Translate

Selasa, 10 Desember 2019

Rahasia Anindita (2)

 
 cerita sebelumnya di sini ya...
Boby
Sabs membuka mulut untuk protes, tapi tidak jadi. Akhirnya dia mengikutiku meski dengan tampang masam.
“Boby...”  Tiba-tiba Sabs mencengkeram lenganku. Wajahnya yang dari tadi masam kini terlihat pucat dan tegang. Pandangannya tertuju ke atas, ke arah jendela yang terletak di lantai dua.

“Aduh, lepas dong... sakit tahu...”  Kutarik lenganku dari cengkeramannya yang menyakitkan, dan mengikuti arah pandangannya ke atas. Ke arah jendela kembar yang masih tampak kokoh dan... ehm... sedikit menyeramkan.
 Tak ada apapun di sana.
“Ada apa sih Sabs? Nggak ada apa-apa kok.”
“Tadi ada bayangan orang melintas di situ.” Sabs menunjuk ke arah jendela. Wajahnya tampak semakin pias.
Kualihkan kembali pandanganku ke arah jendela itu. Dan tetap tak kulihat bayangan, atau apapun di situ. Kalau benar Sabs melihat ada bayangan orang tadi, bisa dipastikan itu adalah tunawisma atau orang gila yang memanfaatkan rumah ini sebagai tempat tinggal.
Terdorong rasa penasaran, kulangkahkan kakiku menapaki beberapa anak tangga menuju teras. Tak kuhiraukan Sabs yang terus mengomel sambil kembali mencengkeram lenganku sampai rasanya seluruh kukunya menancap ke dalam kulitku.
“B...Boby... h..handle pintunya... bergerak....”  Sabs tergagap-gagap. Suaranya seperti tercekik di tenggorokan.
Aku belum sempat menjawab saat pintu di depan kami mulai terbuka. Tepatnya, dibuka dari dalam.
“Halo, kalian siapa? Ada yang bisa kubantu?”
Rasanya tak percaya dengan apa yang sedang kulihat dan kudengar. Sesaat aku mengira sedang melihat bidadari. Ya, gadis yang berdiri di hadapanku saat ini, kurasa pantas disebut bidadari.
Segera, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan saat kami beradu pandang, aku merasa tertarik jauh lebih dalam.
Suaranya yang halus lembut mendayu membuat hatiku terpana. Dan tatapan matanya membuatku benar-benar terjatuh dalam pesonanya.
“Ka... kamu siapa? Kenapa bisa berada di sini?”  Aku merutuki diri kenapa harus berbicara sambil tergagap-gagap di hadapan gadis ini.
“Lho, semestinya aku yang bertanya. Kenapa kalian bisa ada di rumahku, dan bertanya siapa aku...?”  Gadis itu tertawa. Tawa yang renyah dan indah. Yah, setidaknya menurutku.
“Eh, a... aku Boby. Ini saudara kembarku, Sabrina. Kami tinggal di Blok D.  M.. maaf ya... tadinya kami pikir ini rumah kosong yang sudah tidak berpenghuni...”  Sekali lagi aku merutuki diri yang masih tergagap-gagap. Sungguh, aku sudah berusaha untuk berbicara dengan normal. Tapi entah kenapa, di hadapan gadis ini, aku seperti kehilangan kendali atas diriku sendiri.
“Iya, nggak apa-apa kok. Tadi aku Cuma bercanda.” Gadis itu tersenyum dan hatiku segera luluh lantak melihat senyum manisnya.
“Aku baru pindah ke sini tadi pagi. Berdua Ibuku. Tapi beliau sedang kurang sehat. Jadi kami belum sempat membersihkan rumah ini. Oh ya, namaku Anindita...” Gadis itu mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dan segera saja rasaku bagaikan terbang melayang di atas awan. Seluruh sudut hatiku langsung penuh terisi namanya. Dan aku merasa lega karena ada penjelasan yang masuk akal bagaimana bisa seorang gadis secantik Anindita bisa tinggal di rumah yang.... ehm... menyeramkan ini.
***
“Kalian ke mana saja sih? Katanya jam 4 sore, tapi hampir Maghrib baru sampai sini..”  Nafisa bergegas membuka pintu pagar saat melihat kami datang.
“Tuh Boby nyangkut...” Sindir Sabs sambil mencibir ke arahku.
“Naf, kamu tahu tidak? ada yang baru pindahan di blok E...”  Tak kuhiraukan cibiran Sabs.
“Ah masa, memangnya ada yang berani tinggal di Blok E?” Nafisa balik bertanya.
“Mmmm... sebenarnya... aku merasa ada yang aneh dengan gadis itu, kamu merasa nggak sih,  Boby...?”  Tanya Sabs padaku.
“Ah, cuma perasaanmu saja. Memangnya apa yang aneh dari Anindita?” Pertanyaan Sabs membuatku kembali membayangkan Anindita. Wajah cantiknya, suara lembutnya, tatapan matanya, senyumnya, dan semua tentangnya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Aneh, karena dia tinggal di Blok E.”  Balas Nafisa sambil tertawa.
“Kalian hebat lho, berani lewat Blok E tadi,” Lanjutnya.  “Orang-orang di sini enggan melewati blok itu, kecuali kalau benar-benar terpaksa sekali harus lewat sana.”
“Iya sih, kalau dipikir-pikir, seram juga tadi. Rumah-rumahnya masih sedikit, dan semua seperti sudah tidak berpenghuni.”  Kata Sabs.
“Dan ada danau angker di sana,” Lanjut Nafisa sambil bergidik.
“Danau? Yang ada ayunan tua di sampingnya?” Tanyaku. Nafisa mengangguk dengan ekspresi aneh. Mungkin sedang membayangkan danau dan ayunan itu.
Aku dan Sabs hanya saling memandang dalam diam. Danau itu berada tepat di depan rumah Anindita.
Bersambung

2 komentar:

  1. Cerpen yang bagus, ini tentang berpetualang ke daerah angker ya hehe

    BalasHapus
  2. Aaaah ditunggu lanjutannya. Si Anindita itu orang atau hantuuuu :D

    BalasHapus