Translate

Sabtu, 14 September 2013

MITOS

Lahir dan dibesarkan di tengah-tengah kebudayaan Jawa yang lumayan kental membuat masa kecil saya dipenuhi oleh berbagai hal berbau mitos yang tertanam cukup kuat di otak saya. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir sekarang sih, ternyata mitos-mitos itu mempunyai tujuan yang cukup baik. Contohnya, waktu saya kecil, nenek saya sering mengatakan bahwa kalau anak perempuan menyapu lantai dan masih ada sampah yang tercecer alias menyapunya tidak bersih, maka nanti setelah dewasa dia akan mendapatkan seorang suami yang berkumis dan berjenggot lebat.
Alhasil, semua anak perempuan di lingkungan tempat tinggal saya selalu memastikan kalau lantai yang disapunya sudah benar-benar bersih. Entah kenapa ketika itu tidak ada yang terpikir untuk menggunakan pisau cukur seandainya benar-benar mendapatkan suami yang berkumis dan berjenggot lebat. Hihihi… Tapi positifnya, kami semua jadi terbiasa menyapu lantai dengan bersih dan teliti hingga sekarang. Walaupun beberapa di antara kami toh ternyata tetap saja mempunyai suami yang berkumis atau berjenggot.

Ada juga mitos yang mengatakan bahwa anak perempuan tidak boleh duduk di anak tangga karena nantinya akan sulit mendapatkan jodoh. Padahal ya, memang tidak boleh duduk di anak tangga karena orang yang akan lewat jadi terhalang.

Suami saya juga berdarah Jawa asli. Bedanya, suami lahir dan dibesarkan di Jakarta. Ketika itu saya pikir saya tidak akan lagi mendengar berbagai hal yang berbau mitos. Tapi ternyata tidak. Ibu mertua yang sejak muda sudah tinggal di Jakarta, ternyata masih saja mempercayai berbagai mitos bahkan melebihi ibu saya.

Bermula pada hari pernikahan saya. Ketika itu akad nikah dan resepsi diselenggarakan di hari yang berbeda. Akad nikah diselenggarakan pada hari jum’at sedangkan resepsi akan diadakan keesokan harinya di hari Sabtu. Sebenarnya pada hari Jum’at kami berdua sudah sah sebagai suami istri. Tapi pas malamnya, yaitu malam Sabtu, ibu mertua melarang kami tidur sekamar. Alasannya, kalau saat resepsi saya sudah tidak lagi perawan, maka rangkaian melati yang akan saya pakai nanti semuanya akan layu dan tidak segar lagi. Ya Ampyuuunnn…. Tapi saya menurut saja. Tidak lucu kan, kalau di hari pertama saya menjadi menantunya, kami sudah berselisih paham.

Mitos-mitos dari ibu mertua berlanjut ketika saya mengandung anak pertama. Sederet aturan dan larangan beliau terapkan untuk saya. Saya juga diharuskan untuk selalu membawa bangle dan gunting lipat kecil yang disematkan pada pakaian dalam saya dengan peniti. Percaya tidak percaya, saya menurut saja apapun yang beliau perintahkan. Dan syukurlah kehamilan saya tidak menemui masalah apapun hingga saya melahirkan anak pertama.

Hanya saja, saat anak saya berusia sekitar 4 bulan (kalau tidak salah) muncul sedikit konflik kecil. Ketika itu anak saya tumbuh gigi. Menurut ibu mertua, anak umur 4 bulan belum saatnya tumbuh gigi. Dan beliau semakin heboh ketika mengetahui bahwa gigi yang tumbuh bukanlah gigi depan seperti layaknya bayi-bayi lain, melainkan kedua gigi taring, kanan dan kiri.

"Pasti kamu sering melewati pohon-pohon besar selama hamil ya?" Tanya beliau penuh selidik. Padahal, apa hubungannya coba, antara gigi dengan pohon besar?

Dan saya begitu lega ketika dokter mengatakan bahwa saya hanya kelebihan mengkonsumsi kalsium selama kehamilan jadinya gigi anak saya tumbuh lebih cepat. Dan gigi taring itu juga bukan masalah besar. Toh pada akhirnya semua gigi akan tumbuh juga nantinya tidak masalah apakah gigi taring atau gigi depan duluan yang muncul.

Saat mengandung anak kedua, kami sudah tinggal di rumah sendiri sehingga saya sedikit terbebas dari berbagai aturan dan mitos selama kehamilan. Saya juga sudah tidak ingat lagi untuk selalu menyematkan bangle dan gunting kecil di pakaian dalam saya. Meski begitu, ada satu mitos yang entah bagaimana seperti tertanam sampai ke dalam lubuk hati kecil saya. Yaitu tidak boleh membunuh binatang selama kehamilan. Dan ternyata justru mitos itulah yang kemudian tanpa sengaja kami langgar.

Ketika itu seekor ular yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah membuat kami semua panik dan suami secara refleks mengambil kayu dan memukuli ular itu sampai mati. Penyesalan pun sudah tidak ada gunanya. Saya hanya bisa berdoa supaya semuanya akan baik-baik saja.

Ketika anak kedua saya lahir, saya cukup terkejut melihat seluruh punggungnya yang dipenuhi tanda lahir kebiruan mirip luka lebam seperti habis dipukuli. Menurut para suster, tidak sedikit bayi yang mempunyai tanda lahir seperti itu, yang nantinya akan hilang sedikit demi sedikit seiring dengan bertambahnya berat badannya. Sekarang anak saya sudah berumur 2 tahun dan tanda lahir itu sudah tampak mulai menipis dan hampir tidak terlihat lagi.

Nah, Masih percaya Mitos?

4 komentar:

  1. Suami saya juga org jawa, tapi Alhamdulillah tidak perccaya pada mitos2, begitu juga dgn ibu mertua saya. Dan ibu saya pun tdk pernah mengatakan hal2 mitos seputar kehamilan dan kelahriran.
    Malahan bidan yg memeriksa kehamilah saya yg percaya mitos kalau ibu hamil jangan makan pakai piring besar, makannya pakai piring kecil aja. hehehe... ada2 aja ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak bahkan setahu saya banyak juga tenaga medis yg masih percaya mitos. tapi yah semua itu tergantung ke dalam diri kita sendiri ya. yg penting kita selalu berdoa semoga Allah SWT selalu menjaga kita dalam berbagai kondisi. makasih ya sudah mampir :) salam kenal.

      Hapus
  2. Kalau menurut saya sih, mitos itu ada baiknya juga untuk mencegah / mempagari kita dalam bertindak, jadi kita melakukan hal-hal yang baik saja hehe. Tapi, mitos itu tergantung sama kebudayaan juga sih mbak :D

    BalasHapus
  3. Terus akhirnya kakak tidak melakukan hubungan sebelum acara resepsi ? Terus bagaimana?

    BalasHapus