Sabrina
“Hati-hati ya Mas... itu barang pecah belah...”
“Yang itu tolong langsung diletakkan di lantai
atas saja ya...”
Mama tampak sibuk memberikan berbagai instruksi
kepada sopir dan dua orang kernet truk yang kami sewa untuk membawa
barang-barang kami dari Jakarta. Papa juga sibuk membantu mengatur-ngatur dan
membawa beberapa barang ke lantai atas.
Kupandangi Boby, saudara kembarku, yang sudah tampak
suntuk dan tidak bersemangat sejak beberapa bulan yang lalu. Sejak Papa dan
Mama mengumumkan tentang kepindahan ini, karena Papa ditugaskan untuk mengurusi
anak cabang perusahaan yang baru saja berdiri di kota kecil ini.
Kuambil ransel besar dan koperku. Koper baru.
Berwarna pink, warna kesukaanku. Mama membelikannya sebulan yang lalu, khusus
untuk kepindahan ini. Boby juga dibelikan satu, yang berwarna biru.
Sekarang kulihat koper biru itu terseret-seret
tanpa semangat. Merana. Semerana hati pemiliknya.
Kasihan Boby. Dia yang paling syok dengan
kepindahan ini. Bagaimana tidak, bintangnya sedang bersinar terang sebagai
pemain basket terbaik di tim sekolah kami ketika tiba-tiba harus berhenti.
Sebenarnya aku dan Boby sudah mengajukan usul
supaya kami berdua tidak perlu ikut pindah. Supaya kami menyelesaikan sekolah
dulu di Jakarta. Tapi Papa tidak setuju, karena menurutnya, selama situasi dan
kondisi memungkinkan untuk berkumpul, maka sebuah keluarga itu selayaknya
berkumpul.
Jadilah kami berada di sini saat ini. Di sebuah rumah di
tengah kompleks perumahan yang cukup luas. Rumah yang nyaman, tidak terlalu
besar, dan berlantai dua. Rumah yang disediakan oleh perusahaan Papa untuk kami
tinggali selama berada di sini.
“Hey... ini lumayan kan? rumah ini bagus, dan
kita tidak tinggal di tengah hutan seperti prasangkamu selama ini...” Kucoba membesarkan hatinya. Boby hanya
mengangkat bahu dengan wajah cemberut sambil menggotong kopernya ke lantai atas
dengan setengah hati. Aku mengikutinya, sambil menggotong koper pink-ku.
“Kamar kalian di ujung sana ya... pilih sendiri
tapi jangan berebut.” Instruksi Papa
sambil membantu menaikkan koperku dari anak tangga teratas.
Kuseret koperku sambil memandang sekeliling.
Rumah ini tidak besar, tapi cukup nyaman. Khas rumah-rumah di daerah perumahan.
Kamarku dan Boby terletak di bagian depan. Saling berhadapan, dan ada pintu
menuju balkon di antaranya.
Kupersilahkan Boby memilih duluan, dan aku
mengambil sisanya. Biarlah, karena di antara kami berdua, dialah yang saat ini
lebih merasa tertekan. Kuharap setelah kami memulai sekolah, dia akan merasa
lebih baik. Siapa tahu sekolah yang baru nanti punya tim basket juga. Semoga...
***
Boby terpekur menatap mangkuk bakso di
hadapannya. Tingkahnya semakin lunglai saja. Dia baru saja mendapat jawaban
bahwa untuk masuk ke tim basket sekolah ini, harus menunggu sampai tahun ajaran
baru, yang itu berarti masih lama sekali. Boby kecewa, apalagi setelah
didengarnya bahwa tim basket di sekolah ini merupakan salah satu tim terbaik di
kota ini.
“Boby, cepat habiskan baksomu. Sebentar lagi
bel masuk!” Kutendang pelan kakinya dari
bawah meja kantin. Lama-lama aku tidak sabar juga melihatnya hanya menekuri
saja mangkuk bakso tanpa menyentuhnya. Orang yang melihat pasti mengira dia
sedang menghitung jumlah mie yang ada di dalam mangkuknya.
“Boby, kudengar kamu ingin masuk ke tim basket
ya? kamu suka basket?” Nafisa, gadis
manis teman sekelasku yang teramat manis, tiba-tiba sudah duduk di sampingku.
“Iya, Naf... tapi sudah tidak bisa. Makanya dia
lunglai begitu...” Aku menjawab untuk
Boby, karena aku bahkan tak yakin kalau dia mendengar pertanyaan Nafisa
barusan.
“Iya, sudah terlambat memang. Kamu harus
menunggu sampai tahun ajaran mendatang.” Nafisa melontarkan tatapan prihatin ke
arah Boby.
“Tapi kalau kamu memang suka basket, kamu bisa
main ke rumahku. Di sebelah rumahku kan ada lapangan basket... kalian nggak
tahu kan? kurasa kalian belum pernah berjalan-jalan sampai ke belakang
kompleks...”
Nafisa tinggal di kompleks yang sama dengan
kami. Namun karena kompleks perumahan itu lumayan luas, aku belum sempat
menjelajahi keseluruhannya, termasuk daerah tempat Nafisa tinggal.
“Wah, yang benar Naf? Oke deh... nanti sore aku
dan Boby akan main ke rumahmu. Aku juga sudah bosan menghadapi orang yang
lemah lunglai seperti itu...” Kutatap
Boby. Berusaha menularkan semangatku. Membelah dua energi positifku untuk
kubagikan dengannya, dan berharap dia mampu menangkapnya.
***
“Sabs, lewat sini saja yuk, kita belum pernah
kan lewat sini?” Boby membelokkan
sepedanya menuju jalanan Blok E di kompleks kami. Aku mengarahkan sepedaku
mengikutinya. Boby sudah kembali bersemangat sejak menemukan lapangan basket
di samping rumah Nafisa. Meski awalnya dia memandang sebelah mata karena
anak-anak yang bermain basket di sana hanya sekedar iseng-iseng saja, tapi
entah bagaimana, mereka berhasil menarik Boby keluar dari kemurungannya. Boby
yang awalnya memandang dengan sebelah mata, kini justru menjadi bagian dari
mereka. Meski tak pernah mengikuti kejuaraan apapun, tapi mereka kompak, solid,
dan bersemangat. Dan sore ini, aku ikut ke lapangan basket karena janjian
dengan Nafisa untuk mengerjakan pekerjaan sekolah di rumahnya.
Jalanan sepanjang Blok E terasa lebih lengang.
Mungkin karena hanya ada beberapa rumah saja yang sudah berdiri, itupun
sepertinya tidak berpenghuni. Blok ini masih didominasi oleh tanah-tanah kosong
dan rawa-rawa.
“Sabs, lihat rumah itu... pasti dulunya sangat
mewah...” Boby tiba-tiba berhenti
sambil mengagumi sebuah rumah yang.... yah, seandainya rapi dan bersih pasti
sangat mewah.
Tapi dengan dinding yang menghijau karena
lumut, sampah yang berserakan di teras dan halamannya, serta atap teras yang
sudah seperti mau rubuh, membuat tampilan rumah itu lebih cocok jika disebut
menyeramkan.
Kukayuh kembali sepedaku karena merasa tak
nyaman berlama-lama memandangi rumah itu, tapi Boby menahanku.
“Hei Sabs, tunggu dulu dong... aku penasaran
ingin melihat bagian dalamnya... pasti bagus dan mewah...”
“Apa? Kamu gila ya? Aku nggak mau ah. Bagaimana
kalau ada ular atau binatang berbahaya lain di dalam sana? Bagaimana kalau ada
orang gila atau orang jahat? Sudah ah, kamu kan sudah ditungguin anak-anak di
lapangan, Boby...”
Boby tidak menghiraukan ucapanku. Dia seperti
terhipnotis oleh rumah itu.
“Ayolah Sabs, sebentar saja. Kita hanya akan
melihat sedikit ke dalam, kemudian segera pergi.”
Aku membuka mulut untuk protes, tapi tidak
jadi. Percuma, Boby sudah turun dari sepeda dan mulai melangkah memasuki
halaman rumah menyeramkan itu.
Bersambung
Pas abaca ini... => "“Tapi kalau kamu memang suka basket, kamu bisa main ke rumahku. Di sebelah rumahku kan ada lapangan basket..."
BalasHapusSomehow kok aku merasanya ini modus hahaha