gambar dari Pixabay |
Beberapa
waktu lalu, sebuah keluarga kecil datang ke warung mungil saya untuk membeli
sesuatu. Terdiri dari sepasang ayah dan ibu muda, dan dua orang anak yang sungguh
lucu imut menggemaskan.
Si kakak,
perempuan, saya perkirakan berumur 3 tahunan. Cantik dan lucu. Sedangkan si
adik, laki-laki, kurang lebih 1 tahunan. Sepertinya sedang senang-senangnya
berjalan mondar-mandir ke sana kemari.
Semua
berjalan biasa-biasa saja awalnya. Si Kakak duduk di anak tangga depan warung
(posisi warung saya lebih tinggi dari halaman, jadi ada dua anak tangga di
situ).
Si adik
tampak senang naik turun tangga bolak-balik dengan si ibu yang mengawasi di
dekatnya. Sedangkan ayah berjalan menuju motor untuk menaruh belanjaan.
Saya sudah
tidak memperhatikan lagi karena harus melayani pembeli lain, ketika tiba-tiba
terdengar tangisan keras si adik dan posisinya sudah terjatuh di halaman dekat
anak tangga terbawah. Menurut salah satu pengunjung warung, saat itu si ibu
sedang sedikit lengah memandang ke arah lain sehingga tidak menyadari saat si
adik salah melangkah dan terjatuh.
Sampai sini
kedengarannya masih biasa saja kan ya...
Menurut
saya sih biasa banget jika sesekali
seorang ibu sedikit lengah dan anak yang sedang aktif-aktifnya terjatuh. Dua
anak saya juga sudah tak terhitung berapa kali jatuh bangun akibat kelengahan
saya. Si Kakak bahkan pernah nyebur di got bersama mobil-mobilan yang
dinaikinya gara-gara saya terlalu sibuk melayani pembeli sampai lupa
memperhatikannya.
Nah yang
membuat saya terkaget-kaget sampai sedih lalu kepikiran adalah, saat si ibu
tiba-tiba membentak-bentak si kakak perempuan yang sedari tadi duduk manis di
tangga tanpa sedikitpun menyentuh adiknya.
Agak
sedikit kasar sih di telinga saya. Ada kata-kata: “Hey, bocah....” sambil menunjuk
muka si kakak yang tampak ketakutan. Dan panggilan ‘elu’ yang menurut saya kurang pantas diucapkan kepada anak kecil.
Maksud saya.... keluarga itu bukan keluarga Betawi ya.... dan panggilan ‘lu’ itu diucapkan dengan nada kasar
penuh kemarahan.
Beda dengan
Enyak di SDAS, yang meskipun ber-elu-elu, tapi diucapkan dengan penuh
kelembutan dan kasih sayang.
Intinya
adalah, si ibu menuduh bahwa si kakaklah yang mendorong adiknya hingga
terjatuh. Si kakak hanya diam saja sambil menunduk ketakutan.
Pengunjung
warung yang lain mengatakan pada si ibu bahwa si kakak dari tadi diam saja
tidak menyentuh adiknya, si adik terjatuh sendiri karena keseimbangan tubuhnya
memang belum sempurna.
Tapi si ibu
tetap teguh dengan pendiriannya bahwa si kakak telah mendorong adiknya. Keluarga
itu kemudian pergi dengan kondisi sang ibu yang masih membawa sisa-sisa amarah
kepada anak perempuannya.
Sebenarnya
saya tahu persis dengan apa yang dirasakan oleh ibu muda itu.
Mungkin
sebenarnya dia juga tahu bahwa si kakak tidak bersalah. Dia tahu bahwa dialah
yang memang sedang lengah. Tapi dia tidak mau orang-orang menganggapnya
bersalah.
Ya saya kan
juga pernah berada di posisi dia... punya anak yang sedang aktif-aktifnya, yang
kalau kita lengah sedikit saja dan terjadi sesuatu terhadap anak maka seakan
seluruh dunia akan men-judge kita sebagai ibu yang tidak becus menjaga anak.
Mereka
seolah menutup mata bahwa hampir seluruh waktu kita terkuras untuk mengawasi
anak, dan saat kita lengah sedikit saja dan ‘ndilalahnya’ anak terjatuh atau
terantuk sesuatu, mereka akan langsung bilang, “haduuhh... ini ibunya ngapain
aja sih... punya anak kok nggak diawasi,”
See...?
Saya rasa
si ibu muda di warung saya itu HANYA takut di judge. Mengingat situasi dan
kondisi saat itu cukup ramai dan banyak orang. Dia takut dianggap lengah,
makanya dia sengaja menimpakan kesalahan kepada anak pertamanya yang dia tahu
pasti tidak akan melawan atau membantahnya.
Saya
kasihan kepada si kakak. Dan saya juga kasihan terhadap si ibu.
Dari sini
saja sudah terlihat kan, bahwa saat seorang ibu seringkali di-judge oleh
sekitar karena sedikit kesalahan saat mengasuh anak, maka itu tidak saja
berimbas terhadap dirinya sendiri, tapi juga kepada keluarga. Di kasus yang
saya ceritakan di atas, kepada anak pertamanya.
Yuk ah,
berhenti mengatakan seorang ibu tidak becus hanya karena ada beberapa bekas
luka di tubuh anaknya, atau hanya karena anaknya terserang bapil setelah minum
es sehari sebelumnya.
Supaya saat dia lengah di
tengah keramaian seperti ibu muda yang saya ceritakan di atas, dia tidak akan
pernah berpikir untuk menimpakan kesalahan kepada orang lain. Supaya dia
mengakui kelalaiannya dengan legowo.
Tanpa takut di-judge oleh orang lain.
Parent Shaming begitu ya jadinya. ketika ngelihat orang itu sperti melihat kaca.
BalasHapusRasanya hampir semua ortu muda pernah melakukan kelengahan dalam menjaga anak. Termasuk ortu2 jaman dulu.
Hapus