Terbiasa
melihat Ibu memakai high heels saat ke kantor membuat saya cukup akrab dengan
alas kaki ini sedari kecil.
Dulu saya sering berpura-pura menjadi orang dewasa
dengan memakai high heels dan mencangklong tas milik Ibu :D dan sering merengek
minta dibelikan high heels juga (saya menyebutnya sepatu jinjit ketika itu)
yang mana saat itu masih jarang sekali yang berukuran kecil. Beda ya dengan
sekarang di mana banyak anak-anak kecil yang sudah bisa bergaya dengan high
heels.
Pada
akhirnya saya bisa memiliki high heels sendiri saat duduk di bangku SMA. Itu
juga hanya di saat-saat tertentu saja pakainya, tidak bisa setiap hari juga
kan.
High heels baru
benar-benar menjadi bagian dari hidup saya setelah kuliah. Karena saat itu rasanya
tiada hari tanpanya :D saya bahkan berlari-lari mengejar dan melompat ke dalam
bus dengan high heels, hahaha....
Sebenarnya
ketika itu sudah beberapa kali mendengar selentingan tentang efek buruk memakai
high heels, tapi saya tidak terlalu peduli. Belum pernah merasakan efeknya dan
merasa baik-baik saja. Apalagi ketika itu juga melihat ada kakak kelas yang
sedang hamil besar dan masih memakai high heels, saya yang: tuh, dia aja lagi
hamil besar gitu pakai high heels nggak apa-apa kok :D
Kegemaran
saya memakai high heels terus berlanjut setelah menikah, sampai kemudian hamil.
Nah saat hamil ini, tiba-tiba saya tidak berani lagi pakai high heels, takut
kenapa-kenapa. Mungkin efek dari perjuangan untuk hamil yang tidak mudah. Iya,
saya baru hamil setelah hampir 2 tahun menikah, tidak terlalu lama sih, tapi
Ibu sudah nanyain terus wkwkwk..... jadi begitu tahu kalau hamil, saya segera
menyimpan semua high heels dan menggantinya dengan flat shoes dan sandal-sandal
datar.
Kembali
pakai high heels setelah beberapa bulan melahirkan daann... untuk pertama
kalinya saya merasakan kram :D
Saat itu
saya pakai high heels sambil menggendong anak dan menuruni tangga. Tiba-tiba
betis saya kram, kaku dan sakit sekali. Kalau tidak sedang berada di tempat
umum, rasanya ingin menangis saja saat itu. untungnya berhasil menemukan tempat
duduk dan menunggu sampai kram itu berangsur-angsur menghilang.
Dan sejak
hari itu fix saya tidak pernah lagi ber-high heels. Kram itu sungguh berhasil
membuat saya trauma, hahaha.....
Dan kemudian
rumah saya kebanjiran (masih di Bekasi waktu itu), dan high heels-high heels
saya rusak terendam air. Dan saya tidak berminat lagi untuk membeli. Saat pergi
ke toko sepatu, pilihan saya langsung tertuju ke flat shoes, bukan lagi high
heels.
Masih punya
satu high heels sih, khusus untuk kondangan saja. Itupun dari rumah saya pakai
flat shoes. Pas mau turun dari mobil, baru ganti high heels. Selesai kondangan
dan masuk mobil, langsung ganti flat shoes lagi, entahlah sekarang rasanya
sudah tidak nyaman pakai high heels.
Nah
beberapa hari ini mulai kepikiran pingin nyoba pakai high heels lagi gara-gara
anak-anak saya bilang, “Mama cantik pakai begituan ((BEGITUAN)), pakai itu aja
Ma biar cantik...”
Eerrr...
pakai high heels lagi nggak yaaa....?
Saya tidak pede memakai sepatu hak tinggi. Lagian kalau pakai sepatu hak tinggi, langkah saya sangat terbatas. Saya tidak bisa playon, hehe (playon alias mlayu-mlayu)
BalasHapusSaya mah nyerah kalau pakai high heels. Apalagi yang haknya runcing :D
BalasHapusbagus artikelnya mba.
BalasHapusberita indonesia
Pada intinya mana yang terasa lebih nyaman gitu ya, Mbak, hehe...
BalasHapusTossss... Aku udh stop pake highheels pas nikah :p. Sebelumnya high heels udh kayak sepatu wajib di manapun. Mau betis sakit ga peduli, yg ptg penampilan cetar hahahahah. Setelah nikah nyerah. Flat selalu, ato kalo mau tinggi aku lbh milih wedges yg lbh manusiawi :p
BalasHapusWahh kalau aku sih udah nyerah banget pakai high heels..
BalasHapus