Translate

Minggu, 09 Oktober 2016

Biarkan Mereka Temukan Sendiri Talentanya



Saya pernah merasa menjadi ibu yang paling jahat sedunia. Hanya merasa lho ya... kenyataannya, saya yakin tidak ada seorang ibu pun yang ingin menjahati anak-anaknya. Betul...?

Itu terjadi ketika saya menyadari bahwa Raki merasa tertekan ketika belajar matematika, sementara saya selalu saja menyuruh, mendorong, dan memaksanya untuk terus menekuni rumus-rumus yang menyiksanya itu.
Saya juga sebenarnya tidak suka matematika, dan ingat betul bagaimana rasanya ketika dulu Ibu selalu memaksa saya untuk terus belajar matematika.
Jadi saya tahulah ya bagaimana perasaan Raki ketika dipaksa untuk mempelajari sesuatu yang tidak disukainya. Saya bahkan tahu, ketika sesuatu yang tidak disukai itu dipaksakan, maka yang tadinya hanya sekedar ‘tidak suka’ bisa naik tingkatannya menjadi ‘benci’. Yah paling tidak itu yang dulu sempat saya rasakan ketika masih harus berhadapan dengan yang namanya matematika, hehe....
Sayangnya, saya terlambat menyadarinya. Saya menyadari justru di saat potensi lain dalam diri Raki yang sebenarnya jauh lebih besar sudah mulai mati suri.
Dan saat itulah perasaan bersalah, perasaan gagal yang menyeruak membuat saya men-cap diri sebagai ibu yang paling jahat sedunia.
Sekarang, saya tidak lagi memaksanya belajar matematika. Dan hasilnya, beberapa waktu lalu saya merasa ‘kaget-kaget bahagia’ ketika wali kelas Raki mengatakan bahwa Raki mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam beberapa mata pelajaran (selain matematika tentu saja).
See... ? Ketika dia tidak merasa tertekan oleh matematika, potensi lain justru bermunculan dari dalam dirinya.
Dan orang bilang, anak pertama itu adalah tempatnya orang tua belajar. Kegagalan pengasuhan yang kita lakukan pada anak pertama, seharusnya tidak lagi terjadi pada adik-adiknya. Tapi inilah saya.
Saya kembali mengulang kesalahan yang sama ketika mengantar Rafka mengikuti lomba mewarnai untuk yang pertama kalinya. Melihat hasil mewarnai anak-anak yang memang berbakat di bidang itu membuat saya terobsesi menjadikan Rafka berbakat juga.
Tanpa sadar saya kembali menjadi monster yang memaksa anak melakukan hal yang tidak mereka suka.
Padahal Rafka sering kali mengeluh, “Ma, Dedek capek. Istirahat dulu ya...” Padahal baru beberapa menit dia memegang crayon atau pensil warna. Dan bodohnya, saya tidak menyadari bahwa sebenarnya itu adalah sebuah pertanda bahwa Rafka tidak enjoy ketika belajar mewarnai.
Saya tidak melihat bahwa dia tampak malas-malasan ketika saya sodorkan lembar mewarnai. Saya tidak sadar, tidak paham, dan tidak peka.
Dan kesadaran itu datang menyentak ketika suatu hari saya melihat beberapa hasil mewarnai Rafka yang kebanyakan tidak selesai. Bagus, tapi pasti tidak selesai.
Lalu tiba-tiba otak saya seperti memutar sebuah film yang berisi adegan-adegan di mana Rafka tampak lelah dan bete membaur-baurkan warna di bawah instruksi saya. *cry*
Dan sejak itu, saya stop menyuruh Rafka belajar mewarnai. Memang terkadang dia masih belajar menggambar dan mewarnai, tapi itu murni karena keinginannya sendiri. Bahkan terkadang saya merasa takjub karena ketika dia belajar karena keinginannya sendiri, maka hasilnya pasti akan jauh lebih bagus dari pada ketika dia belajar karena permintaan saya.
inilah 'belenggu' yang pernah saya ciptakan untuk Rafka :'(

Dan apa yang berhasil saya tangkap dari hal-hal ini? Ternyata ketika kita tidak membebani anak dengan obsesi-obsesi kita, mereka justru akan menemukan sendiri bakat-bakatnya. Dan bakat-bakat itu justru akan redup ketika kita menekan dan memaksa, apalagi di bidang yang tidak disukainya. *toyor-toyor kepala sendiri*
Saya tidak bilang kalau saya sudah menjadi orang tua yang baik sekarang. Tapi paling tidak, saya berusaha untuk bisa menjadi seperti itu. Saya bebaskan mereka menekuni apa yang mereka suka dan meninggalkan apa yang mereka tidak suka. Saya biarkan saja semua terjadi secara alami dalam diri mereka. Bukan tidak mungkin kan, ketika tidak ada paksaan dan tekanan, justru suatu saat nanti akan muncul kecintaan pada matematika dalam diri Raki? Hehe.....
Yang penting semua yang mereka lakukan positif, itu sudah cukup bagi saya. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk bisa menaklukkan dunia. Bukan hanya sebatas dengan prestasi-prestasi yang terlihat. Hal-hal kecil yang terlihat sepele pun, ketika dilakukan dengan tekun dan penuh cinta, maka akan menjadi sesuatu yang besar dan mengagumkan. Temans, mohon doanya ya... ^_^



1 komentar:

  1. Terima kasih postingannya, mencerahkan saya juga sebagai ortu. Anak2 saya masih balita jd belum tau sukanya apa krn msh semua dimainin. Sbnrnya bakat tu keliatan dr usia brp ya?

    BalasHapus