Translate

Selasa, 01 Mei 2018

Oleh-oleh Dan Silaturahmi


Dulu, saya begitu akrab dengan yang namanya oleh-oleh. Keluarga saya sering mendapat berbagai macam oleh-oleh dari sanak kerabat yang datang berkunjung, atau teman dan tetangga yang baru saja pulang dari bepergian.
Begitupun keluarga saya selalu rajin membelikan oleh-oleh untuk mereka. Keluar masuk toko oleh-oleh seakan sudah menjadi bagian dari hidup saya saking seringnya diajak orang tua membeli oleh-oleh.
Beberapa saat sesudah menikah, saya pernah mengunjungi seorang kerabat hanya bersama suami saja, dan saya lupa mampir ke toko oleh-oleh. Ketika Ibu saya mengetahui hal ini, saya diomelin habis-habisan, hahaha......
Sejak saat itu saya selalu mengingatkan diri sendiri untuk membeli oleh-oleh setiap akan datang berkunjung ke rumah sanak kerabat.

Suatu ketika, keluarga kecil saya sempat diguncang badai kehidupan yang membuat perekonomian kami berada pada titik ter-rendah. Saat itu, jangankan memikirkan oleh-oleh untuk handai taulan, memikirkan biaya sekolah anak saja rasanya pusing tujuh keliling.
Dan di masa-masa itu, saya mengambil sebuah keputusan konyol, yaitu menghentikan kunjungan silaturahmi kepada sanak famili sampai batas waktu yang tidak ditentukan, dari pada datang dalam keadaan tangan kosong tanpa membawa oleh-oleh.
Sekarang, kalau ingat masa-masa itu, saya jadi sering malu sendiri. Betapa piciknya saya yang menyangka bahwa hubungan silaturahmi kami hanya sebatas oleh-oleh saja. Karena jikapun saya datang tanpa oleh-oleh, sanak kerabat yang memang tahu akan kondisi keluarga saya saat itu pasti tidak akan keberatan.
Sayangnya, sekarang saya juga seringkali menemui beberapa orang yang melakukan hal yang sama seperti saya dulu, ‘memutus’ silaturahmi hanya karena tidak punya cukup uang untuk membeli oleh-oleh.
Jadi sedih ya? Sebenarnya mana yang lebih penting? Silaturahminya atau oleh-olehnya?
Budaya oleh-oleh ini sepertinya sekarang sudah menjadi seperti kewajiban, yang (sayangnya) terkadang memberatkan.
Kalau sekarang saya sudah tidak terlalu memaksakan diri sih, untuk membawa oleh-oleh. Biarlah para sesepuh tetap bertahan dengan oleh-oleh, tapi kalau bisa mulai dari generasi saya ke bawah, tidak usah terlalu pusing memikirkan oleh-oleh. Tidak usah menempatkan oleh-oleh di urutan teratas, kalau bisa ya silahkan, tapi kalau sedang repot ya tidak usah dipaksakan.
Karena menurut saya sangat menyedihkan jika sebuah tali silaturahmi sampai terputus hanya karena oleh-oleh yang belum sempat terbeli.

3 komentar:

  1. Bener banget mba, kadang ada rasa malu mengunjungi keluarga tapi nggak bawain apa-apa. Padahal silahturahmi itu lebih penting dan membuka rejeki ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang sy tdk terlalu memaksakan diri bawa oleh2 mbak. Ya paling nanti basa basi #duh maaf gak bawa apa2 nih" begicu, hihi... biasanya tuan rumah juga tdk terlalu mempermasalahkan sih kita bawa oleh2 atau tidak (atau jangan2 iya?🤔) malah kadang pas mau pulang justru kita yg dikasih oleh2 sama mereka

      Hapus
  2. dua-duanya penting mba, tapi ga datang ga enak ga bawa oleh oleh ga enak juga.. serba salah juga yaa mba.. hehehe...
    Pendapatan Mayora

    BalasHapus