Translate

Minggu, 09 September 2018

Mengelola Keinginan Anak



Beberapa waktu lalu sempat terlibat pembicaraan dengan seorang teman yang mengeluhkan tentang anaknya yang setiap kali meminta sesuatu harus selalu dituruti. Kalau tidak, maka si anak akan ngambek, marah, nangis, dan bikin pusing orang tuanya.
Masalahnya adalah, tidak semua hal yang dia minta itu harganya sesuai dengan budget yang dimiliki oleh orang tua. Tapi anak tidak mau tahu dan terus meminta.
Sebagian orang mungkin akan mudah saja mengatakan: ya jangan diturutin-lah.... biar saja anaknya nangis atau ngambek. Jadi orang tua jangan lemah di hadapan anak, nanti anak akan ngelunjak.
Yups, saya juga awalnya hampir saja berkata begitu. Tapi lalu teringat bahwa ketika dulu saya pun mengalami hal yang sama, sebenarnya tidak semudah itu juga.
Berbagai masalah dalam hidup yang membebani kepala rasanya bertambah berat saja ketika mendengar anak rewel dan berulang-ulang mengatakan hal yang sama dengan nada yang tidak enak didengar. Kalau sudah begitu ya (rasanya) solusi satu-satunya adalah membelikan apa yang si anak mau. Biar diam. Biar mama tidak stress. Biar dunia aman dan tentram.
Bedanya adalah, saya hanya sesekali saja mengalami hal seperti itu, dan itupun dulu. Duluuu... sekali. Sekarang sudah tidak pernah lagi. Sementara teman yang curhat di atas itu masih mengalami hal itu sampai sekarang.
Apa anak-anak saya sudah tidak pernah lagi minta apa-apa? Hehe... ya namanya anak-anak ya, pasti ada saja yang dipengenin. Lihat temannya punya ini, pengen. Temannya punya itu, pengen juga. Nah tinggal kita sebagai orang tua pandai-pandai mengarahkan anak, mana keinginan yang bisa dituruti dan mana yang tidak.
Kemarin saya menceritakan cara saya kepada teman yang curhat itu, dan sepertinya dia tertarik untuk mencoba. Jadi saya tulis saja sekalian di sini barangkali ada yang bisa menerapkan cara ini juga. Tentu cara saya ini belum tentu cocok dengan orang lain ya... karena kondisi setiap keluarga kan berbeda-beda dan sifat anak berbeda-beda pula. Jadi sekali lagi ini belum tentu bisa diterapkan di setiap keluarga. Saya sekedar berbagi cerita saja siapa tahu ada yang bisa mengikuti cara saya.

Jadi, sejak beberapa tahun yang lalu, saya dan suami mulai mengajak anak-anak untuk ikut terlibat dalam keuangan keluarga. Ini di mulai dari si Kakak yang ketika itu masih duduk di kelas 4 SD. Rafka yang mengidolakan kakaknya perlahan tapi pasti mengikuti apa yang dilakukan si Kakak.
Langkah-langkah saya dan suami supaya anak mengerti kondisi keuangan orang tua antara lain adalah:
  
1.   Saya dan suami tidak pernah menutup-nutupi berapa penghasilan kami kepada anak-anak. Dan kami tidak pernah bilang: uang mama atau uang papa, melainkan: uang kita.
2.   Semua tabungan, pos-pos pengeluaran, dan perencanaan selalu kami jembreng di depan anak-anak. Se-transparant mungkin. Anak jadi paham, oh uangnya ditabung untuk keperluan sekolah. Oh yang itu ditabung untuk jaga-jaga kalau sakit. Oh jadi sisanya tinggal segini. Begitu...  Nah, sisanya ini kami masukkan ke wadah sendiri dan kami beri nama UANG KITA.
3.   Yang ini kami tidak merencanakan sebetulnya. Tapi tiba-tiba terjadi saja. Mungkin karena kami menerapkan konsep UANG KITA tadi.  Jadi kalau anak-anak dapat sangu dari Eyang misalnya, pasti akan langsung diserahkan ke saya. Begitupun saat dapat uang lebaran, dan sunatan si Kakak, diserahkan ke saya juga. Jadi masuknya ke kas keluarga. Kas UANG KITA. Jadi ibaratnya kami ini saling bahu membahu. Mama papa kerja keras cari uang dan uangnya masuk ke kas UANG KITA (setelah dipotong bayar cicilan, listrik, endebrei-endebrei tentu saja). Anak-anak juga kalau dapat uang dari Eyang, Bude, Pakde, Om, Tante... uangnya juga masuk ke kas UANG KITA. Dan itu ada catatannya, uang masuk berapa, pengeluaran berapa... kami jembreng semua. Jadi ketika anak meminta sesuatu, biasanya saya akan bilang: yuk lihat uang kita, cukup nggak?

Nah, dengan cara-cara di atas, Alhamdulillah sih anak-anak saya jadi nggak gampang minta-minta yang macem-macem.
Kemarin saja Rafka mau minta satu set perlengkapan mewarnai yang harganya agak mahal, padahal sudah mau saya belikan, tapi tiba-tiba dia cancel sendiri. Katanya, “Mahal ah, sayang uang kita nanti habis...”
So sweet banget ya? wkwkwk......

Tapi karena dia sepertinya mikirin barang itu terus, akhirnya saya belikan juga sih nggak tega huu huu.....

Pasti ada yang berpikir bahwa ini tidak adil :D
Karena kan anak-anak itu kalau memasukkan uang ke kas UANG KITA kan jumlahnya selalu sama ya, karena kalau dapat sangu dari keluarga atau kerabat kan pasti jumlahnya sama (kecuali pas Kakak sunatan, yang dapat cuma Kakak saja).
Tapi barang yang dibeli anak-anak harganya tidak sama bahkan terkadang njomplang.
Nah di sini saya juga sekalian saja mengajarkan arti kebersamaan, bertoleransi, saling mengalah, dan saling memberi.
Ya Alhamdulillah sih mereka tidak saling iri. Saat saya membelikan Rafka perlengkapan mewarnai yang mahal dan Kakak tidak dibelikan apa-apa, Kakak tidak iri. Pun ketika di lain waktu si Kakak membeli buku yang mahal dan Rafka tidak dapat apa-apa, ya tidak iri juga.

Saya juga mengajarkan tentang prioritas. Mana yang harus dibeli duluan dan mana yang bisa ditunda.
Kalau dua-duanya sedang menginginkan sesuatu yang harganya sama-sama mahal, saya akan meminta mereka untuk berunding dan memutuskan, siapa yang akan beli duluan.
Nah yang kebagian beli belakangan ya harus sabar menunggu sampai UANG KITA kembali terkumpul untuk membeli barang yang dia inginkan.
Jangan salah ya... pada awalnya ini sangat tidak mudah. Penuh konflik, penuh drama :D
Ya pandai-pandainya kita sajalah menabah-nabahkan diri. Nanti lama-lama juga mereka akan terbiasa. Terbiasa mengelola emosi, terbiasa mengelola keinginan-keinginan hati.

Kalau temans, ada cara lain untuk mengajari anak mengelola keinginan? Sharing yuk

3 komentar:

  1. Kebetulan F1 dan F2 anaknya cuma sok sok mintanya, jadi dituruti saja. Kalau sekarang malah gampang lagi, asal jangan diajak ke pasar sapi dan kambing pasti aman. Kalau ke pasar sapi terus minta sapi, terus mboknya kudu piye?

    BalasHapus
  2. Hehehe sama kayak anak saya mba, meskipun kadang sedih gitu kalau nolak keinginannya.

    Parahnya lagi, emaknya kadang ga tegaan.
    Misal anak minta sesuatu, awalnya emaknya larang, setelah anak gak minta lagi, lah emaknya malah beliin.

    Bener2 labil hahaha

    BalasHapus