Translate

Selasa, 17 September 2019

Panggilan Dari Masa Lalu (9)


Gambar dari Pixabay

Part sebelumnya di sini
Suara mereka semakin riuh meminta Rani untuk bergabung kembali, menenggelamkan jerit tangis yang berhasil keluar dari mulutnya dengan sisa-sisa tenaganya.

 “Tidak bisakah kita melepaskannya...?”
“Tidak bisakah cukup kita saja? Tidak usah mengajaknya...”
Suara itu, suara Della dan Indah.
Rani baru teringat bahwa Della dan Indah juga ada. Mereka masih duduk di sana. Memandang Bagas dengan tatapan memohon. Meminta Bagas untuk melepaskannya.
Meski pandangannya kabur oleh air mata, Rani bisa melihat bahwa Bagas menatap Della dan Indah dengan penuh amarah.
Bagas menghampiri bangku tempat Della dan Indah duduk. Hendak mengatakan, atau melakukan sesuatu... ketika Rani merasakan daun pintu di belakangnya bergerak.
Rani berbalik. Dan melihat Mbak Narti sedang menatapnya bingung sambil membawa tongkat pel.
“Lho, Bu Rani? Kenapa? Bu Rani baik-baik saja? Kenapa duduk di lantai begini?”
Gelombang besar kelegaan menerjang menguasai seluruh sendi dalam tubuhnya. Seketika Bagas, Indah, Della dan seluruh teman sekelasnya lenyap begitu saja. Dipelukanya Mbak Narti sambil menangis menumpahkan segala rasa yang sejak tadi menghimpitnya, membuatnya sesak. Mbak Narti yang kebingungan hanya bisa mengelus-elus punggungnya, berusaha menenangkannya.
Dan Bu Ambar yang baru saja keluar dari ruang guru untuk mengambil sesuatu, segera melihat bahwa Rani sedang berada dalam situasi yang ‘tidak aman’.
Bu Ambar segera mengambil alih Rani. Mengajaknya duduk di ruang guru, dan meminta Mbak Narti untuk menjaga anak-anak yang sedang belajar mewarnai di aula.
Rani menceritakan semuanya kepada Bu Ambar. Semua. Tentang mimpi-mimpinya juga. Dia sudah yakin sekarang, bahwa semua yang dialaminya, bukan lagi sekedar bunga tidur atau halusinasi. Ini nyata. Bahwa dia sedang di teror oleh seseorang, atau sesuatu... Dan yang membuatnya begitu penasaran adalah, benarkah mereka tadi itu adalah teman-temannya? Dan kalau benar, apa yang sesungguhnya telah terjadi pada mereka?
***
Rani membelokkan motornya memasuki gang rumah Della. Atas saran Bu Ambar, kali ini dia benar-benar menyempatkan diri untuk mengunjungi sahabat masa kecilnya itu. Dengan begitu, mungkin Rani akan mendapatkan jawaban tentang apa yang sudah dialaminya akhir-akhir ini.
Gang ini masih terasa begitu akrab baginya. Seketika memorinya terputar ke masa lalu. 10 tahun yang lalu, ketika mereka bertiga berjalan menyusurinya, sambil berceloteh riang membicarakan apa saja. Sesekali bercanda dan tertawa-tawa.
“Ah... Della, Indah... apa yang sebenarnya telah terjadi pada kalian?” Bisik hati Rani dengan resah.
Sebelum ke sini, dia sudah mengunjungi rumah Indah terlebih dulu. Tapi rupanya rumah itu sudah berganti pemilik. Menurut si pemilik baru, keluarga Indah menjual rumah itu karena terlalu sedih setelah salah satu putri mereka meninggal. Tak sanggup melihat setiap kenangan yang tercipta di seluruh penjuru rumah, membuat mereka memutuskan untuk pindah meninggalkan rumah itu bersama segala kenangan yang ada di dalamnya.
Indah memiliki satu kakak perempuan dan satu adik perempuan. Jadi ada tiga anak perempuan di dalam keluarga Indah. Sayangnya, si pemilik baru tidak tahu  putri yang mana yang meninggal. Jadi Rani masih membawa beribu tanya saat berbelok arah menuju rumah Della.
Tidak banyak yang berubah. Kecuali warna catnya, rumah Della masih sama. Membawa arus gelombang melankolis yang tiba-tiba saja menyerbu rasa.
Pagarnya, halaman mungilnya, bahkan rumpun mawar di sudut sana.... semua masih sama. Untuk sesaat Rani hanya terdiam menikmati perasaan haru yang menguasai benaknya.
Di halaman mungil itu dulu mereka sering menghabiskan waktu bertiga. Bermain, bercerita, mengerjakan PR bersama, dan tertawa bercanda ria.
Entah bagaimana Rani seakan paham bahwa semua sudah tak lagi sama. Rentetan peristiwa yang telah dialaminya, dan kunjungannya ke rumah Indah, itu seperti menuntunnya menuju satu kesimpulan yang paling menyedihkan.
***
“Rani... bangun, sudah siang. Nanti terlambat ke sekolah.”  Suara Ibu yang lembut menenangkan malah membuatnya makin nyaman dan enggan membuka mata.
“Sebentar lagi Bu, Rani masih ngantuk,”  Jawabnya sambil menarik selimut hingga ke dagu. 
Dan kemudian dia membuka mata, dan tersadar bahwa dia hanya bermimpi. Bermimpi masih berada di kamarnya yang nyaman di Jakarta. Damai, tenang, aman. Ada Ayah yang selalu siap melindunginya, dan Ibu yang selalu memeluk dan menghapus segala resahnya.
Ah... Rani rindu rumah. Dia ingin pulang ke Jakarta.
Sinar mentari menerobos masuk melalui jendela. Dia baru sadar sedang berada di kamar Zahra, putri Bu Ambar.
Rani tak ingat lagi bagaimana dia bisa bertahan memacu motornya tadi malam. Melewati jalan raya, menuju rumah Bu Ambar, sampai tertidur di kamar Zahra.
Yang dia ingat hanyalah perjumpaannya dengan orang tua Della yang terasa begitu memilukan.
Saat dirinya dan ibunya Della hanya bisa saling memeluk sambil bertangis-tangisan, sementara ayah Della bercerita tentang kecelakaan maut... saat bus pariwisata yang membawa Della dan seluruh teman sekelasnya terguling jatuh ke dalam jurang, dalam perjalanan pulang kembali dari study wisata. Tak ada yang selamat, termasuk sopir dan beberapa orang guru yang berada di dalam bus naas itu.
Walaupun sudah mengambil kesimpulan sebelumnya, tetap saja Rani syok saat mendengarkan ayah Della bercerita. Dan yang lebih membuatnya terguncang adalah kenyataan bahwa teman-temannya ternyata juga menginginkan kematiannya. Mereka tak rela jika dia sendiri yang tetap hidup, sementara yang lain harus merelakan impian, masa depan, harapan, dan kehidupannya. Kandas begitu saja.
Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar