Translate

Rabu, 08 Mei 2013

Raki & Rafka

                                                       

Beberapa hal yang begitu menakjubkan selalu terjadi dalam setiap episode kehidupanku. Ada beberapa peristiwa yang aku kategorikan sebagai ‘momen paling istimewa’ dan termasuk di dalamnya adalah hari di saat aku melahirkan anak-anakku. Dan masa-masa kehamilanku kurasakan sebagai petualangan terhebat dalam hidupku.

Aku menjalani dua kali kehamilan dalam dua situasi yang sangat berbeda. Kehamilanku yang pertama, di mana aku mendampingi RAKI dalam menjalani prosesnya menjadi seorang manusia, adalah saat-saat yang kukira paling membahagiakan sepanjang hidupku (karena ternyata pada kehamilanku yang kedua aku pun merasakan kebahagiaan yang sama).

Kehamilanku ini adalah kehamilan yang benar-benar kami nantikan. Karena sementara beberapa orang teman bisa langsung hamil setelah menikah, maka aku dan suamiku harus menunggu sekitar satu tahun untuk (akhirnya) bisa melihat tanda positif hamil pada salah satu alat tes kehamilan dari puluhan yang telah kami gunakan.

Dan di masa kehamilanku ini aku benar-benar sedang dimanjakan oleh keadaan. Saat itu perusahaan tempat suamiku bekerja sedang mencapai masa kejayaannya. Dan tentu saja itu berimbas pada kondisi keuangan kami. Aku tidak perlu merisaukan apapun selain menjaga kandunganku dengan penuh perhatian dan fasilitas yang terbaik. Aku rajin mengikuti senam hamil, mengkonsumsi gizi dan nutrisi yang lebih dari cukup untuk Raki, dan tak lupa meminum air kelapa muda yang katanya berkhasiat untuk membuat kulit bayi menjadi putih bersih. Pendeknya, aku mengikuti semua saran dan masukan yang aku terima demi kebaikan bayiku.

Dan ketika tiba saatnya kami menyambut Raki datang ke dunia, aku benar-benar tidak bisa mengalihkan pandang darinya, ataupun berhenti memikirkannya. Entah karena air kelapa muda itu atau bukan, kulit Raki memang benar-benar putih bersih, hidungnya mancung dan bibirnya mungil kemerahan. Kami semua langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.

Layaknya anak pertama, Raki begitu disayang dan dimanja. Dia hampir memiliki semua mainan yang ada di toko mainan. Dan dia memiliki 100% hati, jiwa, dan fikiranku. Karena memang ketika itu, aku tak perlu memikirkan apapun selain hanya dirinya.

Pepatah yang mengatakan ‘roda pasti berputar’ akhirnya sampai juga pada keluargaku. Perlahan tapi pasti, perusahaan tempat suamiku bekerja mengalami kemunduran sehingga akhirnya terpaksa gulung tikar. Padahal saat itu, Raki sudah harus masuk TK. Ketika itulah aku menemukan titik balik kehidupanku. Selain harus merelakan segala fasilitas, aku pun harus pandai-pandai mengelola uang pesangon yang hanya sedikit untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari ditambah biaya sekolah Raki. Usia yang tak lagi muda membuat suamiku kesulitan mendapatkan pekerjaan kembali. Dia akhirnya memutuskan untuk membuka counter pulsa dan handphone di depan rumah. Modalnya menggunakan sebagian pesangon dan itu berarti akupun harus memutar otak lebih keras supaya sisa pesangon yang tak seberapa itu bisa mencukupi biaya hidup kami.

Untuk menghemat biaya bensin dan transportasi, aku memutuskan untuk membeli sebuah sepeda yang kemudian menjadi kendaraan pribadiku. Di hari-hari pertama, aku selalu terengah-engah karena tidak terbiasa mengayuh sepeda. Syukurlah karena lama-kelamaan, aku menjadi mahir dan terbiasa. Terbiasa merasakan lelahnya mengayuh sepeda dan mulai mahir menekan rasa malu ketika bertemu dengan teman di jalan yang sedang mengendarai motor atau mobil. Ketika mereka beusaha menyapaku dengan bunyi ‘tiin..tiin…’ sementara aku membalasnya dengan suara ‘kring..kriing…’

Kondisi keuangan yang semakin menurun memaksa aku untuk terus berfikir kreatif dan inovatif.  Sesuatu yang ketika itu begitu sulit bagiku mengingat otakku yang sudah terlalu lama beristirahat ketika aku sedang berada di zona nyamanku. Aku lalu mencoba-coba membuat kue dan makanan yang sekiranya akan disukai oleh anak-anak dan menitipkannya di kantin sekolah Raki. Beberapa kue sempat menjadi best seller di kalangan anak-anak TK itu. Dan aku pun mulai bersemangat menciptakan beberapa inovasi baru.

Di masa-masa itu, aku merasakan ada makhluk baru yang sedang menghuni rahimku. Calon manusia baru, dan aku memulai kembali petualangan terhebatku walaupun dalam versi yang berbeda.

Kehamilanku kali ini diwarnai dengan perjuangan dan kerja keras. Sering kali aku harus menerima pesanan kue dalam jumlah besar dari orang-orang yang akan mengadakan arisan atau hajatan. Di satu sisi aku merasa senang karena akan mendapatkan banyak keuntungan. Namun di sisi lain, mungkin karena pengaruh hormon, aku merasa depresi. Tiba-tiba saja aku merasa malu mengayuh sepeda dengan box besar berisi kue-kue yang diikat di boncengannya. Dengan perut besar dan topi lebar untuk melindungi wajahku dari terik matahari. Sungguh berbeda dengan kehamilanku yang pertama, di mana aku bisa melenggang santai di kelas senam hamil atau berbelanja dengan bahagia di toko perlengkapan bayi. Aku pun merasa ketakutan bahwa aku tidak akan bisa membagi cintaku karena Raki sudah mengambil seluruh cinta yang kumiliki tanpa bersisa (yang kemudian kusadari bahwa aku tak perlu membagi cintaku karena Tuhan memberikan cinta baru di hatiku bersamaan dengan kedatangan pemiliknya ke dunia).

Entah karena selalu mengayuh sepeda selama kehamilan atau karena aku keseringan merasa depresi, RAFKA lahir di saat usia kandunganku baru mencapai tujuh bulan. Berbeda dengan kakaknya yang ketika bayi sering dikira perempuan karena kulitnya yang putih dan bibirnya yang kemerahan, Rafka tampak begitu tampan dengan tulang hidung yang tinggi dan kulitnya yang sedikit gelap (entah apakah ada hubungannya atau tidak, aku belum sempat meminum air kelapa muda selama hamil).

Rafka memang mendapatkan semua cinta yang dia butuhkan. Namun dia tidak bisa memiliki seluruh waktuku karena harus berbagi dengan Raki dan juga kue-kueku. Dia juga harus cukup merasa puas dengan mainan-mainan bekas Raki karena kami tidak mempunyai budget untuk membeli mainan baru. Dan tanpa kusadari, Rafka tumbuh menjadi anak yang jauh lebih mandiri dibandingkan kakaknya. Di usianya yang belum genap satu tahun, dia sudah mampu memegang sendiri botol susunya dan meminumnya sampai habis tanpa harus rewel atau menangis. Dan di usia dua tahun dia sudah mampu makan sendiri dan minum dari gelasnya sendiri tanpa harus dibantu sama sekali. Sementara Raki, ketika berada di usia yang sama, masih harus disuapi bahkan dibujuk dan dirayu untu sekedar memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya.

Mungkin tanpa sadar, ketegaran dan kerja keras telah tertanam dalam jiwa Rafka semenjak dia masih di dalam perut, menemaniku membuat kue dan ikut terguncang-guncang di atas sepeda. Sementara Raki terbentuk dalam selimut kenyamanan yang sedikit banyak telah pula membentuk pribadinya menjadi sedikit lemah dan manja.

Apapun, mereka berdua adalah orang-orang yang begitu kusyukuri kehadirannya. Merekalah yang mampu membuatku tertawa ketika air mataku sudah siap tertumpah. Merekalah yang membuatku sanggup berdiri dengan kuat ketika kakiku mulai terasa goyah. Mereka adalah satu-satunya alasan mengapa aku masih sanggup bertahan. Dan mereka jugalah satu-satunya alasan mengapa aku masih ingin berjuang. Mereka adalah penunjuk arahku ketika aku tersesat, dan penerang jalanku saat aku terjebak dalam gelap.

Tak putus kupanjatkan syukur karena Allah SWT telah mengirimkan dua bintang terang dalam hidupku sehingga aku mampu untuk lebih tegar melangkah dan melihat dunia dari sudut pandang yang jauh lebih indah.

3 komentar:

  1. setiap anak punya cerita masing2, ya tapi semuanya pasti selalu istimewa :)

    BalasHapus
  2. betul mbak, walaupun berlainan sifat, anak-anak saya tetap menempati bagian terpenting dalam hidup saya. terima kasih sudah mampir :)

    BalasHapus