gambar dari Pixabay |
Sejak berita
tentang artis Korea yang bunuh diri karena tak tahan dibully beberapa waktu
yang lalu, tiba-tiba saja beranda FB saya jadi penuh dengan status-status yang
bertema dan bercerita tentang bully.
Setiap
melihat postingan yang bertema bully, ingatan saya biasanya lalu melayang ke
masa lalu. Ke masa-masa di mana saya masih terjebak dalam lingkaran bullying.
Yups, saya
adalah salah satu korban bullying. Tidak lama memang, dan tidak terlalu parah,
karena hanya dilakukan oleh anak-anak kelas 4 SD. Tapi karena saya, selaku
korban, juga masih kelas 4 SD saat itu, jadi ya hari-hari yang saya lalui
terasa lumayan berat.
Saya jadi
sering merasa enggan pergi ke sekolah. Pura-pura pusing, tapi akhirnya ketahuan
kalau bohong karena tubuh saya tidak menunjukkan tanda-tanda sedang sakit.
Setiap
hari, saya selalu berusaha untuk tiba di sekolah sesaat sebelum bel masuk
berbunyi. Dengan harapan teman-teman saya sudah tidak ada waktu lagi untuk
membully.
Bagaimana
jika ternyata saya datangnya agak kepagian?
Maka saya
akan diam menunggu di dalam toilet sekolah sampai terdengar bel masuk berbunyi.
Terbayang nggak, ngumpet selama 15 – 20
menit di toilet sekolah yang pesingnya warbiyasah...
Kalau diingat-ingat
lagi sekarang, rasanya tak percaya kalau dulu saya bisa sekuat itu, hahaha...
Singkat
cerita, akhirnya saya tidak naik ke kelas 5.
Dan waktu
itu, semua orang memandang saya dengan kasihan. Mungkin mereka pikir saya
sedih, atau malu.
Sebenarnya
yang saya rasakan waktu itu lebih ke perasaan takut saja sih. Takut dimarahi
oleh Ibu dan Bapak.
Dan ketika
akhirnya orang tua saya hanya berkata, “Ya sudah, tingkatkan lagi belajarnya
ya...” Ya sudah, perasaan saya langsung
terasa ringan seperti kapas.
Orang
mungkin melihat ketertinggalan saya di kelas 4 adalah suatu bentuk kegagalan.
Padahal bagi saya, sebenarnya itu adalah titik balik kehidupan saya di sekolah.
Teman-teman yang biasa membully sudah naik ke kelas 5, dan adik-adik dari kelas
3 menjadi teman-teman baru saya di kelas 4.
Mereka
semua baik, menghargai, dan menganggap saya sebagai sahabat.
Di tahun
kedua di kelas 4, saya berangkat sekolah dengan gembira. Tidak lagi berbohong
pura-pura pusing atau ngumpet di toilet sampai bel masuk berbunyi. Saya punya sahabat-sahabat yang baik dan
kepercayaan diri yang tinggi. Semangat belajar saya meningkat, dan tentu saja
itu juga berimbas pada prestasi yang semakin membaik.
Saya
menjalani 2 tahun di kelas 4 dengan kondisi yang bertolak belakang di setiap
tahunnya.
Ketertinggalan
saya di kelas 4 adalah sebuah berkah. Karena saya tidak bisa membayangkan
bagaimana jadinya jika saya naik ke kelas 5 bersama teman-teman yang suka
membully.
Sedihnya,
saya harus kembali terjebak dalam lingkaran bullying saat anak pertama saya,
Raki, juga sempat jadi korban bully.
Untungnya,
Raki berani bercerita di rumah. Sehingga saya bisa melaporkan kasus pembulian
itu ke pihak sekolah. Berbeda dengan saya dulu yang tidak berani bilang ke
orang tua dan memilih untuk menanggung semuanya sendiri saja.
Setelah
pembulian terhadap Raki berhenti meskipun tidak seratus persen, nilai-nilai dan
prestasinya juga mulai merambat naik. Meskipun ada salah satu guru yang membuat
saya cukup geregetan saat mengatakan: “Soalnya Raki itu anaknya pendiam. Jadi
tidak terjalin ikatan sayang antara dia dan teman-temannya. Wajar kalau
dibully. Itulah resiko jadi anak pendiam.”
Saat itu
saya yang, ‘what? Jadi pembulian itu legal bagi anak-anak yang pendiam...???
Ah tapi
sudahlah, semua sudah berlalu. Hanya satu guru yang seperti itu, sedangkan yang
lainnya cukup berempati.
Dua
pengalaman bullying yang pernah saya alami membuat saya tahu pasti, bahwa
seringan apapun, bullying pasti berdampak pada kehidupan seseorang, apalagi
anak kecil.
Masalahnya,
bisakah kita memutus rantai bullying yang seakan tiada habisnya?
Maaf, tidak
menyertakan solusi. Ini murni curhat, hehehe...
Selalu ada hikmah yang baik disetiap peristiwa ya. Alhamdulillah juga punya orangtua yang hebat. Tidak banyak orangtua yang seperti itu. Bullying sangat ngeri. Beruntung bisa lepas dari teman-teman yang "tidak sehat" seperti itu.
BalasHapussaya juga pernah berada pada kondisi bullying sampai nangis minta pindah sekolah walau akhirnya juga di bully lagi waktu SMA, tapi kala serapuhnya saya, saya bisa dikuatkan karena ada bapak yang selalu mensuport wlaau kadang kalau ingat suka sedih lihat bapak datang jengguk ke asrama dalam keadaan hujan untuk menghibur saya supaya gk pindah sekolah lagi
BalasHapus