Aku sedikit
menggigil ketika hembusan angin yang tidak begitu kencang menyapa tubuhku yang
basah kuyup oleh siraman demi siraman air yang kabarnya diambil dari tujuh
sumber mata air, bertabur bunga mawar, melati dan kenanga.
Satu persatu kedua orang tua dan para pinisepuh dalam
keluarga besarku mengambil air dengan gayung yang terbuat dari batok kelapa dan
menyiramkannya ke tubuhku. Serpihan-serpihan bunga berjatuhan di pangkuanku, dan
setiap serpihan itu seperti sedang mewakili setiap rasa bahagia yang saat ini
sedang memenuhi seluruh ruang dalam hatiku. Suara pranatacara yang sedang
mengucapkan kalimat-kalimat indah dalam bahasa Jawa tentang keutamaan dan
kemuliaan seorang istri sholehah membuatku tidak sabar untuk segera
menyelesaikan prosesi ini dan menelfon Mas Rangga yang saat ini sedang dalam
perjalanan dari Jakarta beserta keluarga besarnya. Rencananya rombongan Mas
Rangga akan tiba sore ini di Jogja dan akan menginap di rumah salah seorang
kerabat mereka, dan nanti malam akan mengikuti prosesi midodareni di rumahku.
Rencana yang meleset sebenarnya. Karena rencana awalnya,
Mas Rangga beserta rombongannya seharusnya sudah tiba kemarin sore dan
menjalani prosesi siraman juga di rumah kerabatnya tersebut. Seharusnya
sekarang utusan dari keluargaku sedang mengantarkan sebagian air yang di
gunakan untuk menyiramku ke rumah kerabat Mas Rangga itu yang kemudian
digunakan untuk melakukan prosesi siraman Mas Rangga.
***
“Tidak apa-apa kan? Itu kan hanya prosesi adat. Yang
terpenting dalam pernikahan kita nanti adalah menjalankan akad nikah dengan
baik.” Ucap Mas Rangga melalui telepon ketika memberitahukan perubahan rencana
ini.
“Tapi bagaimana dengan persiapan siraman untukmu, Mas? Kudengar
Pakdhe Broto sudah mempersiapkan semuanya. Apakah baik kalau tiba-tiba kita
membatalkannya?”
“Jangan khawatir, kami sudah memberitahukan tentang
masalah ini kepada Pakdhe Broto dan beliau bisa memahami.”
Begitulah, kesibukan dan pekerjaan yang padat membuat atasan
Mas Rangga memberikan pilihan sulit pada saat-saat terakhir. Mas Rangga harus
menentukan apakah akan mengambil cuti lebih awal dan mengurangi masa bulan madu
kami atau tetap menjalani masa bulan madu sesuai rencana dengan konsekuensi
tidak bisa mengikuti prosesi siraman seperti yang sudah dijadwalkan.
***
Sambil menunggu untuk dirias, aku mengintip dari balik
gorden kamarku, menyaksikan ayah dan ibuku menjadi penjual dhawet dadakan.
Tersenyum-senyum sendiri melihat ayahku yang sedang memayungi ibu sambil
menerima pembayaran dari para tamu, yang berupa lempengan dari tanah liat
berukir namaku dan Mas Rangga, lalu menyerahkannya kepada ibu. Sementara ibu
dengan cekatan menuangkan dhawet ke dalam mangkuk-mangkuk kecil untuk kemudian
diberikan kepada para tamu.
“Apa kamu mengerti makna dari berjualan dhawet seperti
yang sedang dilakukan oleh ayah dan ibumu sekarang, Nduk?” Budhe Wito, perias
pengantin kepercayaan keluarga besarku tiba-tiba menanyakan sesuatu yang belum
pernah terlintas olehku.
Makna? Aku tidak mengerti apapun tentang makna dari
seluruh rangkaian prosesi yang telah kujalani sedari pagi tadi. Bagiku, semua
ini hanyalah rangkaian upacara yang memang sudah seharusnya ada dalam setiap
pernikahan adat jawa. Lahir dan besar di Jogja tidak lantas membuatku paham
dengan segala macam adat dan budayanya.
Diam-diam ada sedikit rasa malu menyelusup ke dalam
hatiku. Lalu yang sedang kulakukan dari tadi pagi itu apa? Tiba-tiba aku merasa
seperti sebuah boneka yang sedang diarak kesana kemari tanpa sedikitpun tahu
kenapa harus diarak kesana-kemari. Tiba-tiba aku seperti merasa melakukan semua
prosesi adat ini hanya dengan setengah hati. Bagaimana tidak setengah hati? Lha
wong tahu maknanya saja tidak…
Budhe Wito seperti dapat membaca pikiranku. Beliau
tersenyum maklum. Sambil membubuhkan pelembab ke wajahku, Budhe Wito mulai
menjelaskan.
“Prosesi dodol dhawet atau berjualan dhawet yang
dilakukan oleh orang tua calon pengantin itu bertujuan untuk memberikan contoh
kepada calon pengantin bahwasanya sepasang suami istri itu haruslah saling
bantu dan bahu membahu dalam mencari uang. Selain itu juga ditujukan supaya
pada saat resepsi nanti akan banyak tamu yang datang dan membawa berkah yang
melimpah.”
Aku ingin mengangguk tanda mengerti, tapi khawatir itu
akan membuat hasil riasanku tidak sempurna, akhirnya aku hanya
menggumam-nggumam tidak jelas.
“Dan kenapa harus dhawet? Kenapa bukan minuman atau
makanan lainnya?” Lanjut Budhe Wito. Dan seperti sudah yakin bahwa aku tidak
bakal menjawab pertanyaannya… entah apa yang dipikirkannya. Apakah beliau
berfikir aku tidak bisa menjawab karena wajahku sedang dirias, atau karena
memang benar-benar tidak mengetahui jawabannya… Budhe Wito menjawab sendiri
pertanyaannya
“Karena cendol-cendol yang berbentuk bulat-bulat itu akan
melambangkan kebulatan tekad kedua orang tuamu untuk menikahkan dan
menyerahkanmu kepada pria pilihanmu.”
“Ooh, begitu rupanya…” Aku mengambil kesempatan ketika Budhe
Wito sedang sibuk mencari-cari sesuatu di dalam kotak riasnya. “Lalu lempengan
tanah liat yang digunakan para tamu untuk membayar itu… pasti ada maknanya juga
kan?”
Budhe Wito mengangguk sambil tersenyum. Lalu kembali
menangani wajahku sehingga aku kembali harus diam.
“Lempengan tanah liat itu disebut kreweng. Kalau jaman dulu, orang menggunakan pecahan genting. Tidak
sebagus sekarang, dengan ukiran nama segala.” Budhe Wito menjelaskan dengan antusias.
“Dan kenapa menggunakan pecahan genting atau kreweng ini? Karena ini melambangkan bahwa manusia itu berasal dari
bumi.”
Aku kembali menggumam-nggumam, sekedar menunjukkan bahwa
aku mengerti.
Seseorang mengetuk pintu kamarku. Sebelum sempat kujawab,
kepala Mbak Tunik, asisten Budhe Wito, muncul dari balik pintu. Mbak Tunik masuk
ke kamarku seraya tersenyum lebar. Sebuah kebaya cantik berwarna ungu muda ikut
masuk bersamanya. Binar-binarku mungkin tertangkap oleh Budhe Wito, karena
beliau segera berkata, “Di malam midodareni kedua calon pengantin tidak boleh
bertemu, jangan berharap Mas Ranggamu itu akan melihat keayuanmu dalam kebaya
cantik itu.”
“Oh…” Gumamku kecewa.
Tiga bulan lalu, aku dan Mas Rangga keluar masuk toko
kain di seluruh penjuru Jogja demi mendapatkan kain kebaya yang benar-benar klik di hati. Sebelumnya kami sudah
mengkonsepkan gradasi ungu untuk acara pernikahan nanti. Jadi aku tidak terlalu
bingung memilih di antara puluhan warna-warni mempesona yang melambai-lambai di
depan mataku. Meskipun tidak bisa kupungkiri, aku tetap saja pusing menentukan
ungu mana yang benar-benar kusuka. Tak kusangka ungu bisa memiliki begitu
banyak gradasi warna.
Menjelang penghujung hari aku baru mendapatkan semua yang
kusukai. Kain brokat berwarna putih yang cantik rencananya akan kugunakan untuk
acara akad nikah, sedangkan untuk malam midodareni pilihanku jatuh pada sebuah
ungu muda yang terlihat sangat cantik di mataku. Mas Rangga juga ternyata
sangat menyukai brokat ungu yang kupilih itu. Katanya dia sudah tak sabar
melihatku dalam balutan kebaya ungu yang untuk menemukannya saja kami
membutuhkan waktu dari pagi hingga petang hari. Untuk resepsinya, kami sudah
tidak perlu pusing-pusing lagi karena Budhe Wito yang akan menyiapkannya.
‘Mas, sudah sampai
mana?’ Kuambil kesempatan ketika Budhe Wito sedang
sibuk memilih-milih warna untuk memulas mataku, untuk mengirim pesan singkat
kepada Mas Rangga.
‘Sebentar lagi sudah
akan masuk Jogja. Tidak sabar rasanya melihatmu memakai kebaya ungu itu.’ Mas Rangga membalas
pesanku beberapa detik kemudian.
‘Tidak bisa, Mas. Di
malam midodareni kedua calon mempelai tidak bisa bertemu’ Aku melirik Budhe Wito yang sedang mengatakan
sesuatu kepada Mbak Tunik. Lalu cepat-cepat menekan tombol kirim. Tidak mau
kehilangan waktu sedetikpun untuk berbalas pesan dengan Mas Rangga.
‘Oh iya. Benar juga.
Rasanya sudah ribuan kali aku mendengar Mamaku mengatakan itu. Sepertinya Mama
begitu khawatir aku akan menyelinap masuk ke kamarmu saat acara midodareni
nanti malam.’
Aku tidak bisa menahan senyum membaca pesan Mas Rangga. ‘Jadi Mas tidak bisa melihatku memakai
kebaya itu.’ Kutekan tombol kirim
tepat ketika Budhe Wito menyuruhku untuk memejamkan mata karena beliau akan
mulai merias mataku.
Ponselku kembali berdering lembut ketika Mas Rangga membalas
pesan. Tapi aku tidak bisa membacanya karena mataku sedang dirias.
Dan selanjutnya aku tidak ingat untuk membuka ponselku
lagi, karena sibuk mengagumi diri sendiri ketika kebaya ungu itu benar-benar
melekat di tubuhku. Aku belum pernah merasa begini luar biasa. Dan kebaya ini
pun begitu luar biasa. Aku tahu kain ini cantik. Tapi tak kusangka akan jadi
secantik ini setelah dijahit menjadi kebaya. Aku memang belum sempat melakukan fitting setelah kebaya ini dijahit.
Beruntung sekali karena ternyata begitu pas di tubuhku. Dan oh..oh.. lihat
wajahku… tidak salah kalau Budhe Wito menjadi perias pengantin kepercayaan
keluarga besarku. Dari cerita yang kudengar, dulu ketika Ibu menikah dengan
Ayah, yang menjadi perias pengantinnya adalah ibu dari Budhe Wito, dan ketika
itu Budhe Wito masih menjadi seorang asisten. Tidak lama kemudian Budhe Wito
mulai memberanikan diri untuk terjun sepenuhnya di dunia rias pengantin dan
keahliannya sudah tidak perlu diragukan lagi. Ketika ibu dari Budhe Wito sudah
mulai sepuh dan memutuskan untuk
pensiun, Budhe Wito pun mulai dipercaya oleh keluarga besarku untuk merias dua
orang tanteku ketika mereka menikah, setelah itu tiga orang kakak sepupuku, dan
sekarang giliranku.
Hasil tangan dingin Budhe Wito benar-benar membuatku
terkagum-kagum. Aku sedang bertanya-tanya bagaimana caranya Budhe Wito menyulap
hidungku yang tidak terlalu mancung menjadi tampak begitu sempurna ketika Mbak
Wahyu, salah satu kakak sepupuku melongokkan kepalanya dari balik pintu
kamarku.
“Rani, keluar sebentar yuk… ayah dan ibumu menunggu di
luar. Ada sesuatu yang ingin mereka bicarakan.” Aku heran melihat raut wajah
Mbak Wahyu yang terlihat murung. Kenapa? Apa sedang bertengkar dengan suaminya?
Aku putuskan untuk bertanya nanti saja, sekarang aku akan menemui Ayah dan Ibu
dulu.
***
Mas Rangga tiba dalam sebentuk berita yang
sungguh-sungguh tidak ingin kudengar. Berita tentang kecelakaan fatal beberapa
saat sebelum memasuki Jogja yang dialami oleh salah satu mobil yang membawa
rombongan keluarga besarnya, yang menewaskan seluruh penumpang yang berada di
dalam mobil tersebut. Dan Mas Rangga termasuk di dalamnya.
Riasanku yang sempurna mulai luntur oleh air mata yang
terus mengalir. Terus saja mengalir hingga kebaya unguku basah karenanya.
Kebaya ungu yang sangat ingin dilihat oleh Mas Rangga.
Seketika aku teringat pada pesan-pesan singkat kami
sesaat sebelum kecelakaan itu merenggut nyawanya. Dalam pesan terakhirku
kukatakan bahwa dia tidak akan bisa melihatku memakai kebaya ini. Dan… dia
membalas apa? aku belum sempat membaca pesan terakhirnya. Terburu-buru aku
meraih ponselku. Tampak gambar sebuah amplop mungil di ujung layar. Pesan
terakhir Mas Rangga. Sambil tergugu kutekan tombol ‘baca pesan’.
‘Ya sudah, tidak
apa-apa aku tidak bisa melihatmu malam ini. Bukankah mulai besok semua akan
terbayar? Setelah kamu menjadi istriku, aku dapat terus melihatmu setiap hari.
Selamanya sampai ajal memisahkan kita.’
Dan seluruh duniaku tiba-tiba menjadi gelap, semakin
gelap, dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
Duh..aku lega pas baca Label: fiksi ....sedih banget ceritanya...jadi teringat kisah teman yang meninggal seminggu sebelum hari pernikahan..
BalasHapusYa ampun.. kasihan.. tapi mungkin Tuhan sudah punya rencana lain yg lebih indah untuk temannya mba Dewi ya...
BalasHapusTau nggak mbak meninggalnya itu..temanku itu jalan ama mantannya seminggu sebelum dia menikah. Trus mereka tabrakan, dibawa ambulance ke rs, eh ambulancenya kecelakaan, meninggal ditempat..Tunangannya hancur hati banget..double sedihnya. Kayak drama ya.
Hapusberarti kalau ambulancenya gak tabrakan sebenarnya temennya masih hidup ya mbak? kalau kata orang jawa sih, calon pengantin itu harusnya dipingit, gak boleh ke mana2... gak tahu ya, mungkin menghindari hal2 semacam itu, ,dulu saya sehari sebelum nikah masih klayapan ke rumah sahabat2... eh diomelin sama para famili yg lagi ngumpul di rumah. padahal sih ortu saya gak masalah hehe... yah percaya gak percaya sih, namanya juga adat istiadat ya.. kalau saya sih mikirnya, apapun yg terjadi, Tuhan pasti punya rencana di baliknya.
HapusYa ampun.. kasihan.. tapi mungkin Tuhan sudah punya rencana lain yg lebih indah untuk temannya mba Dewi ya...
BalasHapusJadi ingat teman saya (laki-laki), ngurus surat nikah di KUA bersama calonnya. Setelah itu pulang ke rumah masing-masing. Dalam perjalanan pulang, calon istrinya mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Ternyata, jodoh itu memang rahasia Ilahi.
BalasHapus