Selasa, 22 Oktober 2019

Sedikit Curhat tentang Bullying

gambar dari Pixabay


Sejak berita tentang artis Korea yang bunuh diri karena tak tahan dibully beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba saja beranda FB saya jadi penuh dengan status-status yang bertema dan bercerita tentang bully.

Setiap melihat postingan yang bertema bully, ingatan saya biasanya lalu melayang ke masa lalu. Ke masa-masa di mana saya masih terjebak dalam lingkaran bullying.
Yups, saya adalah salah satu korban bullying. Tidak lama memang, dan tidak terlalu parah, karena hanya dilakukan oleh anak-anak kelas 4 SD. Tapi karena saya, selaku korban, juga masih kelas 4 SD saat itu, jadi ya hari-hari yang saya lalui terasa lumayan berat.
Saya jadi sering merasa enggan pergi ke sekolah. Pura-pura pusing, tapi akhirnya ketahuan kalau bohong karena tubuh saya tidak menunjukkan tanda-tanda sedang sakit.
Setiap hari, saya selalu berusaha untuk tiba di sekolah sesaat sebelum bel masuk berbunyi. Dengan harapan teman-teman saya sudah tidak ada waktu lagi untuk membully.
Bagaimana jika ternyata saya datangnya agak kepagian?
Maka saya akan diam menunggu di dalam toilet sekolah sampai terdengar bel masuk berbunyi. Terbayang nggak, ngumpet  selama 15 – 20 menit di toilet sekolah yang pesingnya warbiyasah...
Kalau diingat-ingat lagi sekarang, rasanya tak percaya kalau dulu saya bisa sekuat itu, hahaha...
Singkat cerita, akhirnya saya tidak naik ke kelas 5.
Dan waktu itu, semua orang memandang saya dengan kasihan. Mungkin mereka pikir saya sedih, atau malu.
Sebenarnya yang saya rasakan waktu itu lebih ke perasaan takut saja sih. Takut dimarahi oleh Ibu dan Bapak.
Dan ketika akhirnya orang tua saya hanya berkata, “Ya sudah, tingkatkan lagi belajarnya ya...”  Ya sudah, perasaan saya langsung terasa ringan seperti kapas.
Orang mungkin melihat ketertinggalan saya di kelas 4 adalah suatu bentuk kegagalan. Padahal bagi saya, sebenarnya itu adalah titik balik kehidupan saya di sekolah. Teman-teman yang biasa membully sudah naik ke kelas 5, dan adik-adik dari kelas 3 menjadi teman-teman baru saya di kelas 4.
Mereka semua baik, menghargai, dan menganggap saya sebagai sahabat.
Di tahun kedua di kelas 4, saya berangkat sekolah dengan gembira. Tidak lagi berbohong pura-pura pusing atau ngumpet di toilet sampai bel masuk berbunyi.  Saya punya sahabat-sahabat yang baik dan kepercayaan diri yang tinggi. Semangat belajar saya meningkat, dan tentu saja itu juga berimbas pada prestasi yang semakin membaik.
Saya menjalani 2 tahun di kelas 4 dengan kondisi yang bertolak belakang di setiap tahunnya.
Ketertinggalan saya di kelas 4 adalah sebuah berkah. Karena saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika saya naik ke kelas 5 bersama teman-teman yang suka membully.

Sedihnya, saya harus kembali terjebak dalam lingkaran bullying saat anak pertama saya, Raki, juga sempat jadi korban bully.
Untungnya, Raki berani bercerita di rumah. Sehingga saya bisa melaporkan kasus pembulian itu ke pihak sekolah. Berbeda dengan saya dulu yang tidak berani bilang ke orang tua dan memilih untuk menanggung semuanya sendiri saja.
Setelah pembulian terhadap Raki berhenti meskipun tidak seratus persen, nilai-nilai dan prestasinya juga mulai merambat naik. Meskipun ada salah satu guru yang membuat saya cukup geregetan saat mengatakan: “Soalnya Raki itu anaknya pendiam. Jadi tidak terjalin ikatan sayang antara dia dan teman-temannya. Wajar kalau dibully. Itulah resiko jadi anak pendiam.”
Saat itu saya yang, ‘what? Jadi pembulian itu legal bagi anak-anak yang pendiam...???
Ah tapi sudahlah, semua sudah berlalu. Hanya satu guru yang seperti itu, sedangkan yang lainnya cukup berempati.

Dua pengalaman bullying yang pernah saya alami membuat saya tahu pasti, bahwa seringan apapun, bullying pasti berdampak pada kehidupan seseorang, apalagi anak kecil.
Masalahnya, bisakah kita memutus rantai bullying yang seakan tiada habisnya?
Maaf, tidak menyertakan solusi. Ini murni curhat, hehehe...

2 komentar:

  1. Selalu ada hikmah yang baik disetiap peristiwa ya. Alhamdulillah juga punya orangtua yang hebat. Tidak banyak orangtua yang seperti itu. Bullying sangat ngeri. Beruntung bisa lepas dari teman-teman yang "tidak sehat" seperti itu.

    BalasHapus
  2. saya juga pernah berada pada kondisi bullying sampai nangis minta pindah sekolah walau akhirnya juga di bully lagi waktu SMA, tapi kala serapuhnya saya, saya bisa dikuatkan karena ada bapak yang selalu mensuport wlaau kadang kalau ingat suka sedih lihat bapak datang jengguk ke asrama dalam keadaan hujan untuk menghibur saya supaya gk pindah sekolah lagi

    BalasHapus