Translate

Jumat, 17 Mei 2019

Tentang Kapal Bagus, Dan Kapal Jelek

gambar dari Pixabay




Dulu (bahkan kadang sampai sekarang), saya sering merasa iri dengan jalan hidup orang lain yang terlalu mulus, terlalu indah, terlalu mudah.
Sering berfikir: kenapa dia bisa mendapatkan sesuatu dengan begitu mudah, nyaris tanpa usaha. Sementara saya harus mati-matian berjuang dan terkadang yang saya dapatkan tidak sesuai dengan yang saya inginkan. Jadi sering merasa hidup itu tidak adil.


Jadi ingat seorang kawan yang pernah berkata pada saya: kita semua ini ceritanya sedang berada di salah satu sisi sungai, dan memiliki tujuan yang sama, yaitu menyeberangi sungai untuk sampai ke sisi yang satunya.
Kita harus menyiapkan sebuah kapal, atau perahu untuk itu, nah proses pembuatan perahu inilah yang berbeda-beda pada setiap orang.
Ada yang begitu mudah, teramat sangat mudah. Seakan seluruh semesta mendukungnya. Ada juga yang begitu sulit, tertatih-tatih. Melewati banyak rintangan, hambatan dan cobaan. Seakan seluruh isi jagad raya bersatu untuk berusaha merusak perahunya.

Setelah perahu terbentuk pun, masih ada perjuangan lain yaitu menyeberangi sungai yang terkadang harus melawan gelombang dan arus deras yang mematikan.
Ada yang kapalnya begitu kuat hingga dia tetap nyaman berlayar hingga ke tujuan. Dia memiliki modal yang cukup untuk membuat perahunya aman dari hantaman gelombang.
Sementara ada yang hanya sanggup membuat perahu kecil yang rapuh padahal sudah mengerahkan segala kemampuan dan daya upaya.
 

Kenapa jalan hidup setiap orang harus berbeda-beda? Kenapa tidak sama saja semuanya supaya tidak ada kesenjangan yang tercipta?
Sampai di sini biasanya saya kemudian berusaha untuk berhenti memikirkannya. Saya takut, pikiran saya akan berujung dengan menyalahkan Tuhan nantinya.
Saya memaksa diri untuk berhenti berfikir, untuk sejenak mengamati perahu yang saya buat. Berusaha menemukan bagian-bagian membahagiakan dari keseluruhan perahu yang terlihat jelek, rapuh, dan begitu banyak kekurangan.
Harus memaksa diri membuka mata lebar-lebar untuk menemukan pelangi indah di tengah warna-warna kusam nan suram. Harus memaksa hati untuk mengakui bahwa itu adalah pelangi. Dan mensyukurinya. Karena terbiasa melihat warna suram membuat hati berkabut dan hampir tidak mempercayai adanya pelangi.

Saya memaksa untuk menemukan warna pelangi di perahu saya yang jelek dan suram. Kalau jeli, sebenarnya saya akan menemukan tidak hanya pelangi di sana, tapi juga percikan-percikan indah kembang api. Lalu kemudian saya akan mengucap syukur tanpa henti.
Tapi namanya manusia ya... terkadang setan-setan jahat itu memutar kembali kepala saya untuk kembali melihat sisi menyedihkan dari perahu saya, sekaligus menyaksikan gemerlap indahnya perahu lain nun jauh di sana. Dan membuat saya kembali mempertanyakan keadilan.

Temans, adakah yang pernah merasakan apa yang saya rasakan? Seperti sedang dipermainkan oleh kehidupan. Seperti sedang diombang-ambingkan oleh gelombang tanpa perasaan... tanpa pegangan.

Saya kurang bersyukur... Ya mungkin benar adanya.
Hati dan pikiran saya masih sering berloncat-loncatan, kadang seperti malaikat yang baik hati, dan terkadang bagaikan setan jahat yang menyebalkan. Terkadang saya bisa mensyukuri keadaan dengan setulus hati dan jiwa, lalu kembali mempertanyakan keadilan saat apa yang saya mau tidak tergapai sementara orang lain bisa mendapatkannya bahkan tanpa banyak usaha.

Ya namanya manusia ya, kadar keimanan seringkali naik turun.
Tidak munafik, saya bukan manusia yang memiliki kadar keimanan yang senantiasa tinggi. Di saat saya mempertanyakan keadilanNya, biasanya itu adalah ketika keimanan saya berada di titik lemah.
Seringkali saya takut akan terpeleset ketika sedang berada di kondisi itu. Maka saya akan buru-buru mencari pegangan, takut terjatuh atau salah jalan.

Jadi, ketika mulai merasa bahwa kehidupan itu tidak adil, saya akan buru-buru berwudhu, beristighfar, mengingat dan merunut apa yang sudah saya dapatkan. Berusaha melupakan dan tidak memikirkan apa yang tidak saya dapatkan. Terkadang susah sih. Terkadang saya sampai bertanya, “Kenapa tidak Kau berikan saja Ya Allah? Bukankah Engkau Maha Kaya? Kenapa tidak Kau berikan saja?”  Lalu setelah itu saya akan beristighfar berkali-kali. Sangat menyesal pernah mempertanyakan itu.

Kemudian saya akan memandang sekeliling. Lalu melihat anak-anak yang sehat, penurut, tidak kurang suatu apa... itu biasanya akan membuat saya kemudian berpikir: “Oke, aku tak butuh apapun. Asal selamanya kulihat mereka sehat, sholeh, dan bahagia.”

Yups, kalau dipikir-pikir, memang sumber kebahagiaan saya adalah mereka. Jadi, seharusnya saya tidak membutuhkan yang lain lagi.
Biar saja kapal saya jelek dan suram, asal anak-anak berada di kapal yang sama dengan saya, itu sudah lebih dari cukup.

Lalu inti dari postingan ini apa ya?
.....
Tidak ada... hahaha.....
Maaf,  hanya ingin curhat saja :D
Dan sepertinya judulnya tidak sesuai dengan isi... ah sudahlah biar...

Selamat menjalankan ibadah puasa, terima kasih sudah membaca. Dan mohon maaf jika postingan ini unfaedah :D

5 komentar:

  1. Itukan hanya perasaan saja....Melihat rumput tetangga selalu lebih hijau merekah..😄😄

    Padahal semua kehidupan manusia sama cuma jalannya saja yang berbeda ... Melihat orang senang bisa jadi hanya cover luarnya saja sedangkan didalamnya kita tidak pernah akan tahu seutuhnya..😄😄

    Era sekarang banyak hal yang seperti itu, Senang, bangga, Dan mudah mendapatkan sesuatu yang diinginkan hanya dalam sekejap.

    Tetapi kita selalu kurang dan kurang terus...Intinya kalau kita bersyukur kita dan orang diluaran sama saja tidak ada yang beda.

    Kapal bagus tampilan saja belum tentu dalamnya begitupun sebaliknya..😄😄

    BalasHapus
  2. Ikhlas dan bersyukur ..biasanya mempermudah perjalanan..., Terasa berat jika terus membandingkan keadaan dengan orang lain...


    Yang terlihat wah..belum tentu baik dan cocok buat kita..

    BalasHapus
  3. Kalau di pulau Jawa, diistilahkan 'Wang Sinawang' .., melihat orang lain seakan hidupnya lebih dari kita, begitupan orang lain melihat kita, kak.

    Tapi memang bukan dipungkiri, sebagian orang ada yang jalan hidupnya mulus dalam menggapai cita-cita juga meraih kesuksesan.
    Yah, semua itu kurasa sudah garis jalan hidup masing-masing yang ditentukan oleh Yang Di Atas ya.

    Tetap semangat yuk, kak ...,
    Meski saat ini mungkin hidup kita belum tercapai apa yang diinginkan 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul kang, orang hidup paling enak memang cukup saja,
      misalnya:
      mau punya sitri 4 uangnya cukup, anak2 pengen mobil uangnya cukup, pengen beli helikopter buat foto candi dari atas uangnya cukup,, hehehehe

      Hapus
  4. Sama mba, saya pun sering merasa iri pada orang lain, rasanya semua hal yang saya lakukan dengan susah payah, bisa dilakukan mereka dengan mudah.
    Padahal ya aslinya sama saja, semua orang punya tantangan yang sama dalam hidupnya :)

    BalasHapus