Sebuah nama di layar komputer di hadapanku melemparkan memoriku melewati dimensi ruang dan waktu. Melempar memoriku hingga ke Jogja, sepuluh tahun yang lalu. Ketika kami sama-sama saling meluangkan waktu, untuk sekedar berjalan-jalan di Malioboro atau hanya diam menikmati jingga langit senja dengan saling membisu.
Tomy. Nama yang sebenarnya telah terkubur dalam-dalam di dasar pikiranku yang terbawah, sejak bertahun-tahun yang lalu, kini kembali menyeruak ke permukaan. Memaksa otakku untuk kembali mengingatnya. Memaksa hatiku untuk kembali merasakan indahnya suasana saat bersamanya.
‘Tomy Putra ingin berteman dengan anda di facebook’. Sebuah kalimat yang teramat biasa sebenarnya. Namun sebegitu mampunya menjungkir balikkan perasaanku, dan memporak porandakan kesetiaanku.
Kesetiaan? Benarkah aku tidak setia? Aku bahkan belum menerima permintaan pertemanan darinya. Mengikuti dorongan hati, aku coba untuk membuka profilnya. Dan jantungku tiba-tiba berdegup jauh lebih kencang daripada sebelumnya. Wajahnya masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Hanya tampak lebih berumur, tentu saja. Lebih matang, dan dewasa. Dan tanpa sadar, kursorku telah menerima permintaan pertemanan darinya.
Kulirik Mas Andi, yang sedang terlelap di sampingku. Ketika Tomy meninggalkanku untuk mengejar beasiswanya ke Australia 10 tahun yang lalu, Mas Andi adalah tempat pelarianku yang paling sempurna. Mas Andilah yang telah mampu menumpulkan cintaku kepada Tomy secara perlahan, mengikiskan nama Tomy dari hatiku, dan kemudian berdiri di hadapanku dengan begitu terang dan menyilaukan sehingga aku tidak lagi bisa melihat orang lain selain dirinya. Mas Andi melimpahiku dengan seluruh cinta dan ketulusan yang dia punya, dan mengajakku menjelajahi sisi lain dunia yang semanis gula-gula.
Hanya saja, semakin lama, gula-gula itu mulai terasa tidak begitu manis lagi. Bukan… bukan berarti Mas Andi tidak mencintaiku lagi. Aku yakin cintanya tidak pernah berkurang walaupun hanya setitik. Mas Andi hanya lupa, kalau sebagai perempuan, terkadang aku masih saja merindukan lembutnya belaian ataupun sekedar kecupan ringan. Mas Andi lupa untuk selalu mengolesi gula-gulanya dengan madu, sehingga rasa manisnya perlahan mulai hilang tergerus waktu.
‘Sepertinya kamu tidak berubah, masih tetap sama seperti dulu’ Tomy menulis di chat room. Dan jantungku mulai melompat-lompat tak terkendali. Selama bertahun-tahun aku sudah tidak ingat lagi dengan suaranya. Namun tiba-tiba sekarang semuanya seperti terngiang kembali di telingaku. Seperti sebuah kaset rekaman yang sudah tersimpan selama bertahun-tahun dan tiba-tiba diputar lagi dan lagi tanpa aku bisa menghentikannya.
‘Dari mana kamu tahu?’ Tulisku.
‘Entahlah. Dari… perasaanku, mungkin.’
‘Oh,’ Aku tidak tahu harus menulis apa.
‘Kok cuma ‘oh’ saja?’
‘Bagaimana kamu bisa menemukanku?’
‘Ada sesuatu yang menuntunku’
‘Haha, memangnya apa sesuatu yang menuntunmu itu?’
‘Semua ingatanku tentang kamu’
‘Memangnya kamu ingat aku?’ Darahku berdesir hingga ke ujung-ujung sarafku.
‘Selalu. Setiap detik. Aku tidak pernah melupakanmu’
‘Gombal…’
‘Tia, kita bisa bertemu?’
‘Untuk Apa?’ Aku bersyukur karena kami hanya mengobrol di chatting room. Dengan begitu dia tidak perlu melihat tanganku yang gemetar karena sengatan gelombang listrik kecil yang menyebar ke seluruh tubuhku.
‘Aku cuma ingin memberikan sesuatu milikmu’
‘Memangnya ada barang milikku yang terbawa olehmu?’
‘Bukan terbawa sebenarnya. Aku sempat membelikanmu sesuatu, sesaat sebelum pulang ke Indonesia, enam tahun yang lalu’
‘Oh ya? Lalu kenapa tidak kau berikan padaku sejak enam tahun yang lalu?’
‘Karena aku tidak berhasil menemukanmu. Nomormu ganti, dan kau sudah tidak berada di Jogja lagi. Aku lalu menelepon ke rumahmu. Menurut orang tuamu kau sudah menikah. Kenapa tidak memberitahuku?’
‘Memangnya aku bisa menghubungimu sejak sepuluh tahun yang lalu?’
‘Maafkan aku. Mungkin aku memang sempat menghilang. Tapi itu karena aku harus fokus untuk menyelesaikan studiku. Karena kalau sampai melebihi batas waktu yang ditentukan, maka beasiswaku akan dicabut. Dan kau tahu sendiri kan, aku tidak mungkin meneruskan studiku tanpa beasiswa itu?’
‘Tapi bukan berarti harus menghilang kan? Cuma butuh waktu beberapa menit saja untuk sekedar mengabariku. Apa kamu tidak sadar sudah mengombang-ambingkanku dalam ketidak pastian?’
‘Ya, aku tahu. Ini memang kesalahanku. Itu sebabnya aku sengaja tidak mau mencari tahu lebih jauh lagi tentangmu. Karena aku tidak ingin mengganggu kebahagiaan rumah tanggamu. Hanya saja, barang yang sudah kubelikan untukmu masih terbungkus rapi di dalam laciku. Maukah kamu mengambilnya? Bagaimanapun, sejak awal barang itu memang sudah menjadi milikmu.’
‘Baiklah. Di mana? Kapan?’
Tomy pasti bisa melihat tanganku yang gemetar saat aku membuka kotak mungil keemasan yang disodorkannya ke hadapanku. Dan sepasang anting-anting mungil berbentuk bulan sabit yang terbuat dari emas putih bertabur batu permata langsung meluluhkan hatiku. Dia sangat mengerti seleraku. Dari dulu, dia selalu mampu memahami pikiranku, bahkan menyelami jiwaku. Satu-satunya hal yang belum bisa Mas Andi lakukan hingga saat ini. Mas Andi mencintaiku, namun dia tidak pernah bisa mengerti jalan fikiranku, ataupun gejolak jiwaku. Menemukan Tomy kembali dengan sejuta perhatiannya, aku seperti menemukan segelas air di tengah luasnya padang Sahara. Segelas air yang ingin segera kuraih, kureguk, dan kunikmati setiap tetesnya.
“Kamu suka? Aku tidak tahu apakah seleramu sudah berubah atau belum selama beberapa tahun ini.”
“Selera orang terkadang tidak akan pernah bisa berubah karena itu cerminan dari jiwa.”
“Kamu memang tidak berubah, rasanya kamu masih Tia-ku, sepuluh tahun yang lalu…”
Aku harus mengerahkan seluruh kontrol diriku agar tidak terlarut dalam suasana, agar tidak lagi terhanyut oleh pesonanya. Otakku membunyikan alarm tanda siaga. Kesadaranku memberi peringatan keras, supaya aku segera keluar dari lingkaran magnet yang berbahaya. Namun aku tidak bisa. Medan magnet ini terlalu kuat, sedangkan aku tidak mempunyai cukup kekuatan untuk menarik dan menyelamatkan hatiku yang terlanjur tertahan di dalamnya.
“Maaf, Tom, aku harus pulang. Suamiku pasti sudah berada di rumah sekarang.”
“Apakah harus sekarang?” Tomy menatapku lekat-lekat. Seolah ingin mengirimkan telepati supaya aku tetap tinggal. Sesungguhnya, telepati itu sepertinya berhasil. Karena jika menuruti kata hati, sebenarnya aku masih ingin tetap di sini. Tetapi akal sehatku mengatakan lain. Aku harus pulang sekarang. Mas Andi pasti sudah pulang dan menungguku untuk makan malam. Dan aku akan kembali mendengarkan cerita-cerita membosankan tentang pekerjaannya, sembari menahan diri sekuat tenaga agar tidak menguap. Dan setelah itu Mas Andi akan bertanya tentang pekerjaanku, dan aku akan bercerita dengan setengah hati. Lalu kami akan menonton televisi, atau meneruskan pekerjaan masing-masing yang belum sempat terselesaikan.
“Mmm… sebenarnya, mungkin aku bisa meneleponnya dan mengatakan bahwa aku harus lembur malam ini.” Sepertinya tidak masalah kalau aku absen dari meja makan sekali ini.
“Kalau begitu lakukanlah.” Pinta Tomy. Menawarkan sebuah, atau banyak rasa baru, untuk gula-gulaku yang sudah mulai tawar.
Dan malam ini aku tidur dengan gelisah. Sejuta rasa gula-gula pun tak mampu mengusir perasaan bersalah. Mas Andi begitu baik menungguku pulang sampai-sampai harus tertidur di depan televisi. Begitu tanpa prasangka mengira aku benar-benar sibuk bekerja. Sementara aku justru membohonginya. Meninggalkannya duduk di meja makan sendirian tanpa teman bicara. Perlahan, aku pun terlelap dihantarkan dengkur lelahnya.
“Tia, bangun. Ini sudah pagi, kamu tidak ke kantor hari ini?” Suara Mas Andi terdengar sayup-sayup di telingaku. Tangannya mengguncang pelan bahuku. Perlahan, kubuka mataku yang masih terasa berat dan mengantuk. Seperti ada yang janggal, aku melihat sesuatu yang aneh di depan mataku. Kukumpulkan seluruh kesadaranku dan kufokuskan mataku agar bisa melihat lebih jelas cahaya-cahaya mungil yang menari-nari di hadapanku.
“Selamat Ulang Tahun, Tia..” Suara Mas Andi yang masih terdengar agak sayup-sayup perlahan mulai menyadarkanku bahwa cahaya-cahaya mungil itu berasal dari lilin-lillin kecil berwarna-warni yang ditancapkan pada sebuah kue ulang tahun berbentuk hati bertabur bunga-bunga mawar berwarna pink.
“A..Apa? Mas..ini..?” Aku seperti kehilangan kata-kata.
“Selamat Ulang Tahun, Tiara-ku,” Ulang Mas Andi lagi sambil mengecup kening dan kedua pipiku. Tubuhku menggelanyar oleh gelombang rasa haru yang tiba-tiba datang menghantamku.
“Terima kasih, Mas. Tapi… tumben, Mas bawa kue dan lilin segala?”
“Bukan cuma kue dan lilin.” Mas Andi menatapku penuh cinta. Tatapan yang sudah bertahun-tahun tidak pernah kutemukan lagi di matanya.
Dan aku benar-benar kehilangan kata-kata ketika Mas Andi memberikan sebuah kotak dari beludru berwarna biru dengan pita emas di sekelilingnya.
“Bukalah!” Pinta Mas Andi.
Dengan berdebar-debar penuh rasa bahagia, aku membuka kotak itu perlahan-lahan. Dan sebuah liontin emas berbentuk bunga menyambutku dengan begitu berkilauan. Indah. Walaupun sejujurnya, aku tidak menyukai perhiasan yang berbentuk bunga. Tapi aku tetap bahagia. Bukan salah Mas Andi kalau dia belum memahami seleraku hingga saat ini. Dia hanya kurang peka. Dan kalau dipikir-pikir, sepertinya aku juga belum sepenuhnya mengerti tentang dirinya. Dan sepertinya belum terlambat kalau kami berdua mencoba belajar untuk lebih saling mengerti dan memahami satu sama lain. Supaya pernikahan kami tidak lagi terasa hambar. Supaya pernikahan kami mempunyai banyak rasa seperti gula-gula. Supaya tahun depan, kami bisa saling memberikan kado ulang tahun yang lebih baik dan pas dengan selera masing-masing.
keren ceritanya
BalasHapuspesannya bagus
makasih :)
BalasHapusmakasih ya sudah mampir :)
bagus nih ceritanya...
BalasHapusportal asuransi