Translate

Jumat, 06 Januari 2017

Pesan Terakhir Di Penghujung Bahagia



Aku  sedikit menggigil ketika hembusan angin yang tidak begitu kencang menyapa tubuhku yang basah kuyup oleh siraman demi siraman air yang kabarnya diambil dari tujuh sumber mata air, bertabur bunga mawar, melati dan kenanga.

Satu persatu kedua orang tua dan para pinisepuh dalam keluarga besarku mengambil air dengan gayung yang terbuat dari batok kelapa dan menyiramkannya ke tubuhku. Serpihan-serpihan bunga berjatuhan di pangkuanku, dan setiap serpihan itu seperti sedang mewakili setiap rasa bahagia yang saat ini sedang memenuhi seluruh ruang dalam hatiku. Suara pranatacara yang sedang mengucapkan kalimat-kalimat indah dalam bahasa Jawa tentang keutamaan dan kemuliaan seorang istri sholehah membuatku tidak sabar untuk segera menyelesaikan prosesi ini dan menelfon Mas Rangga yang saat ini sedang dalam perjalanan dari Jakarta beserta keluarga besarnya. Rencananya rombongan Mas Rangga akan tiba sore ini di Jogja dan akan menginap di rumah salah seorang kerabat mereka, dan nanti malam akan mengikuti prosesi midodareni di rumahku.
Rencana yang meleset sebenarnya. Karena rencana awalnya, Mas Rangga beserta rombongannya seharusnya sudah tiba kemarin sore dan menjalani prosesi siraman juga di rumah kerabatnya tersebut. Seharusnya sekarang utusan dari keluargaku sedang mengantarkan sebagian air yang di gunakan untuk menyiramku ke rumah kerabat Mas Rangga itu yang kemudian digunakan untuk melakukan prosesi siraman Mas Rangga.
***
“Tidak apa-apa kan? Itu kan hanya prosesi adat. Yang terpenting dalam pernikahan kita nanti adalah menjalankan akad nikah dengan baik.” Ucap Mas Rangga melalui telepon ketika memberitahukan perubahan rencana ini.
“Tapi bagaimana dengan persiapan siraman untukmu, Mas? Kudengar Pakdhe Broto sudah mempersiapkan semuanya. Apakah baik kalau tiba-tiba kita membatalkannya?”
“Jangan khawatir, kami sudah memberitahukan tentang masalah ini kepada Pakdhe Broto dan beliau bisa memahami.”
Begitulah, kesibukan dan pekerjaan yang padat membuat atasan Mas Rangga memberikan pilihan sulit pada saat-saat terakhir. Mas Rangga harus menentukan apakah akan mengambil cuti lebih awal dan mengurangi masa bulan madu kami atau tetap menjalani masa bulan madu sesuai rencana dengan konsekuensi tidak bisa mengikuti prosesi siraman seperti yang sudah dijadwalkan.
***
Sambil menunggu untuk dirias, aku mengintip dari balik gorden kamarku, menyaksikan ayah dan ibuku menjadi penjual dhawet dadakan. Tersenyum-senyum sendiri melihat ayahku yang sedang memayungi ibu sambil menerima pembayaran dari para tamu, yang berupa lempengan dari tanah liat berukir namaku dan Mas Rangga, lalu menyerahkannya kepada ibu. Sementara ibu dengan cekatan menuangkan dhawet ke dalam mangkuk-mangkuk kecil untuk kemudian diberikan kepada para tamu.
“Apa kamu mengerti makna dari berjualan dhawet seperti yang sedang dilakukan oleh ayah dan ibumu sekarang, Nduk?” Budhe Wito, perias pengantin kepercayaan keluarga besarku tiba-tiba menanyakan sesuatu yang belum pernah terlintas olehku.
Makna? Aku tidak mengerti apapun tentang makna dari seluruh rangkaian prosesi yang telah kujalani sedari pagi tadi. Bagiku, semua ini hanyalah rangkaian upacara yang memang sudah seharusnya ada dalam setiap pernikahan adat jawa. Lahir dan besar di Jogja tidak lantas membuatku paham dengan segala macam  adat dan budayanya.
Diam-diam ada sedikit rasa malu menyelusup ke dalam hatiku. Lalu yang sedang kulakukan dari tadi pagi itu apa? Tiba-tiba aku merasa seperti sebuah boneka yang sedang diarak kesana kemari tanpa sedikitpun tahu kenapa harus diarak kesana-kemari. Tiba-tiba aku seperti merasa melakukan semua prosesi adat ini hanya dengan setengah hati. Bagaimana tidak setengah hati? Lha wong tahu maknanya saja tidak…
Budhe Wito seperti dapat membaca pikiranku. Beliau tersenyum maklum. Sambil membubuhkan pelembab ke wajahku, Budhe Wito mulai menjelaskan.
“Prosesi dodol dhawet atau berjualan dhawet yang dilakukan oleh orang tua calon pengantin itu bertujuan untuk memberikan contoh kepada calon pengantin bahwasanya sepasang suami istri itu haruslah saling bantu dan bahu membahu dalam mencari uang. Selain itu juga ditujukan supaya pada saat resepsi nanti akan banyak tamu yang datang dan membawa berkah yang melimpah.”
Aku ingin mengangguk tanda mengerti, tapi khawatir itu akan membuat hasil riasanku tidak sempurna, akhirnya aku hanya menggumam-nggumam tidak jelas.
“Dan kenapa harus dhawet? Kenapa bukan minuman atau makanan lainnya?” Lanjut Budhe Wito. Dan seperti sudah yakin bahwa aku tidak bakal menjawab pertanyaannya… entah apa yang dipikirkannya. Apakah beliau berfikir aku tidak bisa menjawab karena wajahku sedang dirias, atau karena memang benar-benar tidak mengetahui jawabannya… Budhe Wito menjawab sendiri pertanyaannya
“Karena cendol-cendol yang berbentuk bulat-bulat itu akan melambangkan kebulatan tekad kedua orang tuamu untuk menikahkan dan menyerahkanmu kepada pria pilihanmu.”
“Ooh, begitu rupanya…” Aku mengambil kesempatan ketika Budhe Wito sedang sibuk mencari-cari sesuatu di dalam kotak riasnya. “Lalu lempengan tanah liat yang digunakan para tamu untuk membayar itu… pasti ada maknanya juga kan?”
Budhe Wito mengangguk sambil tersenyum. Lalu kembali menangani wajahku sehingga aku kembali harus diam.
“Lempengan tanah liat itu disebut kreweng. Kalau jaman dulu, orang menggunakan pecahan genting. Tidak sebagus sekarang, dengan ukiran nama segala.” Budhe Wito menjelaskan dengan antusias. “Dan kenapa menggunakan pecahan genting atau kreweng ini? Karena ini melambangkan bahwa manusia itu berasal dari bumi.”
Aku kembali menggumam-nggumam, sekedar menunjukkan bahwa aku mengerti.
Seseorang mengetuk pintu kamarku. Sebelum sempat kujawab, kepala Mbak Tunik, asisten Budhe Wito, muncul dari balik pintu. Mbak Tunik masuk ke kamarku seraya tersenyum lebar. Sebuah kebaya cantik berwarna ungu muda ikut masuk bersamanya. Binar-binarku mungkin tertangkap oleh Budhe Wito, karena beliau segera berkata, “Di malam midodareni kedua calon pengantin tidak boleh bertemu, jangan berharap Mas Ranggamu itu akan melihat keayuanmu dalam kebaya cantik itu.”
“Oh…” Gumamku kecewa.
Tiga bulan lalu, aku dan Mas Rangga keluar masuk toko kain di seluruh penjuru Jogja demi mendapatkan kain kebaya yang benar-benar klik di hati. Sebelumnya kami sudah mengkonsepkan gradasi ungu untuk acara pernikahan nanti. Jadi aku tidak terlalu bingung memilih di antara puluhan warna-warni mempesona yang melambai-lambai di depan mataku. Meskipun tidak bisa kupungkiri, aku tetap saja pusing menentukan ungu mana yang benar-benar kusuka. Tak kusangka ungu bisa memiliki begitu banyak gradasi warna.
Menjelang penghujung hari aku baru mendapatkan semua yang kusukai. Kain brokat berwarna putih yang cantik rencananya akan kugunakan untuk acara akad nikah, sedangkan untuk malam midodareni pilihanku jatuh pada sebuah ungu muda yang terlihat sangat cantik di mataku. Mas Rangga juga ternyata sangat menyukai brokat ungu yang kupilih itu. Katanya dia sudah tak sabar melihatku dalam balutan kebaya ungu yang untuk menemukannya saja kami membutuhkan waktu dari pagi hingga petang hari. Untuk resepsinya, kami sudah tidak perlu pusing-pusing lagi karena Budhe Wito yang akan menyiapkannya.
‘Mas, sudah sampai mana?’  Kuambil kesempatan ketika Budhe Wito sedang sibuk memilih-milih warna untuk memulas mataku, untuk mengirim pesan singkat kepada Mas Rangga.
‘Sebentar lagi sudah akan masuk Jogja. Tidak sabar rasanya melihatmu memakai kebaya ungu itu.’  Mas Rangga membalas pesanku beberapa detik kemudian.
‘Tidak bisa, Mas. Di malam midodareni kedua calon mempelai tidak bisa bertemu’  Aku melirik Budhe Wito yang sedang mengatakan sesuatu kepada Mbak Tunik. Lalu cepat-cepat menekan tombol kirim. Tidak mau kehilangan waktu sedetikpun untuk berbalas pesan dengan Mas Rangga.
‘Oh iya. Benar juga. Rasanya sudah ribuan kali aku mendengar Mamaku mengatakan itu. Sepertinya Mama begitu khawatir aku akan menyelinap masuk ke kamarmu saat acara midodareni nanti malam.’
Aku tidak bisa menahan senyum membaca pesan Mas Rangga. ‘Jadi Mas tidak bisa melihatku memakai kebaya itu.’  Kutekan tombol kirim tepat ketika Budhe Wito menyuruhku untuk memejamkan mata karena beliau akan mulai merias mataku.
Ponselku kembali berdering lembut ketika Mas Rangga membalas pesan. Tapi aku tidak bisa membacanya karena mataku sedang dirias.
Dan selanjutnya aku tidak ingat untuk membuka ponselku lagi, karena sibuk mengagumi diri sendiri ketika kebaya ungu itu benar-benar melekat di tubuhku. Aku belum pernah merasa begini luar biasa. Dan kebaya ini pun begitu luar biasa. Aku tahu kain ini cantik. Tapi tak kusangka akan jadi secantik ini setelah dijahit menjadi kebaya. Aku memang belum sempat melakukan fitting setelah kebaya ini dijahit. Beruntung sekali karena ternyata begitu pas di tubuhku. Dan oh..oh.. lihat wajahku… tidak salah kalau Budhe Wito menjadi perias pengantin kepercayaan keluarga besarku. Dari cerita yang kudengar, dulu ketika Ibu menikah dengan Ayah, yang menjadi perias pengantinnya adalah ibu dari Budhe Wito, dan ketika itu Budhe Wito masih menjadi seorang asisten. Tidak lama kemudian Budhe Wito mulai memberanikan diri untuk terjun sepenuhnya di dunia rias pengantin dan keahliannya sudah tidak perlu diragukan lagi. Ketika ibu dari Budhe Wito sudah mulai sepuh dan memutuskan untuk pensiun, Budhe Wito pun mulai dipercaya oleh keluarga besarku untuk merias dua orang tanteku ketika mereka menikah, setelah itu tiga orang kakak sepupuku, dan sekarang giliranku.
Hasil tangan dingin Budhe Wito benar-benar membuatku terkagum-kagum. Aku sedang bertanya-tanya bagaimana caranya Budhe Wito menyulap hidungku yang tidak terlalu mancung menjadi tampak begitu sempurna ketika Mbak Wahyu, salah satu kakak sepupuku melongokkan kepalanya dari balik pintu kamarku.
“Rani, keluar sebentar yuk… ayah dan ibumu menunggu di luar. Ada sesuatu yang ingin mereka bicarakan.” Aku heran melihat raut wajah Mbak Wahyu yang terlihat murung. Kenapa? Apa sedang bertengkar dengan suaminya? Aku putuskan untuk bertanya nanti saja, sekarang aku akan menemui Ayah dan Ibu dulu.
***
Mas Rangga tiba dalam sebentuk berita yang sungguh-sungguh tidak ingin kudengar. Berita tentang kecelakaan fatal beberapa saat sebelum memasuki Jogja yang dialami oleh salah satu mobil yang membawa rombongan keluarga besarnya, yang menewaskan seluruh penumpang yang berada di dalam mobil tersebut. Dan Mas Rangga termasuk di dalamnya.
Riasanku yang sempurna mulai luntur oleh air mata yang terus mengalir. Terus saja mengalir hingga kebaya unguku basah karenanya. Kebaya ungu yang sangat ingin dilihat oleh Mas Rangga.
Seketika aku teringat pada pesan-pesan singkat kami sesaat sebelum kecelakaan itu merenggut nyawanya. Dalam pesan terakhirku kukatakan bahwa dia tidak akan bisa melihatku memakai kebaya ini. Dan… dia membalas apa? aku belum sempat membaca pesan terakhirnya. Terburu-buru aku meraih ponselku. Tampak gambar sebuah amplop mungil di ujung layar. Pesan terakhir Mas Rangga. Sambil tergugu kutekan tombol ‘baca pesan’.
‘Ya sudah, tidak apa-apa aku tidak bisa melihatmu malam ini. Bukankah mulai besok semua akan terbayar? Setelah kamu menjadi istriku, aku dapat terus melihatmu setiap hari. Selamanya sampai ajal memisahkan kita.’
Dan seluruh duniaku tiba-tiba menjadi gelap, semakin gelap, dan aku tidak ingat apa-apa lagi.

6 komentar:

  1. Duh..aku lega pas baca Label: fiksi ....sedih banget ceritanya...jadi teringat kisah teman yang meninggal seminggu sebelum hari pernikahan..

    BalasHapus
  2. Ya ampun.. kasihan.. tapi mungkin Tuhan sudah punya rencana lain yg lebih indah untuk temannya mba Dewi ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tau nggak mbak meninggalnya itu..temanku itu jalan ama mantannya seminggu sebelum dia menikah. Trus mereka tabrakan, dibawa ambulance ke rs, eh ambulancenya kecelakaan, meninggal ditempat..Tunangannya hancur hati banget..double sedihnya. Kayak drama ya.

      Hapus
    2. berarti kalau ambulancenya gak tabrakan sebenarnya temennya masih hidup ya mbak? kalau kata orang jawa sih, calon pengantin itu harusnya dipingit, gak boleh ke mana2... gak tahu ya, mungkin menghindari hal2 semacam itu, ,dulu saya sehari sebelum nikah masih klayapan ke rumah sahabat2... eh diomelin sama para famili yg lagi ngumpul di rumah. padahal sih ortu saya gak masalah hehe... yah percaya gak percaya sih, namanya juga adat istiadat ya.. kalau saya sih mikirnya, apapun yg terjadi, Tuhan pasti punya rencana di baliknya.

      Hapus
  3. Ya ampun.. kasihan.. tapi mungkin Tuhan sudah punya rencana lain yg lebih indah untuk temannya mba Dewi ya...

    BalasHapus
  4. Jadi ingat teman saya (laki-laki), ngurus surat nikah di KUA bersama calonnya. Setelah itu pulang ke rumah masing-masing. Dalam perjalanan pulang, calon istrinya mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Ternyata, jodoh itu memang rahasia Ilahi.

    BalasHapus