Kamis, 12 September 2019

Panggilan Dari Masa Lalu (8)


Gambar dari Pixabay

Part sebelumnya di sini
Rani merasa tidak asing dengan wajah menyeramkan itu... dia pernah melihatnya sebelumnya......
Rani terbangun. Rara sudah tidak ada di sampingnya. Cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela yang sudah dibuka. Dia kesiangan rupanya.

Dan kemudian teringat bahwa pekerjaannya sudah harus selesai pagi ini, karena nanti siang Pakde Manto akan datang ke sekolah untuk memeriksa.
Tapi Rani enggan bangun. Dia enggan datang ke sekolah.
Wajah Bagas yang berubah menyeramkan dalam mimpinya itu... masih melekat kuat dalam ingatannya. Dan menyadari bahwa wajah itu adalah wajah yang kemarin dilihatnya di jendela ruang guru, membuat Rani ingin kembali menarik selimutnya dan berada di rumah saja seharian.
Dia benar-benar tidak mengerti apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
Ternyata Bagas tidak hanya menemuinya di dalam mimpi. Ternyata anak laki-laki yang dia lihat di jendela ruang guru kemarin itu adalah Bagas.
Dan tiba-tiba dia teringat dengan wajah Della dan Indah yang juga berubah pucat dan menyeramkan di foto itu... foto yang dia temukan di laci lemari di hari pertama kedatangannya ke sini.
Rani benar-benar tidak mengerti. Apakah itu semua nyata, atau hanya halusinasinya saja. Apakah mimpi-mimpinya selama ini hanya bunga tidur semata, atau ada pesan tersirat di dalamnya.
“Mbak Rani sudah bangun? Sarapan dulu yuk, Ibu sudah masak nasi goreng. Rara bawa sebagian ke sini supaya kita bisa sarapan bersama.”   Rara sudah memakai seragam sekolahnya. Rani melirik jam beker yang terletak di atas meja tulisnya. Belum begitu terlambat rupanya. Masih ada waktu untuknya sarapan dan bersiap-siap tanpa harus terlambat tiba di sekolah.
***
“Bu, bisa tolong handle kelasku dulu nggak? Pekerjaanku belum selesai nih. Nanti siang mau dipriksa Pakde Manto...”  Rani merasa tidak enak sebetulnya. Tapi bagaimana lagi... belakangan ini hari-harinya terasa kacau oleh sesuatu yang bahkan tidak diketahuinya.
“Beres.... biar nanti anak-anak aku kumpulkan di aula saja...”  Jawab Bu Ambar dengan penuh pengertian. Mengingat apa yang telah Rani alami kemarin, dia sudah bisa menduga bahwa Rani tidak baik-baik saja.
Suasana segera menjadi sepi setelah Bu Ambar membawa anak-anak masuk ke ruangan yang lebih besar, yang mereka fungsikan sebagai aula.
Rani akan masuk ke ruang guru untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda, ketika wajah Bagas yang menyeramkan, menyeringai sambil melambai-lambaikan tangan ke arahnya, kembali terlintas dalam benaknya. Dia mengurungkan niatnya untuk masuk ke ruang guru, dan memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya di ruang kelas saja.
“Kamu sudah berjanji untuk tetap menjadi bagian dari kami, Rani...”
Rani tersentak. Suara itu terasa sangat dekat di telinganya, sementara di dalam kelas ini hanya ada dirinya seorang saja.
Suara itu kembali mengingatkan akan mimpinya semalam. Suara Bagas. Suara yang masih anak-anak.
Merasakan sesuatu yang tidak sewajarnya, Rani bergegas bangkit dari kursinya dan berjalan cepat-cepat menuju pintu, namun....
“Braakk...”  Tiba-tiba pintu itu tertutup dengan sendirinya. Rani meraih handlenya dengan panik. Terkunci. Bagaimanapun Rani mengguncang-guncang handle itu, menarik dan mendorong... tetap saja pintu itu terkunci. Seperti ada yang sengaja menahannya supaya tidak terbuka.
Rani semakin panik. Keringat dingin mengucur deras membasahi tubuh dan bajunya. Jantungnya bagai sedang berlomba, berloncat-loncatan di dalam dadanya. Dan ketika dia menengok ke belakang, sosok itu sudah berdiri di sana. Sosok yang semalam berada di dalam mimpinya.
Ya, Bagas. Dengan mata teduh dan senyum menenangkan itu.... tapi Rani sama sekali tidak merasa tenang. Dia mulai menangis. Berteriak-teriak minta tolong sambil menggedor-gedor pintu, berharap Bu Ambar atau Mbak Narti mendengar dan segera menolongnya.
“Kenapa kamu ingin pergi Rani? Kamu tidak menepati janji...!”  Suara Bagas membuatnya bergidik. Hatinya mulai dipenuhi tanya. Benarkah itu Bagas? Tapi apa yang sebenarnya terjadi...?
“Biarkan Rani pergi, Bagas... tolonglah... biarkan dia pergi...”
Tiba-tiba ada suara lain di ruang kelas itu, dan sekejap kemudian tiba-tiba muncul Della dan Indah yang sedang duduk berdampingan di meja paling depan.
Rani semakin syok. Dia sudah tidak tahu lagi harus merasa gembira atau tidak melihat dua sahabat yang sangat dirindukannya itu. Dua sahabat yang sosoknya masih sama dengan saat mereka berpisah, 10 tahun yang lalu.
Dan akalnya semakin hilang saja rasanya saat bangku-bangku di ruang kelas itu mulai terisi satu persatu. Sosok-sosok yang tiba-tiba bermunculan begitu saja.
Rani bisa mengenali seluruh teman-teman sekelasnya sebelum dia pindah ke Jakarta. Sebagian masih dia ingat namanya, dan sebagian sudah agak lupa. Meski begitu, wajah-wajah mereka cukup familiar. Wajah-wajah yang seharusnya sudah dewasa sekarang. Namun nyatanya sosok teman-temannya itu tidak berubah. Masih sama seperti saat 10 tahun yang lalu mereka berpisah. Seandainya semuanya normal, geli rasanya melihat mereka duduk dengan canggung di bangku-bangku mungil milik anak TK.
“Hai Rani... apa kabar...?
“Wah... kamu sudah besar ya, Rani...?
“Hai Rani, masih ingat aku tidak...?
“Wah kamu hebat Rani. Sekarang sudah jadi ibu guru...”
Sosok-sosok itu berceloteh dengan riang, memanggil dan menyebut namanya. Rani hanya bisa terisak. Bingung, takut, kalut.... dan entah perasaan apa lagi yang tak tergambarkan berkecamuk berdesakan dalam benaknya. Jangankan untuk berteriak, untuk berbicara pun suaranya bagai tercekik di tenggorokan. Seluruh tubuhnya terasa lunglai tak bertulang. Kakinya tak mampu lagi menahan berat tubuhnya sehingga dia jatuh merosot ke lantai.
“Saatnya sudah tiba, Rani. Bukankah kamu adalah bagian dari kita semua...?” Suara Bagas menghentikan celotehan teman-temannya. Rani menatap sosok Bagas dengan nanar.
“S...saat...? saat a... apa...?”  Tanyanya dengan suara tercekik.
“Saatnya untukmu kembali bergabung dengan kelas kita. Kami sudah menunggu cukup lama.”  Jawab Bagas. Dan wajah Bagas yang tampan pun perlahan berubah menyeramkan. Rani tercengang. Tangisnya semakin kencang saat dilihatnya wajah Bagas menjadi pucat seperti mayat. Dengan lingkaran ungu kehitaman di sekeliling matanya yang sedang menatap Rani dengan sorot tajam dan menakutkan. Wajah yang kemarin dilihatnya di jendela ruang guru.
“Saatnya untukmu kembali bergabung dengan kelas kita...”
“Kami sudah menunggu cukup lama, Rani...”
Teman-teman yang lain segera membeo ucapan Bagas. Dan wajah-wajah mereka juga berubah menjadi semenyeramkan Bagas.
Suara mereka semakin riuh meminta Rani untuk bergabung kembali, menenggelamkan jerit tangis yang berhasil keluar dari mulutnya dengan sisa-sisa tenaganya.
Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar