Translate

Kamis, 14 November 2013

Rumah Untuk Anakku


Bidadariku, apakah kau mendengar Ibu? Bisakah kau rasakan bahwa Ibu ada di dekatmu? Bangunlah barang sebentar. Supaya bisa kau kenali wajah ibumu. Atau paling tidak, supaya Ibu bisa bersenandung untukmu. Supaya dapat kau rekam suara Ibu dalam ingatanmu. Supaya kau hanya tinggal memutarnya setiap kali kau rindukan suara Ibu.



*****

Kinanti resah ketika jam sudah menunjukkan waktu tepat pukul dua siang dan mendapati bahwa Adam belum juga pulang. Apakah dia tidak merasa lapar? Ikan asin dan sambal terasi kegemarannya sudah menunggunya sedari siang belum lagi menjelang. Belum pernah Adam terlambat pulang untuk makan siang, karena baginya makan siang adalah bentuk investasi tenaga yang akan melipat gandakan penghasilannya sehari itu hingga nanti petang menjelang. Karena semakin banyak Adam menyimpan tenaganya maka akan semakin banyak pula orang yang akan memakai jasanya sebagai buruh kuli panggul di pasar. Dan uang yang sedikit lebih banyak tentu akan membuat mereka berdua dapat bernafas sedikit lebih lega.

Bayi di dalam perut Kinanti menendang-nendang seolah kegirangan tepat saat terdengar suara Adam mengucapkan salam.

“Mas makan di mana?” Tanya Kinanti sambil mengelus lembut perutnya. Seperti menangkap pesannya, bayinya pun mulai memperlambat gerakannya.

“Ti, apa kamu bisa tinggal sendirian barang tiga atau empat hari?” Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Adam justru balik bertanya.

“Memangnya Mas mau kemana?” Tanya Kinanti, terkejut.

“Aku diajak Kang Yusron ke luar kota, Ti. Badar, yang biasa jadi keneknya Kang Yusron sedang sakit. Jadi aku diminta Kang Yusron untuk menemaninya. Upahnya lumayan, Ti.”

“Tapi, kata Bu Bidan, kemungkinan bayi kita akan lahir dalam minggu ini, Mas.” Kinanti mencoba memprotes. Meskipun dia tahu itu tak ada gunanya.

“Aku akan minta tolong Bu Minah dan Yu Parti untuk mengawasimu. Kalau kau mau, aku akan minta tolong Sri untuk tidur di sini menemanimu. Bagaimana?”

Kinanti tahu dia tidak mungkin melarang suaminya pergi. Bagaimanapun, mereka membutuhkan uang. Itu yang penting. Ditepiskannya berita-berita miring dan negatif yang seringkali digosipkan oleh beberapa tetangganya tentang orang-orang yang bekerja sebagai sopir dan kernet truk. Tentang kebiasaan mereka bermain perempuan, berjudi atau bermabuk-mabukan. Kinanti tahu persis suaminya tidak akan pernah melakukan hal-hal seperti itu. Dia pun mengenal Kang Yusron dengan sangat baik. Dia dan Yu Parti, istrinya sudah seperti kakak baginya.

****

Kinanti tidak dapat menyembunyikan senyum lebarnya menyaksikan kue-kue dagangannya dengan cepat segera berpindah ke tangan para pelanggan lamanya. Sejak mengetahui dirinya hamil, Adam melarang Kinanti untuk membuat dan berjualan kue lagi. Kinanti menurut walaupun seringkali dia merasa rindu. Rindu akan suasana pasar yang sibuk dan riuh, rindu mendengar para pelanggan memuji kelezatan kue-kue buatannya, rindu melihat rupiah demi rupiah mengalir lancar ke dalam dompetnya.

 “Mbak! Mbak Anti…!” Kinanti berpaling dari kesibukannya menyusun nampan-nampan kue yang telah kosong dan melihat Ibu Hartono, salah satu pelanggan setianya, yang kerapkali memesan kue dalam jumlah besar untuk berbagai acara yang sering diadakan di rumahnya yang besar dan mewah.

“Wah, sudah habis ya?” Ibu Hartono melihat nampan-nampan kosong Kinanti dengan pandangan kecewa. “Memangnya Mbak Anti habis pulang kampung ya? Kok baru kelihatan lagi?” Tanyanya.

Enggak, Bu, saya nggak kemana-mana kok, hanya saja suami saya melarang saya jualan selama hamil. Takut saya kenapa-napa katanya.”

“Oh, kalau begitu Mbak Anti nggak bisa menerima pesanan lagi ya?”

“Memangnya Ibu mau pesan?” Tanya Kinanti penuh semangat. Seketika wajahnya bertambah cerah dilengkapi binar-binar kebahagiaan yang terpancar dari matanya. Tokh Adam masih akan pulang dalam beberapa hari lagi…

“Sebenarnya waktu Mbak Anti absen jualan saya sering pesan kue ke penjual yang lain, tapi tadi waktu saya lihat Mbak Anti jualan lagi saya pikir mau balik pesan kue ke Mbak Anti lagi. Hanya saja sepertinya nggak bisa ya? Soalnya Mbak Anti sedang hamil besar begitu…”

“Oh… nggak apa-apa, Bu. Saya masih bisa kok, menerima pesanan. Kue-kue yang biasanya kan? Jumlahnya juga seperti biasa…?”

****

Kinanti membuka matanya dan mendapati Adam berada di sampingnya dengan wajah lelah. “Kamu sudah bangun, Ti?” Tanyanya Lembut.

“Mas? Bayi kita…?” Tanya Kinanti bingung, melihat perutnya.

“Kamu harus dioperasi, Ti. Kata dokter, sepertinya kamu kecapekan. Ketubanmu sudah pecah, sedangkan kamu masih pingsan. Kalau nggak buru-buru dioperasi, bayi kita bisa keracunan air ketuban.” Adam menjelaskan dengan sabar.

“Operasi? Operasi itu kan mahal, Mas?” Kinanti baru menyadari ada rasa nyeri di bagian bawah perutnya. Sebentuk penyesalan menyeruak dari dalam hatinya, dan menyentakkan kesadarannya. Penyesalan akan keegoisannya. Seandainya saja dia mematuhi kata-kata suaminya pasti kejadiannya tidak akan seperti ini. “Maafkan aku, Mas” Isaknya. “Semua ini salahku…”

“Sstt… Sudah Ti, kamu nggak salah. Aku justru ingin berterima kasih padamu, karena kamu sudah memberikan aku seorang bidadari mungil yang begitu cantik. Persis sepertimu.” Adam berusaha menghibur Kinanti dan itu malah membuatnya semakin merasa bersalah.

“Tapi, Mas… biayanya…?”

“Semahal apapun biayanya, aku pasti akan berusaha mencarinya, Ti.”

“Masalahnya, tabungan kita hanya cukup untuk melahirkan di tempatnya Bu Bidan…”

Adam menghela nafasnya yang berat. Dia tahu kalau biaya melahirkan Kinanti sangat besar sementara tabungan mereka hanya cukup untuk melahirkan di tempat Bu Bidan tetangganya. Dia juga tahu bahwa mereka tidak bisa membawa pulang bayi mereka sebelum dia bisa melunasi pembayarannya. Hanya saja dia tidak tahu bagaimana menyampaikan itu semua kepada istrinya.

****

“Maafkan Sri ya, Mas. Harusnya Sri melarang Mbak Anti menerima pesanan kue.” Kata Sri takut-takut.

“Sudah to, Sri. Jangan minta maaf terus. Kamu nggak salah kok.” Adam merasa kasihan terhadap Sri yang terus menerus minta maaf dan merasa bersalah. Bagaimanapun, dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada Kinanti dan bayinya seandainya saja tidak ada Sri ketika itu.

“Memangnya kapan Mbak Anti boleh pulang, Mas?”

“Kalau kata dokter sih, dalam empat atau lima hari Anti sudah boleh pulang. Tapi kalau anakku…” Adam tidak melanjutkan ucapannya. Dia menoleh ke arah Kinanti. Memastikan kalau Kinanti masih tidur terlelap.

“Bayinya ditahan ya, Mas?” Tanya Sri polos.

“Sstt… jangan keras-keras, Sri. Jangan sampai Anti tahu dulu masalah ini. Nanti dia kepikiran.”

Terlambat. Kinanti sudah terbangun dari tidurnya dan sempat mendengar ucapan Sri. Isakan kerasnya menyadarkan Adam bahwa dia sudah tidak lagi dapat menyembunyikan kenyataan itu.

****

“Kenapa kamu bawa aku ke sini to, Sri? Biayanya kan jadi mahal?” Kinanti tahu dia tidak bisa menyalahkan Sri. Dia hanya butuh untuk mengeluarkan beban berat yang seakan menindih dadanya, membuatnya tidak dapat bernafas dan hampir gila.

“Maaf, Mbak. Waktu itu aku panik melihat darah Mbak Anti banyak sekali. Rumah sakit ini adalah rumah sakit yang terdekat, Mbak. Lagipula, kata Bu Bidan, kondisi seperti Mbak Anti kemarin itu memang harus dioperasi.” Sri mencoba menjelaskan sambil mengemasi barang-barang. Kinanti akan pulang hari ini. Tanpa bayinya.

“Sudah siap semua? Jangan sampai ada yang ketinggalan ya, Sri!” Adam tiba-tiba sudah muncul di ruangan itu. Kinanti ingin sekali berkata kepada suaminya agar dia membawa pulang bayinya. Supaya dia bisa menimangnya, memandikannya, dan menyanyikan lagu untuknya. Namun yang berhasil diucapkannya hanyalah sebuah bisikan lirih yang sarat dengan perih.

“Mas, aku mau lihat bayi kita…”


Bidadarinya sungguh cantik. Dengan hidungnya yang mancung, kulitnya yang begitu bersih dan bibir kemerahan membuat Kinanti tidak dapat berhenti memandangi dan menciuminya.

“Kapan dia bisa pulang, Mas?” Kinanti merasa seakan-akan hatinya direnggut paksa dari dadanya, mengakibatkan rasa nyeri luar biasa, yang membuatnya tak mampu menahan air matanya.

“Secepatnya kita akan menjemputnya, Ti. Aku akan bekerja jauh lebih keras lagi. Kalau perlu, aku akan bekerja siang dan malam. Supaya bidadari kita cepat pulang.”

“Kalau begitu, Mas juga harus membiarkan aku jualan kue lagi. Supaya uang kita lebih cepat terkumpul. Supaya bidadari kecil ini bisa pulang lebih cepat.” Kinanti menyelusupkan jari telunjuknya ke dalam genggaman tangan bayinya, seolah berharap genggaman mungil itu akan mampu menahannya untuk tidak pergi meninggalkannya. Untuk tetap berada di sampingnya.

“Iya, Ti. Terserah kamu saja. Cuma… aku minta tolong ya, Ti. Tolong jaga diri baik-baik, demi anak kita. Jahitan bekas operasi kamu itu kan belum sembuh benar. Ya…?”

“Mas..?” Tiba-tiba Kinanti menoleh. Ada sebersit cahaya di matanya. “Bagaimana kalau aku meminjam uang sama Ibu Handoko? Dia itu baik sekali lho, Mas. Siapa tahu dia mau menolong kita…”

“Ya, terserah kamu saja, Ti. Hanya saja kamu jangan terlalu berharap, ya. Karena orang yang biasanya baik itu belum tentu baik pula dalam urusan uang. Apalagi dalam jumlah yang cukup besar. Aku juga sudah mengurus surat keterangan miskin, tapi sekarang masih diproses. Dan itupun hanya cukup untuk membayar setengahnya saja. Nanti aku juga akan coba pinjam samaKang Yusron. Mudah-mudahan dia masih punya tabungan. Kamu berdoa saja ya, Ti.”

Kinanti mengangguk, dan memberikan bayinya kepada suster. Dia tidak rela. Benar-benar tidak rela. Tapi dia harus cepat-cepat pulang. Supaya bisa segera membuat kue-kue lagi, dan menjualnya. Mungkin dia akan mencoba peruntungannya dengan meminjam uang kepada Ibu Handoko. Atau, kalau Ibu Handoko tidak mau memberinya pinjaman, dia akan melamar untuk menjadi pembantu di rumahnya. Dan, oh ya. Dia kan masih mempunyai sepasang cincin kawin. Semoga Adam setuju untuk menjual cincin kawinnya. Cincin itu kan hanya simbol. Dan sekarang sudah ada pengikat yang jauh lebih kuat daripada hanya sekedar cincin. Bidadarinya.

Kinanti mengikuti Adam berjalan keluar dari kamar bayi. Mencoba menyusupkan semangat dalam tiap langkahnya. Mencoba mencampurkan senyuman dalam tiap tetes kesedihannya. Supaya bayinya hanya bisa merasakan semangat dan kekuatannya. Tanpa perlu mengetahui tangis kesedihannya.

*****
Bidadariku, apakah kau mendengar Ibu? Bisakah kau rasakan beratnya hati Ibu meninggalkanmu? Dan coba lihat Bapakmu. Dia pun tak sabar untuk menghabiskan waktu bersamamu. Bisakah kau sabar menunggu? Ibu dan Bapak akan segera kembali menjemputmu. Untuk membawamu pulang ke rumah kita. Ke rumahmu…

3 komentar:

  1. ceritanya menyentuh, mak. ini based on true story..?
    oiya, salam kenal ya mak.. :)

    BalasHapus
  2. Ceritanya bagus sekali mba , sangat sangat menyentuh hati saya . oh ya salam kenal mba Rita dari saya :)

    BalasHapus