Selasa, 07 Juli 2020

Sedikit Cerita Kepergian Ibu


Gambar dari Pixabay

Rabu, 1 Juli 2020, adalah hari yang tak akan pernah terlupakan untuk kami.
Karena di hari itu, kami harus kehilangan salah satu anggota keluarga.   

Ibu saya berpulang tepat di hari ulang tahunnya yang ke 69, setelah merasakan sakit sekitar 3 bulan lamanya.

Di samping kesedihan yang terasa, ada sedikit kelegaan, karena Ibu tak perlu lagi merasakan sesak napas berkepanjangan yang selama lebih kurang 3 bulanan ini terus menderanya. 

Menurut dokter, sel kanker yang pernah menyerang payudara kanannya di tahun 2018 lalu, kembali aktif dan telah menyebar hingga ke paru-paru. Menyebabkan paru-parunya selalu terendam air dan harus berkali-kali disedot dengan cara menyuntikkan sebuah jarum ke punggungnya yang kemudian disambung dengan sebuah selang untuk mengeluarkan cairannya (duh apa ya istilah medisnya, saya lupa..).

Dokter sudah menjelaskan bahwa penyakit Ibu memang sudah tidak dapat disembuhkan. Kemoterapi terakhir yang dijalani Ibu kemarin, fungsinya hanya untuk menghambat, bukan menyembuhkan.

Mungkin itu sebabnya, kami sekeluarga jadi merasa lebih tegar dan ikhlas saat Ibu akhirnya berpulang. Paling tidak, Ibu sudah tidak merasakan penderitaan lagi karena penyakitnya.

Sejak bulan Mei kemarin, sudah tak terhitung lagi kami bolak balik mengantar Ibu ke rumah sakit. 
Magelang, Jogja, bahkan pengobatan alternatif juga di Purworejo. 

Terakhir, Ibu kembali dirawat di rumah sakit di Magelang, menjalani rapid test dan hasilnya reaktif.
Tadinya saya pikir, karena Ibu tinggal di kamar VIP, maka isolasi bisa dilakukan di kamar perawatan sambil menunggu hasil tes Swab yang baru akan dilakukan keesokan harinya.
Namun ternyata, prosedur yang berlaku  mengharuskan Ibu dipindahkan ke kamar isolasi walaupun belum tentu positif covid.

Jika di kamar perawatan biasa kita bisa leluasa memanggil perawat saat butuh bantuan, maka di ruang isolasi tidak semudah itu. Dikarenakan perawat harus mengenakan APD lengkap sebelum masuk ke kamar pasien, sehingga mereka lebih sering memberikan instruksi-instruksi melalui tombol bicara atau melalui WA.

Karena kondisi Ibu yang memang sudah parah, peraturan tersebut cukup membuat saya down. Contohnya saat Ibu merasa sesak napasnya semakin parah, butuh waktu cukup lama untuk para perawat masuk ke kamar dan memberikan bantuan.
Saya pun, sebagai keluarga yang menunggui, jadi ikut diisolasi dan tidak diperkenankan untuk keluar dari ruang isolasi. Untuk makan saya pun, pihak rumah sakit juga yang menyediakan.

Dokter mengatakan, jika hasil tes Swab 1 dan 2 dinyatakan negatif, maka Ibu bisa kembali ke kamar perawatan yang sebelumnya.

Itulah sebabnya, hari itu, Rabu pagi tanggal 1 Juli, kami berdua sangat lega mendengar kabar bahwa hasil tes Swab 2 dinyatakan negatif, setelah sebelumnya, hasil tes Swab 1 juga dinyatakan negatif. Ibu juga tampak senang saat Rafka menelpon dan mengucapkan selamat ulang tahun yang ke 69.

Siang hari, kondisinya tiba-tiba melemah setelah menjalani pemeriksaan CT Scan. Sempat tidak sadar, sadar, kemudian tidak sadar lagi. 
Segera Ibu dipindahkan ke ruang ICU dan saya tidak diperkenankan untuk menunggui. 
Ibu sempat sadar dan mengangguk-angguk saat saya pamit padanya untuk menunggu di luar.
Sempat menandatangani surat persetujuan pemasangan ventilator, sebelum beberapa saat kemudian, dokter mengabarkan bahwa Ibu kritis, hingga kemudian menghembuskan napas terakhirnya.

๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️

Hal yang kemudian sungguh di luar dugaan, bahwa ternyata prosedur dari rumah sakit adalah, jika ada pasien meninggal yang berasal dari kamar isolasi, maka akan diperlakukan sebagai jenazah covid. 

Menyedihkan kan? Mengingat Ibu jelas-jelas bukan pasien covid. Tadinya Bapak sudah hampir pasrah karena jika memang sudah prosedur yang berlaku, maka kita tidak bisa membantah lagi kan?

Namun saat teringat adik saya yang sedang dalam perjalanan dari Banjarnegara untuk melihat Ibu untuk yang terakhir kalinya, saya dan Bapak kembali memohon, membujuk, merayu, atau apapun istilahnya supaya kami bisa mendapatkan pengecualian, keistimewaan, atau apapun namanya.. untuk dapat membawa jenazah Ibu pulang dan memakamkannya secara normal.

Setelah melewati perbincangan yang cukup panjang dan alot, berbekal hasil tes Swab 1 dan 2, akhirnya pihak rumah sakit mengabulkan permohonan kami dengan catatan: kami harus mencari ambulans sendiri, karena fasilitas ambulans dari rumah sakit hanya untuk mereka yang mau mengikuti prosedur rumah sakit yang berlaku.

๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️

Pada akhirnya, kami sudah sangat lega bisa memakamkan jenazah Ibu sesuai dengan yang kami inginkan. Adik saya juga sempat melihat jenazah Ibu bahkan ikut memandikannya.

Sekarang Ibu sudah tak perlu lagi merasakan sesak napas berkepanjangan yang begitu menyiksanya. Dia pergi dengan membawa banyak cinta dan doa dari kami semua.
Semoga husnul khatimah.

๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️๐ŸŒบ☘️

5 komentar:

  1. Innalillahi
    Wa inna ilaihi rojiun. Nderek
    Bela sungkawa. Semoga alm ibu husnul khotimah.

    BalasHapus
  2. Maturnuwun mbak Ima.
    Aamiin aamiin YRA

    BalasHapus
  3. Innalillahi wainnailaihirojiuun. Turut berduka cita sedalam-dalamnya ya mbak. Semoga almh diampuni segala dosa dan diterima segala amalnya. Terenyuh sekali membaca artikel ini. Semoga mbak sekeluarga dikuatkan dan diberi ketabahan oleh Allah SWT

    BalasHapus
  4. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Turut belasungkawa, Mbak.
    Aku pun baru kehilangan Ibuku bulan Maret tahun ini. Sama. Ibuku juga bertarung melawan kanker payudara.

    BalasHapus
  5. Turut berdukacita, mbak (TT)
    Terima kasih sudah berbagi. Setiap kisah yang dibagikan kita tidak pernah tau suatu hari mungkin akan sangat berguna bagi pembaca.

    BalasHapus