Minggu, 21 Juli 2019

Panggilan Dari Masa Lalu (2)

Part sebelumnya di sini.


PANGGILAN DARI MASA LALU (2)

gambar dari Pixabay



Diambilnya pouch besar berisi pakaian dalam dan beberapa kaus kakinya. Itu adalah barang terakhir yang belum tertata di tempatnya. Rani membuka laci lemari, lalu terkesiap melihat sesuatu di dalamnya.

Ada foto dirinya bersama Indah dan Della. Sedang bergaya dengan tawa yang ceria. Rani tersenyum melihat wajahnya dan dua sahabatnya yang masih lugu dan imut. Bagaimana mungkin foto ini tertinggal di sini? seingat Rani, sebelum dia meninggalkan kamar ini 10 tahun yang lalu, dia sudah mengecek seluruh isi kamarnya, termasuk laci lemari ini,  yakin bahwa tidak ada barang yang tertinggal.
“Yah, mungkin aku kurang teliti.” Pikirnya sambil mengamati foto itu. sebentuk kerinduan mengalir dalam hatinya. Membayangkan seperti apa sosok Della dan Indah sekarang. Apakah mereka sudah bekerja juga? Atau masih kuliah? Rani sedang menimbang-nimbang untuk mengunjungi rumah mereka, ketika tiba-tiba terlihat ada yang aneh pada foto itu.
Dalam pandangannya, wajah Della dan Indah yang cantik dan imut perlahan berubah menyeramkan. Senyum yang ceria berubah menjadi seringai menakutkan. Mata mereka  menyorot tajam dan seperti ada sepercik cahaya di sana.
Dada Rani berdegup kencang. Terkejut dan bingung dengan apa yang di lihatnya, tangannya  reflek melepaskan foto itu, yang kemudian jatuh ke dekat kakinya. Rani menunduk, memandang kembali foto itu untuk memastikan, dan terlihat tiga wajah imut dan cantik yang sedang tersenyum ceria. Dia, Indah, dan Della.
Sambil tersenyum lega, Rani membungkuk mengambil fotonya.
“Aku terlalu capek rupanya, sampai otakku berhalusinasi yang tidak-tidak.” Pikirnya. Lekas-lekas membereskan pakaian dalam dan kaus kakinya ke dalam laci, kemudian menuju tempat tidur untuk beristirahat. Sambil tetap memegang foto itu, Rani mulai terlelap. Tubuhnya yang terasa kaku setelah seharian duduk di kereta dan taksi, perlahan mulai rileks dan tak lama kemudian suara dengkur halusnya mulai terdengar.
***
“Pergilah Rani... jangan kembali ke sini lagi....”
Itu suara Indah. Ya, suara itu masih sama seperti dulu. Tidak berubah.
“Indah...? itu kamu kan? kamu di mana? Aku kangen kalian... kamu di mana sih?”  Rani celingak-celinguk mencari sosok Indah, heran juga suara Indah tidak berubah. Masih seperti dulu... suara anak-anak.
Rani mengedarkan pandang ke sekeliling.
“Ini di mana ya?” Pikirnya bingung. Tidak ada apapun selain padang rumput yang teramat luas sejauh mata memandang, ada banyak pohon besar yang jaraknya saling berjauhan.
“Pergilah Rani... jangan berada di sini...!”
Kali ini suara Della. Rani tak habis pikir bagaimana mungkin suara Della dan Indah tak berubah sama sekali? Seakan-akan mereka tak pernah tumbuh dewasa.
“Indah... Della... kalian di mana sih? Ayo dong... jangan bercanda...”
Rani melongok ke balik pohon yang paling dekat dengannya. Kosong.
Lalu dia mulai berjalan dari pohon satu ke pohon yang lain. Tak ada Della maupun Indah. Rasanya Rani sudah berjalan terlampau jauh. Dia takut tersesat.
Tersesat...? ah, bukankah dia memang sudah tidak tahu ini di mana sejak awal tadi? Rani mulai panik. Dengan kalut dia menghampiri setiap pohon dan melongok ke baliknya, berharap menemukan Indah atau Della di sana.
Lalu suasana mulai menggelap. Langit biru di atasnya perlahan mulai berwarna oranye. Sudah mau malam?... tapi ini di mana? Bagaimana dia bisa pulang? Rani mulai terisak. Semakin kalut, ditengoknya setiap pohon yang seakan tidak ada habisnya itu sambil memanggil-manggil Della dan Indah.
Mungkin sudah ratusan pohon yang dia tengok, dan tidak ada Indah atau Della... atau siapapun... yang bisa ditanyai atau dimintai tolong.
Suasana semakin gelap, warna oranye di langit perlahan meredup. Rani menangis, bingung... tidak tahu harus bagaimana.
“Rani... pergilah...” Suara Indah. Rani menghentikan tangisnya. Mencari-cari sumber suara. Berteriak lagi memanggil Indah, tapi suaranya habis. Tenggorokannya sakit karena berteriak terus dari tadi, memanggil-manggil kedua sahabatnya itu.
“Jangan berada di sini Rani, cepat pergi...” Kali ini suara Della.
“Pergilah Rani....” Suara Indah lagi.
Langit semakin gelap, suasana semakin dingin, dan suara Indah dan Della semakin bersahut-sahutan menyuruhnya pergi. Hanya suara, tanpa wujud yang nyata.
Rani semakin panik, ketakutan... ditutupnya telinga dengan kedua tangan tapi tetap saja suara Indah dan Della yang bersahut-sahutan masih terdengar... semakin lama semakin menakutkan.
Tak tahu harus bagaimana, Rani menjerit sekencang-kencangnya... tak peduli tenggorokannya sakit dan suaranya habis, Rani terus menjerit...
***
Rani tergeragap bangun dengan nafas terengah-engah dan keringat yang membanjiri tubuhnya. Dengan lega, didapatinya dirinya masih berada di tempat tidurnya. Suasana sudah gelap. Kamarnya gelap, hanya ada sebias cahaya yang menerobos dari luar jendela.
“Aku tidur terlalu lama...” Pikirnya. Baru hendak beranjak dari tempat tidur ketika ada seseorang di depan pintu kamarnya yang terbuka.
“Indah...?”  Suaranya hanya mampu berbisik karena terkejutnya. Terkejut dan tidak percaya. Ya, bagaimana mungkin sosok Indah masih sama seperti dulu? Seperti 10 tahun yang lalu? kenapa dia tidak tumbuh dewasa?
Rani memandang sosok sahabatnya dengan perasaan ngeri, jantungnya berdegup kencang, seluruh tubuhnya gemetar. Benarkan itu Indah?
“Rani pergilah... jangan berada di sini...”  Sosok itu bersuara. Suara Indah. Suara saat dia masih 12 tahun...
“Te...tapi....tapi....” Rani hanya mampu tergagap-gagap. Tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi, dan jantungnya seperti sedang berlompatan di dalam dadanya.
Sosok itu meraih saklar lampu....  ‘cekrek...’ lampu menyala menerangi seluruh kamar.
“Mbak Rani...? Ya Allah... Mbak Rani kenapa? Kenapa keringetan sampai basah kuyup begini? Mbak Rani...? Mbak Rani dengar Rara tidak...?”
Rani mengerjap-ngerjapkan matanya. Tubuhnya dialiri kelegaan yang luar biasa melihat Rara di depannya. Kenapa dia tadi bisa menyangka itu adalah sosok Indah? Apa karena mimpinya tentang Indah dan Della yang baru saja dialaminya? Tapi suara tadi...? suara tadi bukan mimpi kan? itu benar-benar suara Indah, yang menyuruhnya pergi dari sini.
“Ah, aku pasti hanya terlalu terbawa mimpi...” Putusnya kemudian. Didapatinnya foto itu masih berada di tangannya, dan dia semakin yakin bahwa semua yang dialaminya tadi... mimpi dan halusinasi tadi, hanya karena dia terlalu merindukan sahabat-sahabatnya itu.
“Ibu sudah masak untuk makan malam, Mbak Rani mau makan di rumah Rara, atau mau di sini saja? Nanti Rara antarkan makanannya.” Suara Rara, sentuhan Rara di tangannya, membuatnya benar-benar yakin bahwa yang tadi itu semua hanyalah mimpi.
“Jangan... biar nanti Mbak ke rumah Rara saja. Mbak kan juga belum ketemu dengan ayah Rara. Sekarang Mbak mau mandi dulu ya... keringetan nih.... Rara mau pulang dulu, atau mau nungguin Mbak?”  Rani menjawab dengan perasaan yang teramat lega. Segera diambilnya handuk dan perlengkapan mandinya. Dilihatnya Rara mulai melangkah keluar kamar.
“Rara pulang dulu saja ya mbak, masih banyak PR soalnya. Rara mau kerjakan dulu sambil menunggu Mbak Rani selesai mandi...”
“Oh, oke kalau begitu... nanti Mbak bantu kalau Rara ada yang kesulitan mengerjakan PRnya ya...”
Rara tersenyum sambil mengangguk, lalu menghilang di balik pintu ruang tamu.
Rani cepat-cepat mandi. Tidak enak sudah ditunggu oleh keluarga Bulik Warni untuk makan malam. Di merutuki diri kenapa terlalu pulas tidurnya tadi. Seharusnya dia bangun sebelum gelap supaya masih sempat membantu Bulik Warni memasak makan malam.
Tidak sampai 15 menit kemudian, Rani sudah selesai mandi. Segera masuk kamar untuk bersiap-siap, dan sungguh terkejut mendapati foto itu berada di lantai, di depan tempat tidurnya. Rani ingat betul tadi meletakkan foto itu di atas tumpukan kaus kakinya di dalam laci lemari.
“Ah, mungkin aku lupa...” Menepis keraguannya sendiri, Rani berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Pun saat sekilas di lihatnya wajah Della dan Indah di foto itu tampak menyeramkan, seperti yang dilihatnya saat pertama kali menemukan foto itu, tadi siang. Rani sedikit bergidik saat menyimpan foto itu di dalam laci lemari, kemudian bergegas pergi ke rumah Bulik Warni.
***
Suara tangis itu melengking memekakkan telinga. Rani menghela napas, pasti Bian lagi. Sebulan berada PAUD ini cukup untuk Rani mengenal karakter 20 bocah-bocah mungil itu dengan cukup baik.
Dia bergegas keluar dan melihat Tiara, bocah cantik menggemaskan yang wajahnya sedang berlinang air mata, tengah dipeluk oleh Bu Ambar, rekannya sesama guru. Tak jauh dari mereka, Bian, bocah tampan yang usianya hanya terpaut beberapa hari dengan Tiara, berdiri dengan kepala tertunduk. Wajahnya tampak lesu. Pasti habis ditegur oleh Bu Ambar.
“Bian merebut boneka Barbie milik Tiara...” Bisik Bu Ambar saat berjalan melewati Rani sambil menggandeng Tiara dan Bian masuk ke dalam kelas. Rani hanya mengangguk sambil tersenyum geli, masuk kembali ke ruangan guru yang hanya ditempatinya berdua dengan Bu Ambar saja
Tahun ini Pakde Manto hanya mempekerjakan 3 orang saja di PAUD ini. Dia dan Bu Ambar, serta mbak Narti, yang bertugas bersih-bersih dan membantu berbagai keperluan Rani dan Bu Ambar di situ.
Terkadang, Rani merasa aneh saat berada di ruangan guru sendirian. Ruangan yang terlalu luas kalau hanya ditempati berdua saja.
Tahun depan, saat PAUD ini sudah menerima angkatan kedua dan Pakde Manto sudah menambah beberapa guru lagi, ruangan ini pasti akan jauh lebih menyenangkan. Tidak seperti sekarang, entah kenapa setiap kali duduk di mejanya, Rani merasa seperti ada yang mengawasinya dari meja-meja kosong yang belum ditempati itu.

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar