Kejadian ini sudah agak lama sebenarnya. Ketika itu Raki, anak pertama saya yang masih duduk di bangku TK, ngefans berat dengan seorang artis cilik yang ketika itu sedang naik daun. Melihat si artis cilik itu sering sekali masuk TV, Raki mengutarakan keinginannya untuk menjadi seorang artis juga. Akhirnya saya pun mencoba mengikutkannya dalam sebuah kelas acting.
Raki sangat antusias mengikuti kelas actingnya dan selalu bersemangat mengikuti berbagai casting untuk anak-anak yang diinfokan oleh gurunya. Dan sebagai seorang ibu yang ingin selalu mendukung anaknya, saya pun bela-belain mengantarkannya kemanapun ada panggilan untuk casting. Boleh dibilang, hampir semua tempat casting di seluruh Jakarta sudah kami ubek-ubek.
Raki sangat antusias mengikuti kelas actingnya dan selalu bersemangat mengikuti berbagai casting untuk anak-anak yang diinfokan oleh gurunya. Dan sebagai seorang ibu yang ingin selalu mendukung anaknya, saya pun bela-belain mengantarkannya kemanapun ada panggilan untuk casting. Boleh dibilang, hampir semua tempat casting di seluruh Jakarta sudah kami ubek-ubek.
Sampai suatu hari guru acting Raki memberikan sebuah kertas berisi alamat lokasi casting yang ingin didatangi Raki. Karena terburu-buru, saya langsung menyelipkannya ke dalam tas dan hanya sempat membaca sekilas tulisan ‘Cibitung’ di kertas itu. Sempat terlintas di benak saya, "Cibitung? Wah, jauh amat…."
Ketika saya memberitahukan sambil lalu kepada suami bahwa besok Raki ingin mengikuti sebuah casting yang diadakan di Cibitung, suami saya tanpa pikir panjang langsung memutuskan untuk mengambil cuti dan mengantarkan kami dengan motornya.
Jadilah, keesokan paginya kami bertiga berangkat ke Cibitung dengan persiapan super lengkap: jaket tebal, masker, kacamata, botol air minum, dan baju ganti untuk Raki. Hanya satu yang tidak saya lakukan dan justru itulah yang terpenting: membaca lagi alamat di kertas itu. Saya hanya memastikan kalau kertas itu masih ada di dalam tas dan berpikir untuk membacanya nanti saja kalau sudah sampai di Cibitung.
Selama perjalanan, sepertinya ada saja hal-hal yang membuat saya kesal. Raki kehausan tapi tidak mau minum air putih yang saya bawa. Katanya dia sedang ingin minum yang manis-manis saja. Akhirnya kami terpaksa berhenti di tempat penjual minuman di pinggir jalan dan membeli teh kemasan.
Saya baru saja sedikit bernafas lega karena sudah sampai di Cibitung dan tinggal mencari alamatnya saja ketika Raki mengatakan kalau dia pusing. Wah, bagaimana ini? Apa mau pulang saja? tapi kan sudah jauh-jauh sampai di sini? Namun Raki menegaskan bahwa dia tetap ingin mengikuti casting itu. Saya hampir saja menangis terharu melihat semangat juangnya. Dan keharuan itu segera berubah menjadi kekesalan ketika tiba-tiba Raki muntah. Tepat di punggung jaket ayahnya. Lagi-lagi kami terpaksa berhenti di pinggir jalan untuk membersihkan muntahannya.
Setelah semuanya beres, kami kembali bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Suami saya meminta kertas berisi alamat yang masih terselip rapi di dalam tas saya. Kami lalu menghampiri sebuah pangkalan ojek dan mencoba bertanya. Suami saya mengangsurkan kertas berisi alamat itu kepada salah satu tukang ojek dan mereka membacanya.
"Pak, ini sih bukan di sini." Kata salah satu dari tukang ojek itu.
"Oh ya? Masih jauh ya, dari sini?" Tanya suami saya lugu.
"Memangnya Bapak nggak baca alamatnya? Ini kan di Jakarta Selatan."
"APA??" Pekik saya membuat para tukang ojek yang sedang mengerumuni kertas alamat itu serempak menoleh ke arah saya.
"Iya, Bu. Nih, lihat. Memang alamatnya Jln. Cibitung. Tapi bukan di Cibitung, melainkan Jakarta Selatan." Salah seorang tukang ojek menjelaskan kepada saya dengan sabar seperti seorang guru TK yang sedang mengajarkan jarimatika kepada salah satu muridnya yang bodoh.
Diiringi tatapan kesal suami, saya membimbing Raki untuk kembali naik ke motor.
"Gimana nih? Mau pulang saja atau terus lanjut ke tempat casting?" Tanya suami saya. Sejujurnya saya sudah tidak tega melihat Raki yang tampak lelah. Tapi ketika saya tanya, dengan mantap dia mengatakan ingin tetap mengikuti casting. Suami saya juga nampaknya terharu melihat kegigihan Raki. Akhirnya kami memutuskan untuk makan dulu di sebuah warung makan padang sebelum memutar balik pulang ke Jakarta dan menuju ke tempat casting.
Sekarang, setelah duduk di bangku SD, memiliki teman-teman baru dan segudang kegiatan ekskul di sekolah, Raki sepertinya sudah mulai melupakan keinginannya untuk menjadi seorang artis. Dia sudah berhenti mengikuti kelas acting, dan sudah mulai malas mengikuti casting-casting yang kadang-kadang masih sering diinformasikan oleh bekas guru actingnya.
Raki sekarang sibuk dengan berbagai kegiatan baru di SD nya, seakan-akan kejadian kesasar di Cibitung itu tidak pernah ada.
Siiip mbaa, yang penting sudah berani kirim cerita ke media. Salam kenal ^_^
BalasHapussalam kenal juga mbak, pokoknya terus dan terus kirim cerita ke media. kalo ga dimuat, ya diposting di sini aja hehe... :) makasih ya mbak sudah berkunjung.
BalasHapuswah, anaknya semangatnya keren ya Mbak..Kalau anakku, ditawari terus untuk ikutan casting, tapi ayahnya nolak. (akunya juga nolak, heheh). dianya juga enggak mau. Mbak rajin ya kirim-kirim ke media. jadi pengen ikutan juga...
BalasHapusKadang2 cita2 anak bisa berubah seiring berjalannya waktu mba
BalasHapusMbak rita. Jangan2 kalau ada toko bandung model ndadak ke Bandung hehe
BalasHapus