Translate

Selasa, 16 Oktober 2018

Ketika Kakak Pergi Piknik


Kemarin, si Kakak mengikuti kegiatan studi wisata alias piknik yang diadakan oleh sekolah.

Seumur-umur, memang baru sekarang sih Kakak pergi tanpa keluarga selama lebih dari satu hari. Dan itu sungguh membuat kami.... rempong wkwkwk...
Segala perintilan, peralatan mandi, obat-obatan, semuanya  saya siapkan dengan penuh ketelitian :D
Padahal kalau diingat-ingat, dulu jaman saya masih sekolah dan mengikuti kegiatan yang sama, saya mempersiapkan semua sendiri deh :D orang tua tahunya cuma ngasih sangu dan sejuta wejangan untuk bersikap baik dan berhati-hati. Segala jaket, handuk, sabun, sikat gigi, semua ya saya yang siap-siapin sendiri. Pokoknya super mandiri hehe....
Tapi entah kenapa sekarang begitu si Kakak yang mau piknik justru saya yang heboh dan cerewet mempersiapkan ini itu.
Dari beberapa hari sebelumnya saya sudah membuat list apa saja yang harus dibawa. Dan lanjut dengan kerempongan mempersiapkan semua, lalu mencocokkan dengan list menjelang keberangkatan. Sebenarnya yang mau pergi saya atau si Kakak sih?

Papanya tidak kalah rempong. Sibuk memberitahu bagaimana harus menyimpan uang dan handphone. Mengulang-ngulang hal yang sama sampai anaknya terlihat bosan :D
Pokoknya kemarin itu, saya merasa bahwa kami adalah orang tua paling norak sedunia (sadarnya baru sekarang sih wkwkwk). Anak pergi sebentar saja dan tidak terlalu jauh pula, lebaynya minta ampun hahaha....
Sebenarnya beberapa saat sebelum Kakak berangkat, saya sudah (agak) sadar sih. Soalnya kasihan melihat dia yang tampak mulai tertekan karena papanya tidak henti mengingatkan:
“Hati-hati ya, kalau pas membungkuk begitu jangan sampai uang atau handphone yang disimpan di kantong baju jatuh...”
“Hati-hati lho kalau mencabut selembar uang yang disimpan di kantong celana, jangan sampai menjatuhkan lembar yang lainnya”
“Kalau sholat, tasnya diletakkan di depan tempat sujud ya, jadi kalau ada apa-apa bisa langsung lihat...”
Lha saya saja yang mendengar sampai bosan, apalagi si Kakak ya wkwkwk.....
Dan tiba-tiba saja saya mengeluarkan sebuah ucapan yang membuat Kakak menganggap bahwa saya adalah pahlawan supernya:
“Udahlah biarin aja, kalau sampai hilang berarti bukan rejeki. Hitung-hitung buat pembelajaran juga kan. Justru dia akan bisa jauh lebih berhati-hati kalau pernah merasakan kehilangan...”
Begitu. Saya berkata seperti itu ke papanya dan si Kakak pun tersenyum lega.
Orang tua saya dulu tidak pernah se-‘cerewet’ itu kepada saya dalam hal menjaga uang. Dan, Ya... saya mengalami kecopetan pertama saat duduk di kelas 1 SMA. Dan itu kecopetan saya yang pertama sekaligus yang terakhir. Karena sejak mengalami kehilangan tersebut, saya jadi super hati-hati dan waspada menjaga barang-barang berharga saya.
Setelah kecopetan yang pertama itu, saya berkali-kali hampir menjadi sasaran copet lagi, tapi saya selalu berhasil menjaga dompet dan handphone. Entahlah, sinyal kewaspadaan saya bekerja dengan sangat baik jika sedang berada di atas bus atau tempat-tempat umum lainnya. Kalau menurut saya sih, mungkin ini karena saya pernah merasakan kecopetan sebelumnya. Seandainya saya belum pernah mengalaminya, kemungkinan sinyal kewaspadaan saya tidak akan sepeka ini.
Jadi orang tua saya yang dulu seperti cuek dan tidak banyak menasehati saya untuk menjaga barang berharga, sebenarnya mereka sedang mengenalkan ‘dunia yang sebenarnya’ pada saya. Sebenarnya mereka sedang membangun ‘sistem pertahanan’ pada diri saya. Membiarkan saya bersedih dan menangis berhari-hari karena kehilangan dompet yang masih baru plus uang jajan selama sebulan yang berada di dalamnya. Membiarkan saya merasakan pedihnya kehilangan dan kemudian menjadi extra waspada tanpa harus di-‘cereweti seperti yang kami lakukan terhadap si Kakak.
Kok saya jadi merasa bersalah ya, karena sepertinya terlalu overprotective yang justru membuat si Kakak tidak kunjung menyadari bahwa dunia itu ‘keras’. Yang apa-apa selalu kami jaga dan lindungi hingga membuatnya bergantung pada kami.
Tiba-tiba saja saya tersadar bahwa dalam beberapa tahun ke depan dia sudah akan mengepakkan sayapnya meninggalkan kami (kok jadi syedih huuhuu...), sementara kami belum mempersiapkannya menjadi manusia yang mampu menjaga dirinya sendiri.  *tiba-tiba panik.
Kepergian Kakak kemarin itu fix membuat saya menyadari bahwa mulai sekarang saya harus membiarkannya belajar lebih banyak tentang kehidupan. Tidak lagi cerewet memberi tahu ini dan itu karena itu hanya akan membuatnya tak kunjung mandiri. Cukup memantau dan tidak perlu segera ikut campur saat dia tersandung masalah, supaya dia belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Dengan tetap membentengi langkahnya dengan keimanan dan norma-norma yang ada, mudah-mudahan sih dia sudah cukup siap saat kami harus melepasnya pergi meraih impian dan cita-citanya.
Ketika Kakak pergi piknik kemarin itu, mindset saya berubah. Bahwa menyayangi bukan berarti selalu harus menjaganya dari kesedihan, kegagalan, kehilangan. Menyayangi justru harus membiarkannya merasakan berbagai rasa yang tidak menyenangkan, yang menyedihkan, mungkin sampai menguras rasa dan air mata.
Satu saja yang harus kita lakukan: Menemaninya. Memeluknya, menggenggam tangannya, menegakkan kepalanya, menguatkan hatinya, menyemangatinya... dan percaya bahwa dia bisa melewatinya dan mengambil hikmah dari kesedihan dan kehilangannya ^_^
Bismillah... semangat ya Kak....

3 komentar:

  1. maklum mbak, saya juga gitu kok. jangankan satu hari, dia yang ekluar kora untuk outbond dan sorenya balik. wejangannya semilyar. peralatan ini masukkan disini, jangan samapai ketinggalan jadi harus a,b,c .... hahaha tapi dengan begini saya belajar juga, untuk nggak terlalu memnajkana dia dan lebih ngajarin mandiri dan tanggung jawab dengan barangnya sendiri.

    BalasHapus
  2. Mbak, si Kakak beruntung sekali punya Ibu yang perhatian, sayang, dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan dari pengalamannya. Sehat selalu ya, mbak.

    BalasHapus
  3. Dengan merasakan tidak hanya kesenangan, seseorang jadi belajar lebih dewasa melalui pengalaman

    BalasHapus