Translate

Minggu, 24 Januari 2016

Percaya Diri Dan Bahagia Dengan Talenta Yang berbeda



Raki Zuhair Arkananta. Mengantarkannya melihat dan merasakan dunia, hampir 11 tahun yang lalu membuat hidup saya menjadi jauh lebih berwarna.

Merasakan bagaimana pontang-pantingnya tubuh dan juga perasaan menjalankan peran baru sebagai seorang ibu, sekaligus merasakan secercah cahaya yang bersinar menyenangkan setiap waktu.
Dan ketika kemudian dalam perjalanannya mengarungi kehidupan ada berbagai hambatan, rintangan, dan begitu banyak perbedaan, maka saya harus berusaha ekstra keras supaya Raki tetap berjalan di jalur yang seharusnya.
“Nilai matematika Raki jeblok sekali, Bu”  Kata gurunya untuk yang kesekian kalinya. “Coba Raki diikutkan les matematika, untuk mengejar ketertinggalannya dengan teman-temannya.”
Dan saya pun kembali menjelaskan bahwa sudah tidak kurang-kurang saya membantu Raki untuk bisa mendongkrak nilai matematikanya termasuk dengan mengikutkannya les. Tapi toh hasilnya sama saja. Raki tetap saja mengeluh, “Matematika itu sulit sekali ya, Ma. Raki benci matematika...”
Dan ketika sudah terdengar kata benci dari mulutnya, mungkinkah hasilnya akan maksimal jika saya tetap memaksanya? Yang saya takutkan justru perasaan tertekan yang dia rasakan ketika dipaksa belajar matematika akan merembet dan ikut menghancurkan nilai-nilai mata pelajaran yang lain, juga ikut mengendorkan semangatnya untuk mengeksplorasi bidang yang menjadi minatnya.
Bicara soal minat, Raki sangat tertarik pada sejarah. Sejarah apapun. Tentang terbentuknya candi-candi, terbentuknya sebuah kota, sejarah dan kisah berdirinya suatu negara, termasuk sejarah kerja keras rakyat Indonesia ketika berjuang melepaskan diri dari belenggu penjajah. Raki juga seringkali mengatakan bahwa ketika dewasa nanti dia ingin berangkat ke Mesir untuk menyusuri lorong-lorong piramida dan melihat mumi-mumi yang ada di sana (untuk yang satu ini, saya sedikit sedih mendengarnya ingin pergi ke tempat yang begitu jauhnya...).
Raki juga tertarik dengan cerita-cerita horor. Banyak sekali draft cerita horor miliknya yang tersimpan di komputer. Belum sempurna memang, masih perlu banyak perbaikan. Tapi bagi saya sudah cukup menunjukkan apa yang menjadi minatnya.
 Selain matematika, guru Raki juga kerapkali mengeluhkan tentang kemampuan Raki dalam hal prakarya atau ketrampilan tangan.
“Aduh, Bu... mosok hasil prakarya anak kelas 5 kok sama dengan hasil prakarya anak TK...” Begitu Ibu Guru sering mengeluh ketika bertemu dengan saya. Yah, mau bagaimana lagi? Raki memang tidak berbakat dalam hal kerajinan tangan. Kerajinan apapun yang terlahir dari tangannya hampir selalu berbentuk ‘mengenaskan’ membuat orang bertanya-tanya, sebenarnya si Raki ini membuat apa sih? Hehehe......
Apakah Raki minder dengan kedua kekurangannya tersebut? Jawabannya adalah: Sangat.
Ketika di sekolah ada pelajaran prakarya yang harus dikerjakan secara berkelompok, teman-temannya enggan mengajaknya dalam satu kelompok karena hasil pekerjaan Raki pasti akan menjatuhkan nilai mereka. Pada akhirnya Ibu Gurulah yang harus memilihkan kelompok untuk Raki dan itupun diterima dengan begitu setengah hati oleh teman-temannya yang ‘ketiban pulung’ harus sekelompok dengan Raki. Dan seringnya juga mereka tidak mengijinkan Raki untuk mengerjakan prakarya tersebut, jadi ibaratnya Raki itu hanya ‘numpang nama’ saja di kelompok tersebut, tanpa turut andil di dalamnya.
Pulang sekolah dengan wajah bersungut-sungut, mata memerah menahan tangis, sampai air mata yang berlelehan di pipinya adalah hal yang begitu biasa di setiap jam pulang sekolahnya.
Tapi itu dulu. Karena sekarang, Raki menjalani hidup dengan semangat baru. Dimata guru dan teman-teman, Raki mungkin masih sosok yang sama. Sosok yang memiliki motorik lemah sehingga hasil prakaryanya hanya mampu menyamai hasil prakarya anak TK. Sosok yang begitu lamban memahami rumus-rumus matematika. Sosok yang dianggap bodoh karena untuk mengerjakan soal matematika yang mudahpun masih saja sering salah. Tapi paling tidak, Raki sekarang adalah sosok dengan pribadi yang berbeda. Pribadi yang lebih percaya diri dan bersemangat mengejar kebahagiaannya. Wajah muram atau linangan air mata yang dulu sering mewarnai kepulangannya dari sekolah kini sudah berganti menjadi senyum semangat dan ceria.
Apa yang saya lakukan?
Tidak banyak. Saya hanya sedikit bercerita tentang adik saya. Tantenya.
Saya ceritakan bahwa ketika seusianya, tantenya juga penggemar cerita-cerita horor. Karena ketika itu kami belum mempunyai komputer, adik saya menuliskan semua imajinasinya dalam sebuah buku. Bukan buku baru, melainkan buku-buku bekas yang masih ada lembar kosong yang tersisa yang dijadikan satu dan kemudian dijadikan buku kumpulan cerita horor ala adik saya.
Saya tekankan pada Raki bahwa sudah sepantasnya dia merasa bersyukur karena hidup di era sekarang di mana komputer dan internet sudah begitu mudah dijangkau. Berbeda sekali kan, dengan tantenya yang ketika itu harus menulis dengan tangan semua ide cerita yang melintas di otaknya. Dan hanya sebatas itu saja. Saat itu akses terhadap berbagai informasi masih sangat terbatas. Jadi talenta adik saya ya hanya mentok sampai di situ saja.
Berbeda dengan sekarang, di mana informasi apapun begitu mudah didapat. Saya katakan pada Raki, bahwa jika dia mau terus memoles tulisan-tulisannya sehingga layak dibaca oleh banyak orang, maka kami akan mencoba mengirimkannya ke penerbit. Dan tulisan-tulisan pendeknya akan kami kirimkan ke beberapa media.
Untuk menambah semangatnya dalam mengasah kemampuan menulisnya, saya buatkan sebuah blog khusus untuknya. Saya pikir dia hanya akan mengisinya dengan cerita-cerita horornya, tapi belakangan dia juga mulai membuat tulisan nonfiksi tentang kisah kematian para pahlawan revolusi (mungkin ini karena kami mengajaknya jalan-jalan ke Monumen Pancasila Sakti ketika liburan kemarin...)
Oh ya, untuk membuat semangatnya semakin berkobar, saya menunjukkan buku kumpulan cerita horor buatan tantenya ketika masih kecil dulu. Dan benar saja, Raki sangat menyukainya. “Wah cerita Tante keren-keren ya Ma...” itu yang berulang kali diucapkannya ketika membaca kumpulan cerita horor tulisan tangan di buku tulis bekas milik tantenya (bersyukur sekali dulu saya memutuskan untuk menyimpannya...).
Dan nilai-nilai matematika serta prakaryanya, bagaimana? Tentu saya tetap meminta Raki untuk terus berusaha secara maksimal. Dan seandainya dia mendapatkan nilai buruk, paling tidak itu adalah yang terbaik yang bisa diusahakannya. Karena Tuhan menciptakan manusia memang dengan talenta yang berbeda-beda. Jika Raki mengalami kesulitan dalam memahami rumus-rumus matematika serta tangannya kaku ketika mengerjakan prakarya, mungkin Tuhan memang sudah menyiapkan talentanya di bidang yang lain. Di bidang menulis barangkali? Siapa tahu...?
Tetap semangat ya, Kak. Teruslah berkarya dalam perbedaan.
http://emak2blogger.com/2016/01/20/lomba-blog-4tahunkeb-dan-xl-berhadiah-lebih-dari-rp-10-juta/

7 komentar:

  1. betul mba, tiap anak itu cerdas ya hanya harus caritau dia lebih pinter di bidang apa

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, kadang suka sedih kalau kecerdasan anak hanya dilihat dr nilai2 pelajaran sekolah saja. :)
      makasih ya sdh mampir :)

      Hapus
    2. 👍🏻👍🏻👍🏻

      Hapus
  2. Anak saya yang besar sebetulnya tidak bodoh, hanya malas membaca. Sampai kelas X sma, masih saja minta dibacakan kalau pelajaran yg sifatnya hafalan. tapi saya tidak penuntut target ranking. tapi keterampilannya bagus, waktu masih sd dhenok membuat wadah hp dari kain flanel dan dijual, laku lagi. jualan makanan ringan di kelas juga nggak malu. memang tidak pintar2 amat karena malas membaca. tapi saya bangga, dia punya kelebihan memotret dan menulis di blog. rasanya itulah anakku, bukan orang yang asing bagi saya. tetap semangat mbak rita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. tidak ada anak yang bodoh mbak. semua anak itu pintar hanya saja kepintarannya berbeda2. kadang karena kepintarannya tidak ada dalam kurikulum sekolah maka lalu dianggap bodoh, hehe.... makasih ya sudah mampir..

      Hapus
  3. Sekolah kadang jadi tempat yang nggak ramah buat anak dengan kemampuan berbeda. Ternyata kesadaran akan multiple intelegent masih blm ada ya.
    Beruntung, Raki punya Bunda yang memahami kondisinya sehingga bisa berkembang minat dan bakat yang paling unggul.

    BalasHapus