Senin, 02 Desember 2019

Rahasia Anindita (1)


Sabrina
“Hati-hati ya Mas... itu barang pecah belah...”
“Yang itu tolong langsung diletakkan di lantai atas saja ya...”
“Boby... Sabs... jangan diam saja! Ini, bawa sendiri koper-koper kalian ke dalam....”
Mama tampak sibuk memberikan berbagai instruksi kepada sopir dan dua orang kernet truk yang kami sewa untuk membawa barang-barang kami dari Jakarta. Papa juga sibuk membantu mengatur-ngatur dan membawa beberapa barang ke lantai atas.
Kupandangi Boby, saudara kembarku, yang sudah tampak suntuk dan tidak bersemangat sejak beberapa bulan yang lalu. Sejak Papa dan Mama mengumumkan tentang kepindahan ini, karena Papa ditugaskan untuk mengurusi anak cabang perusahaan yang baru saja berdiri di kota kecil ini.
Kuambil ransel besar dan koperku. Koper baru. Berwarna pink, warna kesukaanku. Mama membelikannya sebulan yang lalu, khusus untuk kepindahan ini. Boby juga dibelikan satu, yang berwarna biru.
Sekarang kulihat koper biru itu terseret-seret tanpa semangat. Merana. Semerana hati pemiliknya.
Kasihan Boby. Dia yang paling syok dengan kepindahan ini. Bagaimana tidak, bintangnya sedang bersinar terang sebagai pemain basket terbaik di tim sekolah kami ketika tiba-tiba harus berhenti.
Sebenarnya aku dan Boby sudah mengajukan usul supaya kami berdua tidak perlu ikut pindah. Supaya kami menyelesaikan sekolah dulu di Jakarta. Tapi Papa tidak setuju, karena menurutnya, selama situasi dan kondisi memungkinkan untuk berkumpul, maka sebuah keluarga itu selayaknya berkumpul.
Jadilah kami  berada di sini saat ini. Di sebuah rumah di tengah kompleks perumahan yang cukup luas. Rumah yang nyaman, tidak terlalu besar, dan berlantai dua. Rumah yang disediakan oleh perusahaan Papa untuk kami tinggali selama berada di sini.
“Hey... ini lumayan kan? rumah ini bagus, dan kita tidak tinggal di tengah hutan seperti prasangkamu selama ini...”  Kucoba membesarkan hatinya. Boby hanya mengangkat bahu dengan wajah cemberut sambil menggotong kopernya ke lantai atas dengan setengah hati. Aku mengikutinya, sambil menggotong koper pink-ku.
“Kamar kalian di ujung sana ya... pilih sendiri tapi jangan berebut.”  Instruksi Papa sambil membantu menaikkan koperku dari anak tangga teratas.
Kuseret koperku sambil memandang sekeliling. Rumah ini tidak besar, tapi cukup nyaman. Khas rumah-rumah di daerah perumahan. Kamarku dan Boby terletak di bagian depan. Saling berhadapan, dan ada pintu menuju balkon di antaranya.
Kupersilahkan Boby memilih duluan, dan aku mengambil sisanya. Biarlah, karena di antara kami berdua, dialah yang saat ini lebih merasa tertekan. Kuharap setelah kami memulai sekolah, dia akan merasa lebih baik. Siapa tahu sekolah yang baru nanti punya tim basket juga. Semoga...
***
Boby terpekur menatap mangkuk bakso di hadapannya. Tingkahnya semakin lunglai saja. Dia baru saja mendapat jawaban bahwa untuk masuk ke tim basket sekolah ini, harus menunggu sampai tahun ajaran baru, yang itu berarti masih lama sekali. Boby kecewa, apalagi setelah didengarnya bahwa tim basket di sekolah ini merupakan salah satu tim terbaik di kota ini.
“Boby, cepat habiskan baksomu. Sebentar lagi bel masuk!”  Kutendang pelan kakinya dari bawah meja kantin. Lama-lama aku tidak sabar juga melihatnya hanya menekuri saja mangkuk bakso tanpa menyentuhnya. Orang yang melihat pasti mengira dia sedang menghitung jumlah mie yang ada di dalam mangkuknya.
“Boby, kudengar kamu ingin masuk ke tim basket ya? kamu suka basket?”  Nafisa, gadis manis teman sekelasku yang teramat manis, tiba-tiba sudah duduk di sampingku.
“Iya, Naf... tapi sudah tidak bisa. Makanya dia lunglai begitu...”  Aku menjawab untuk Boby, karena aku bahkan tak yakin kalau dia mendengar pertanyaan Nafisa barusan.
“Iya, sudah terlambat memang. Kamu harus menunggu sampai tahun ajaran mendatang.” Nafisa melontarkan tatapan prihatin ke arah Boby.
“Tapi kalau kamu memang suka basket, kamu bisa main ke rumahku. Di sebelah rumahku kan ada lapangan basket... kalian nggak tahu kan? kurasa kalian belum pernah berjalan-jalan sampai ke belakang kompleks...”
Nafisa tinggal di kompleks yang sama dengan kami. Namun karena kompleks perumahan itu lumayan luas, aku belum sempat menjelajahi keseluruhannya, termasuk daerah tempat Nafisa tinggal.
“Wah, yang benar Naf? Oke deh... nanti sore aku dan Boby akan main ke rumahmu. Aku juga sudah bosan menghadapi orang yang lemah lunglai seperti itu...”  Kutatap Boby. Berusaha menularkan semangatku. Membelah dua energi positifku untuk kubagikan dengannya, dan berharap dia mampu menangkapnya.
***
“Sabs, lewat sini saja yuk, kita belum pernah kan lewat sini?”  Boby membelokkan sepedanya menuju jalanan Blok E di kompleks kami. Aku mengarahkan sepedaku mengikutinya. Boby sudah kembali bersemangat sejak menemukan lapangan basket di samping rumah Nafisa. Meski awalnya dia memandang sebelah mata karena anak-anak yang bermain basket di sana hanya sekedar iseng-iseng saja, tapi entah bagaimana, mereka berhasil menarik Boby keluar dari kemurungannya. Boby yang awalnya memandang dengan sebelah mata, kini justru menjadi bagian dari mereka. Meski tak pernah mengikuti kejuaraan apapun, tapi mereka kompak, solid, dan bersemangat. Dan sore ini, aku ikut ke lapangan basket karena janjian dengan Nafisa untuk mengerjakan pekerjaan sekolah di rumahnya.
Jalanan sepanjang Blok E terasa lebih lengang. Mungkin karena hanya ada beberapa rumah saja yang sudah berdiri, itupun sepertinya tidak berpenghuni. Blok ini masih didominasi oleh tanah-tanah kosong dan rawa-rawa.
“Sabs, lihat rumah itu... pasti dulunya sangat mewah...”  Boby tiba-tiba berhenti sambil mengagumi sebuah rumah yang.... yah, seandainya rapi dan bersih pasti sangat mewah.
Tapi dengan dinding yang menghijau karena lumut, sampah yang berserakan di teras dan halamannya, serta atap teras yang sudah seperti mau rubuh, membuat tampilan rumah itu lebih cocok jika disebut menyeramkan.
Kukayuh kembali sepedaku karena merasa tak nyaman berlama-lama memandangi rumah itu, tapi Boby menahanku.
“Hei Sabs, tunggu dulu dong... aku penasaran ingin melihat bagian dalamnya... pasti bagus dan mewah...”
“Apa? Kamu gila ya? Aku nggak mau ah. Bagaimana kalau ada ular atau binatang berbahaya lain di dalam sana? Bagaimana kalau ada orang gila atau orang jahat? Sudah ah, kamu kan sudah ditungguin anak-anak di lapangan, Boby...” 
Boby tidak menghiraukan ucapanku. Dia seperti terhipnotis oleh rumah itu.
“Ayolah Sabs, sebentar saja. Kita hanya akan melihat sedikit ke dalam, kemudian segera pergi.”
Aku membuka mulut untuk protes, tapi tidak jadi. Percuma, Boby sudah turun dari sepeda dan mulai melangkah memasuki halaman rumah menyeramkan itu.
Bersambung

1 komentar:

  1. Pas abaca ini... => "“Tapi kalau kamu memang suka basket, kamu bisa main ke rumahku. Di sebelah rumahku kan ada lapangan basket..."

    Somehow kok aku merasanya ini modus hahaha

    BalasHapus