Translate

Kamis, 28 November 2013

Istri Pilihan


Gadis itu bernama Irma. Terlihat manis dan anggun dengan jilbab yang membingkai wajahnya, membuatku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan aku merasa sangat bersyukur ketika Irma mengatakan bahwa akulah satu-satunya pria yang ada di hatinya. Pernikahan kami sangat bahagia, apalagi kuketahui kemudian bahwa Irma sangat pandai memasak dan juga sangat penurut. Kebahagiaanku semakin lengkap tatkala Irma mempersembahkan sepasang gadis kembar yang cantik dan lucu untukku. Harus kuakui bahwa hidupku sempurna bersama Irma.
Dia tidak pernah menuntut macam-macam dan selalu berterimakasih atas semua yang kulakukan dan berikan. Dia tidak pernah minta jalan-jalan meskipun di akhir pekan dan bahkan mengangguk sambil tersenyum saat kusampaikan bahwa aku akan pulang larut malam.

Hidupku begitu sempurna. Atau paling tidak, hidupku seharusnya begitu sempurna. Tapi entah kenapa, seringkali aku merasa iri melihat  Nanda, istri Dody, sahabat karibku yang begitu lincah memenangkan berbagai tender dan begitu cerdas membahas masalah politik maupun ekonomi.

“Harusnya aku yang iri padamu, Wan…”, ucap Dody suatu kali saat kusampaikan kegundahan hatiku padanya.

“Kau begitu beruntung karena setiap tiba di rumah selalu disambut oleh dua orang gadis mungilmu yang lucu-lucu…”

“Kau juga bisa, kenapa tidak berhenti KB dulu dan merencanakan untuk mempunyai anak ?”

“Kalau saja istriku seperti istrimu, Wan…, aku sudah puluhan kali membujuk Nanda untuk lepas KB, tapi dia selalu bilang belum siap dan masih ingin mengejar impian-impiannya dulu. Heran, apa lagi sih yang dia cari ? di perusahaan tempatnya bekerja kini bahkan posisinya sudah lebih tinggi daripada posisiku.”

Di satu sisi sebenarnya aku agak kasihan pada Dody yang begitu mendambakan seorang anak dan belum kesampaian, tapi di sisi lain aku begitu takjub melihat kehebatan Nanda dan tanpa sadar mulai membanding-bandingkan dengan Irma. Sebenarnya dia bisa saja menjadi seorang wanita karir seperti Nanda, toh dia berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan predikat terbaik, tapi sejak si kembar lahir, dia memilih untuk berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Aku sih sebenarnya tidak keberatan sama sekali, hanya saja, karena dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, dan mungkin juga karena kerepotan mengurus si kembar, dia jadi seperti lupa mengurus dirinya sendiri. Irma yang kukenal sekarang bukan lagi seorang gadis yang anggun dan manis dengan jilbabnya, melainkan seorang wanita yang selalu berwajah letih, kusam dan kuyu. Entah kenapa aku begitu gerah melihat daster batik yang warnanya sudah pudar itu melekat di tubuhnya yang… astaga… sepertinya sudah naik beberapa kilo. Padahal daster itu dulu aku sendiri yang membelikannya ketika sedang bertugas ke Solo. Tapi sekarang aku begitu benci melihatnya, rasanya ingin sekali aku merobek-robek kain kusam itu dan menggantikannya dengan pakaian-pakaian yang jauh lebih trendy seperti yang selalu dikenakan Nanda. Sekali waktu pernah kuberikan uang padanya untuk membeli beberapa pakaian dan peralatan make up yang baru, namun tetap saja aku melihatnya dalam balutan daster-daster usang plus jilbab-jilbab yang dulunya cantik, tetapi karena terlalu sering dijemur di bawah terik matahari maka warnanya menjadi pudar jauh dari kata cantik. Ketika kutanyakan perihal uang itu, dengan tersenyum lembut dia mengatakan, “Sayang, Bang, kalau uang itu hanya dipakai untuk membeli baju, uang itu kusimpan untuk berjaga-jaga, sebentar lagi aku ingin memasukkan si kembar ke play group.”

“Aku sudah menyiapkan anggaran tersendiri untuk si kembar masuk play group, TK, SD, bahkan sampai mereka kuliah.” Sergahku ngotot mendengar alasanya yang terasa tidak masuk akal di telingaku.

“Bukan itu saja Bang, aku juga ingin mengikut sertakan mereka dalam berbagai kursus dan les, aku ingin menggali potensi mereka, supaya kelak mereka bisa sukses seperti Abang, dan itu butuh biaya yang tidak sedikit, benar kan Bang ?”

Dan aku malas mendebatnya lagi. Tiba-tiba saja aku merasa begitu muak melihat wajah lembut dan senyum tulusnya, kutarik tanganku dari genggaman tangannya yang terasa semakin kasar dan menyembunyikan diri ke kamar mandi, menyembunyikan kegundahan hatiku. Ah… Irma, kenapa kamu begitu berbeda ? kenapa kamu begitu berubah ? aku masih sangat, sangat mencintaimu, tapi maukah kamu menghilangkan senyum lembut dan tulus yang membosankan itu dari wajahmu….?

                                                                         *** 

“Wan, aku mau bercerai.”

Pernyataan Dody barusan benar-benar membuatku terlonjak tak percaya. Bagaimana mungkin dia akan menceraikan Nanda ? di mataku, Nanda adalah wanita tanpa cela. Dia cantik, anggun, pintar dan begitu lincah menggapai mimpi-mimpinya. Kalau saja aku memiliki istri sepertinya pasti akan kupertahankan dan takkan pernah kulepaskan.

“Sebenarnya ada apa dengan kalian ?”

“Tidak ada apa-apa, kami hanya berbeda prinsip, kami akan berpisah secara baik-baik, tidak ada permusuhan, dan kami sepakat akan berteman setelah ini.”

“Berbeda prinsip bagaimana? Tidak bisakah dibicarakan terlebih dahulu ?”

“Sudah. Dan kami memang berbeda prinsip. Nanda menganggap bahwa pekerjaannya jauh lebih penting daripada segala-galanya. Bahkan di atas kepentinganku sebagai suaminya.”

“kepentingan apa yang kau maksud ?”’

“Dia sangat tau kalau aku begitu ingin memiliki seorang anak, dia tau betul aku begitu mendambakannya. Tapi dia mengabaikannya dan tetap sibuk mengejar cita-cita yang di mataku semakin tidak jelas arah dan tujuannya.”

Aku tercenung mendengarnya. Sebegitu mengganggukah keadaan seperti itu buat Dody, sampai dia memutuskan untuk berpisah ?

“Coba kau bayangan, Wan, setiap aku sampai di rumah hanya pembantu yang menyambutku, aku makan malam sendiri, nonton televisi sendiri, bahkan kadang-kadang aku jatuh tertidur sebelum Nanda sampai di rumah.”

Diam-diam aku merasa bersyukur karena Irma selalu ada disampingku. Dia tidak pernah pergi meninggalkanku dan justru memberikan dua orang lagi teman untukku sehingga acara makan malamku bukanlah makan malam sunyi sepi seperti yang di alami Dody selama ini.

“Setiap akhir pekan dihabiskannya waktu dengan memelototi laptopnya seakan-akan tidak ada aku di sampingnya.” Ucap Dody melanjutkan dengan berapi-api.

“Dan setiap kali kupikir ada kesempatan untuk kami berdua, perutku langsung  mual melihat masker tebal yang menyelubungi wajahnya, kadang berwarna coklat, kadang berwarna putih, pernah pula berwarna hijau menjijikkan.”

Hampir saja tawaku meledak tak tertahan membayangkan Nanda yang begitu cantik dan anggun tampil dengan masker tebal menutupi wajahnya.

“Dia tidak pernah memasak untukkku, tidak pernah menemaniku makan, mengobrol, atau sekedar nonton televisi, bahkan untuk sekedar tersenyum padaku pun sepertinya dia sudah tak sempat lagi…”

Dody masih panjang lebar berkeluh kesah namun aku sudah tidak fokus lagi mendengarnya. Tiba-tiba saja aku teringat pada Irma yang rela melepaskan karirnya yang saat itu sudah mulai menanjak demi mengurus anak-anak kami. Dia rela menghabiskan waktu di rumah sepanjang hari untuk memasak makan malamku, merebus air untuk aku mandi sepulang kerja, mencuci dan menyetrika baju-bajuku, dan yang paling penting, membesarkan dan mendidik dua malaikat kecilku. Semua itu dilakukannya dengan tulus dan iklhas tanpa sedikitpun keluh kesah. Kubayangkan bagaimana hidupku tanpa Irma di sampingku. Bagaimana kalau waktu itu dia tetap ngotot melanjutkan karirnya, mungkin keadaanku tidak akan seperti sekarang. Tiba-tiba aku merasa takut kalau Irma merasakan perubahan sikapku akhir-akhir ini, aku takut dia sakit hati dan memutuskan pergi meninggalkanku. Rasanya aku ingin segera pulang untuk memastikan dia masih ada di rumah, lalu mengajaknya jalan-jalan atau apapun yang selama ini belum pernah kulakukan untuknya. Kesadaran itu mengalir cepat dan tumpah ruah menyakitkan. Kesadaran bahwa selama ini aku tidak penah berusaha untuk menghilangkan letih dan kuyu itu dari wajahnya, dan malah menambahnya dengan tuntutan-tuntutan dan keegoisan-keegoisanku sendiri. Kesadaran bahwa selama ini aku telah bersikap manja dan kekanak-kanakan tanpa memedulikan hatinya, kebutuhannya dan perasaannya.

                                                                           ***

Aroma masakan yang begitu sedap dan khas menyambutku begitu aku membuka pintu rumah. Syukurlah semua masih berjalan normal seperti biasanya. Zahra dan Zahwa, dua peri cantikku berlarian menyambutku sambil berceloteh riang menceritakan pengalaman mereka hari ini. Zahra menyuruhku masuk ke kamar tidurku dan memperlihatkan sebuah gambar pemandangan dengan warna-warna yang begitu indah terbingkai dan tergantung di atas tempat tidurku.

“Zahra memenangkan lomba mewarnai hari ini, katanya dia ingin mempersembahkan hasil dia mewarnai untuk kita. Jadi kubingkai saja dan kugantung di situ supaya kita bisa terus melihatya.”

Aku menoleh dan melihat Irma tetap seperti biasanya, berwajah kusam, letih dan kuyu. Namun kali ini aku melihat sesuatu yang selama ini tak pernah terlihat olehku. Aku melihat cinta, kasih, dan sayang untukku, untuk anak-anakku. Aku melihat tekad untuk membuat kami bahagia. Tekad untuk meraih mimipi-mimpi kami semua, dan bukan hanya mimipi-mimpi pribadinya. Ah syukurlah aku belum terlambat mengetahuinya. Syukurlah aku belum sampai kehilangan dirinya.

“Aku ingin mengajakmu dan anak-anak makan di luar, kamu mau kan ?”

“Lho, kenapa ? Abang sudah bosan dengan masakanku ?”

“Bukan begitu, aku hanya ingin menyenangkanmu dan anak-anak”

“Tapi aku sudah terlanjur masak banyak Bang, sayang kalau dibuang. Bagaimana kalau besok saja? Sekalian kita mengantarkan Zahwa, kalau bisa Abang pulang cepat, tapi kalau tidak bisa ya tidak apa-apa, nanti Abang menyusul saja ke sekolah anak-anak.”

“Lho memangnya ada apa dengan Zahwa ?”

“Dia terpilih memerankan Putri Salju yang akan dipentaskan di sekolah besok malam. Kelihatannya dia begitu gembira dan ingin kita merekam adegan-adegan bagiannya.”

Wah hebat benar anak-anakku. Zahra memenangkan lomba mewarnai dan Zahwa akan memerankan Putri Salju. Hebat benar istriku, dia berhasil menciptakan keluarga yang indah dan mempersembahkannya untukku dengan senyuman lembut tanpa pamrih.

Diam-diam aku bersumpah akan terus mempertahankannya dan takkan pernah kulepaskan. Aku tidak mau kehilangan senyum lembut dan tulus itu dari wajahnya. Dan aku sangat bersyukur dia memilih berhenti bekerja untuk mengurus Si kembar. Kalau saja waktu itu dia tetap terobsesi menggapai mimpi-mimpi pribadinya, aku tidak tau apakah aku masih akan mengalami hal-hal yang indah seperti saat ini.

7 komentar:

  1. ceritanya bagus mbak, mengharukan, so sweet :'(

    BalasHapus
  2. semoga bisa menjadi istri yang saleha seperti Irma...tetapi tetap ingin beraktualisasi dengan menulis... bagus mbak ^^

    BalasHapus
  3. Waah jadi mengharu biru begini mbak suasana hati sehabis baca artikelnya, jadi istri yangbaik n saleha memang idaman setiap keluarga harmonis :)

    BalasHapus
  4. Ehem...wah saya jadi malu, masih jauhh banget dengan tokoh dalam cerpen ini hahaha..m#kaborrr ahh

    BalasHapus
  5. Walah jebulane mbak rita ki cerpenis ta

    BalasHapus
  6. dilain pihak pgn bisa seperti irma, tapiiiiiii.... kerjaan kantor yg slama ini bikin aku semangat... jd mungkin ambil titik tengahnya kali yaa :D.. kerja, hanya saja ttp inget suami dan anak :D

    BalasHapus
  7. Emang semuanya tergantung prioritas ya, salut sama ibu bekerja tapi juga sukses mengatur rumah tangga :)

    BalasHapus