Translate

Rabu, 03 Juli 2013

Putra Dan Telur-telur Ayamnya


Hari ini Putra, tetangga dekat rumahku yang juga sahabat sekaligus teman sekelasku, kembali masuk sekolah sambil bersungut-sungut.

“Kenapa, Put? Nggak kebagian sarapan lagi?” Tanyaku.

Ayah Putra adalah seorang supir angkot. Namun karena sekarang di daerah kami sudah banyak orang yang memiliki motor, dan bahkan juga mobil sendiri, maka angkot ayahnya Putra seringkali sepi penumpang. Itu membuat penghasilan ayahnya Putra seringkali menjadi tak menentu.

Setiap pagi, ibu Putra hanya bisa menyediakan sedikit sarapan yang masih harus dibagi-bagi untuk Putra dan keempat saudaranya. Seringkali Putra hanya kebagian sedikit sekali sarapan dan berangkat sekolah dengan perut yang masih lapar. Kadang-kadang aku suka membawakan roti tawar atau telur rebus untuknya, supaya dia bisa makan lagi di sekolah. Tapi hari ini…,

“Maaf, Put. Hari ini aku nggak bawain kamu apa-apa, soalnya makanan di rumahku juga sedang habis. Ibuku belum berbelanja lagi.”

“Nggak apa-apa, Ki. Kamu juga jangan sering-sering bawain aku makanan, nanti ibumu bisa marah.” Kata Putra.

“Nggak, Put. Ibuku nggak marah kok. Malah ibuku menyuruhku untuk mengajakmu makan siang di rumahku sepulang sekolah nanti.” Kataku.

“Yang benar? Wah, terima kasih ya.” Wajah Putra tampak sangat gembira.


“Wah, kamu enak ya, Ki. Setiap hari bisa makan telur.” Kata Putra sambil melahap telur dadar lezat buatan ibuku.

“Kamu juga bisa kok, Put, makan telur setiap hari.” Kataku.

“Caranya?” Tanya Putra, bingung.

“Ya, kamu makan saja di sini setiap pulang sekolah.” Kataku lagi.

“Ah, jangan. Aku malu sama ibumu. Aku ingin makan di rumahku sendiri, pakai telur setiap hari. Begitu juga dengan kakak-kakak dan adikku. Tapi bagaimana caranya ya?”

Kami berdua berpandang-pandangan. Bingung.


“Ki… aku sudah tahu caranya…” Pagi ini Putra masuk ke kelas dengan wajah yang tampak ceria, tidak seperti biasanya.

“Cara? Cara apa, Put?” Tanyaku, bingung.

“Cara supaya aku dan saudara-saudaraku bisa makan telur setiap hari. Seperti kamu.” Putra tampak bersemangat.

“Oh ya? Bagaimana caranya?” Tanyaku lagi.

“Kamu kenal Pak Roto kan?” Tanya Putra.

“Tentu saja kenal.” Jawabku. Pak Roto adalah tetangga kami. Beliau memiliki peternakan ayam dan itik yang cukup besar. Untuk kebutuhan telur ayam maupun itik, ibuku dan tetangga yang lainnya selalu membeli di peternakan milik Pak Roto.

“Kemarin, aku membantu Pak Roto membersihkan kandang ayamnya.” Putra mulai bercerita. “Lalu, dia memberiku upah berupa telur ayam sebanyak 1 kilo.”

“Wah, berarti dalam beberapa hari ke depan, kamu bisa makan telur setiap hari, Put?” Kataku gembira.

“Nggak juga sih, Ki. Kemarin aku hanya mengambil beberapa butir saja. Hanya cukup untuk makan kami sekeluarga kemarin saja.” Kata Putra sambil tersenyum.

“Lho… terus bagaimana dengan sisa telurnya? Kenapa hanya kamu ambil beberapa butir saja? bukankah kamu sangat ingin bisa makan telur setiap hari?” Tanyaku, bingung.

“Tenang, Ki…” Kata Putra, masih tersenyum-senyum. “Sisa telurku aku titipkan pada Pak Roto, untuk ditetaskan.”

“Ditetaskan..?”

“Iya. Nanti kalau sudah menetas, aku akan merawat anak-anak ayam itu sampai mereka dewasa dan bisa bertelur lagi. Lalu sebagian dari telur-telur mereka akan kuberikan kepada ibuku untuk dimasak, sedangkan sebagian lagi akan kutetaskan supaya menjadi anak-anak ayam lagi yang akan kurawat hingga dewasa dan bisa bertelur lagi. Begitu seterusnya, Ki. Wah, siapa tahu aku bisa memiliki peternakan ayam sendiri seperti Pak Roto. Dengan begitu, aku dan saudara-saudaraku bisa makan telur sepuas-puasnya setiap hari.” Wajah Putra tampak berbinar-binar ketika menceritakan impiannya tersebut.

“Wah idemu hebat sekali, Put.” Kataku kagum. “Tapi bukankah menunggu anak-anak ayam itu dewasa dan bertelur membutuhkan waktu lama?”

“Nggak apa-apa, Ki. Lebih baik menunggu lama untuk bisa makan telur daripada tidak bisa makan telur sama sekali.” Kata Putra.

“Wah kamu benar-benar hebat, Put. Semangat ya… aku pasti akan membantumu merawat anak-anak ayam itu kalau mereka menetas nanti.” Kataku, ikut tertular oleh semangat Putra.


Setiap hari sepulang sekolah, aku dan Putra selalu mampir ke peternakan ayam dan itik milik Pak Roto, menengok telur-telur ayam Putra yang sedang dierami oleh induknya.

Kadang-kadang, Putra membantu Pak Roto membersihkan kandang-kandang ayam dan itik, lalu mendapatkan upah berupa beberapa butir telur ayam atau telur itik. Telur-telur itu dibawanya pulang dan diberikan kepada ibunya untuk dimasak. Sekarang, meskipun telur-telur ayamnya belum menetas, namun Putra dan saudara-saudaranya sudah bisa makan telur setiap hari. Bahkan terkadang Putra membawa dua butir telur rebus ke sekolah untuk dimakannya bersamaku.


“Ki… ayam-ayamku sudah menetas!” Pagi ini Putra memberiku kabar gembira.

“Oh ya? Wah selamat ya, Put. Akhirnya anak-anak ayammu menetas juga…”

“Sepulang sekolah nanti ikut aku ke peternakannya Pak Roto ya, Ki. Beliau akan mengajariku bagaimana cara merawat anak-anak ayam itu.” Kata Putra.

“Tentu saja. Aku juga sudah tidak sabar ingin segera melihat anak-anak ayammu. Pasti lucu-lucu.” Kataku senang.


Aku tidak dapat melepaskan pandanganku dari ayam-ayam mungil itu. Mereka sungguh imut dan lucu. Bulu-bulu mereka halus berwarna kuning muda dan sangat bersih. Mereka tampak jauh lebih cantik jika dibandingkan dengan anak-anak ayam yang banyak dijual di pasar dengan bulu-bulu yang sudah dicat mencolok dan berwarna-warni.

Pak Roto mengajarkan kepada kami bagaimana cara merawat anak-anak ayam tersebut. Bagaimana supaya anak-anak ayam itu selalu dalam keadaan nyaman dan hangat.

“Kamu mau memeliharanya satu, Ki?” Tanya Putra ketika melihatku begitu menyukai anak-anak ayam itu.

“Mmm… sebenarnya aku mau sih, tetapi aku tidak punya kandangnya. Dan lagi, aku takut ibuku tidak mengijinkan…” Kataku, sedikit kecewa.

“Begini saja, Ki, bagaimana kalau kamu pilih salah satu anak ayam itu untuk menjadi milikmu, tapi biarkan dia tetap bersama dengan saudara-saudaranya yang lain, dan tinggal di rumahku. Nanti kamu bisa menengok anak ayammu, kapan saja kamu mau. Bagaimana? Setuju?” Tanya Putra.

“Yang benar, Put? Aku boleh memilih salah satu dari anak ayam itu untuk jadi milikku?”

“Ya benarlah, Ki. Selama ini kamu kan ikut menjaga dan menyayangi telur-telur itu. Sudah sewajarnya kalau sekarang kamu memiliki salah satu dari mereka.” Kata Putra.

“Wah, terima kasih banyak ya Put. Mm.. bagaimana kalau kupilih yang di bulunya ada sedikit bintik coklat itu? Akan kunamai dia Si Bintik…”


Kini Si Bintik dan saudara-saudaranya sudah mulai tumbuh besar. Walaupun mungkin masih akan lama lagi menunggu mereka dewasa dan dapat bertelur. Namun aku dan Putra menikmati masa-masa penantian itu. Kami menikmati saat-saat bermain bersama mereka, atau sekedar memandangi mereka yang sedang terlelap di bawah sinar lampu yang dipasang di atap kandang. Beberapa hari yang lalu, lampu itu mulai dilepaskan karena menurut Pak Roto, ayam-ayam itu tidak lagi membutuhkan sinar lampu setelah badannya mulai besar.

Bulu-bulu mereka yang tadinya begitu halus dan berwarna kuning muda, sekarang mulai menggelap dan sedikit menebal. Mudah-mudahan suatu saat nanti, Putra dapat meraih impiannya menjadi seorang peternak yang hebat seperti Pak Roto. Dan dia pun tidak perlu lagi merasa iri melihatku bisa makan telur setiap hari.


*Ini adalah tulisan Kak Raki yg sudah saya edit di sana-sini :D


4 komentar:

  1. Wah selamat yaa atas kemauan sang putra yang mau belajar menulis, ini anakku masih angot-angotan kok mbak .Salam kenal ^^

    BalasHapus
  2. salam kenal juga mbak. makasih ya sudah mampir :)
    sebenarnya sih versi aslinya masih acakadul bahasanya mbak.
    ini sudah saya revisi di beberapa tempat supaya lebih enak dibaca

    BalasHapus
  3. semangat terus utk menulis ya mba putranya :)

    BalasHapus