aktifnya ga karuan.
Saya oke aja.
Eh ternyata pas hari H, dia datang dan gak mau pesan apa2 sodarah, katanya kenyang lah, inilah, dia cuman bawa air minum aja.
Trus karena risih kan ya, masa kami makan sendiri, saya traktir deh, eh langsung sumringah milih ini itu.
Mungkin banyak yang bilang, oh ekonominya mungkin lagi seret.
Hmm,, seret sih seret.
Tapi hape nya bagus banget, keluaran terbaru.
Motornya 2 tahun sekali ganti, motor lama di jual, trus jadiin uang muka dan kresit lagi, bajunya yang mahal2, jam tangan mahal, tas mahal.
Iya sih, saya gak masalah dengan prioritas orang lain.
Cuman saya tuh risih banget kalau ada orang yang punya prioritas dan menyusahkan orang lain.
Kalau saya emang dari kecil, ortu selalu berprinsip kami gak boleh rakus, wkkwkw.
Jadi makanan tuh paling utama.
Kami gak gila kulineran, tapi kami gak pernah mau menyiksa leher demi tas branded atau hape terbaru.
Duh mengapa saya malah gibah di sini yak hahahah
Kalau itu sih prioritas yg salah menurut saya, soalnya sampai harus ditraktir orang lain segala.... Duh kebangetan deh. Hahaha...
HapusMenentukan prioritas, tapi tanpa merepotkan orang lain, nah itu baru benar.
Berarti temannya mbak rey itu sehari2 nahan lapar demi outfit branded, wkwkwk...
Hihi. Kadang kita iri lihat prioritas orang lain dalam keuangannya, kadang juga geleng-geleng. Yang bikin geleng-geleng misalnya yang bela-belain beli barang mahal dan nyicil padahal penghasilan pas-pasan. Padahal dari segi fungsi masih ada opsi lain yang lebih terjangkau.
BalasHapusBetul mbak.. Dan sangat buanyak sekali yg seperti itu ya...
HapusSebelnya lagi setelah kepepet lalu ngutang deh ke teman atau saudara buat bayar cicilannya. Sedangkan budget buat bayar gak ada....