cerita sebelumnya di sini ya...
Boby
Sabs membuka mulut untuk protes, tapi tidak
jadi. Akhirnya dia mengikutiku meski dengan tampang masam.
“Boby...”
Tiba-tiba Sabs mencengkeram lenganku. Wajahnya yang dari tadi masam kini
terlihat pucat dan tegang. Pandangannya tertuju ke atas, ke arah jendela yang
terletak di lantai dua.
“Aduh, lepas dong... sakit tahu...” Kutarik lenganku dari cengkeramannya yang
menyakitkan, dan mengikuti arah pandangannya ke atas. Ke arah jendela kembar
yang masih tampak kokoh dan... ehm... sedikit menyeramkan.
Tak ada
apapun di sana.
“Ada apa sih Sabs? Nggak ada apa-apa kok.”
“Tadi ada bayangan orang melintas di situ.”
Sabs menunjuk ke arah jendela. Wajahnya tampak semakin pias.
Kualihkan kembali pandanganku ke arah jendela
itu. Dan tetap tak kulihat bayangan, atau apapun di situ. Kalau benar Sabs
melihat ada bayangan orang tadi, bisa dipastikan itu adalah tunawisma atau
orang gila yang memanfaatkan rumah ini sebagai tempat tinggal.
Terdorong rasa penasaran, kulangkahkan kakiku
menapaki beberapa anak tangga menuju teras. Tak kuhiraukan Sabs yang terus
mengomel sambil kembali mencengkeram lenganku sampai rasanya seluruh kukunya
menancap ke dalam kulitku.
“B...Boby... h..handle pintunya... bergerak....” Sabs tergagap-gagap. Suaranya seperti
tercekik di tenggorokan.
Aku belum sempat menjawab saat pintu di depan
kami mulai terbuka. Tepatnya, dibuka dari dalam.
“Halo, kalian siapa? Ada yang bisa kubantu?”
Rasanya tak percaya dengan apa yang sedang
kulihat dan kudengar. Sesaat aku mengira sedang melihat bidadari. Ya, gadis
yang berdiri di hadapanku saat ini, kurasa pantas disebut bidadari.
Segera, aku jatuh cinta pada pandangan pertama.
Dan saat kami beradu pandang, aku merasa tertarik jauh lebih dalam.
Suaranya yang halus lembut mendayu membuat hatiku
terpana. Dan tatapan matanya membuatku benar-benar terjatuh dalam pesonanya.
“Ka... kamu siapa? Kenapa bisa berada di
sini?” Aku merutuki diri kenapa harus
berbicara sambil tergagap-gagap di hadapan gadis ini.
“Lho, semestinya aku yang bertanya. Kenapa
kalian bisa ada di rumahku, dan bertanya siapa aku...?” Gadis itu tertawa. Tawa yang renyah dan
indah. Yah, setidaknya menurutku.
“Eh, a... aku Boby. Ini saudara kembarku,
Sabrina. Kami tinggal di Blok D. M..
maaf ya... tadinya kami pikir ini rumah kosong yang sudah tidak
berpenghuni...” Sekali lagi aku merutuki
diri yang masih tergagap-gagap. Sungguh, aku sudah berusaha untuk berbicara
dengan normal. Tapi entah kenapa, di hadapan gadis ini, aku seperti kehilangan
kendali atas diriku sendiri.
“Iya, nggak apa-apa kok. Tadi aku Cuma
bercanda.” Gadis itu tersenyum dan hatiku segera luluh lantak melihat senyum
manisnya.
“Aku baru pindah ke sini tadi pagi. Berdua
Ibuku. Tapi beliau sedang kurang sehat. Jadi kami belum sempat membersihkan
rumah ini. Oh ya, namaku Anindita...” Gadis itu mengulurkan tangannya. Aku
menyambutnya dan segera saja rasaku bagaikan terbang melayang di atas awan.
Seluruh sudut hatiku langsung penuh terisi namanya. Dan aku merasa lega karena
ada penjelasan yang masuk akal bagaimana bisa seorang gadis secantik Anindita
bisa tinggal di rumah yang.... ehm... menyeramkan ini.
***
“Kalian ke mana saja sih? Katanya jam 4 sore,
tapi hampir Maghrib baru sampai sini..”
Nafisa bergegas membuka pintu pagar saat melihat kami datang.
“Tuh Boby nyangkut...” Sindir Sabs sambil
mencibir ke arahku.
“Naf, kamu tahu tidak? ada yang baru pindahan
di blok E...” Tak kuhiraukan cibiran
Sabs.
“Ah masa, memangnya ada yang berani tinggal di
Blok E?” Nafisa balik bertanya.
“Mmmm... sebenarnya... aku merasa ada yang aneh
dengan gadis itu, kamu merasa nggak sih,
Boby...?” Tanya Sabs padaku.
“Ah, cuma perasaanmu saja. Memangnya apa yang
aneh dari Anindita?” Pertanyaan Sabs membuatku kembali membayangkan Anindita.
Wajah cantiknya, suara lembutnya, tatapan matanya, senyumnya, dan semua
tentangnya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Aneh, karena dia tinggal di Blok E.” Balas Nafisa sambil tertawa.
“Kalian hebat lho, berani lewat Blok E tadi,”
Lanjutnya. “Orang-orang di sini enggan
melewati blok itu, kecuali kalau benar-benar terpaksa sekali harus lewat sana.”
“Iya sih, kalau dipikir-pikir, seram juga tadi.
Rumah-rumahnya masih sedikit, dan semua seperti sudah tidak berpenghuni.” Kata Sabs.
“Dan ada danau angker di sana,” Lanjut Nafisa
sambil bergidik.
“Danau? Yang ada ayunan tua di sampingnya?”
Tanyaku. Nafisa mengangguk dengan ekspresi aneh. Mungkin sedang membayangkan
danau dan ayunan itu.
Aku dan Sabs hanya saling memandang dalam diam.
Danau itu berada tepat di depan rumah Anindita.
Bersambung
Cerpen yang bagus, ini tentang berpetualang ke daerah angker ya hehe
BalasHapusAaaah ditunggu lanjutannya. Si Anindita itu orang atau hantuuuu :D
BalasHapus