Kemarin, si
Kakak mengikuti kegiatan studi wisata alias piknik yang diadakan oleh sekolah.
Seumur-umur,
memang baru sekarang sih Kakak pergi tanpa keluarga selama lebih dari satu
hari. Dan itu sungguh membuat kami.... rempong wkwkwk...
Segala
perintilan, peralatan mandi, obat-obatan, semuanya saya siapkan dengan penuh ketelitian :D
Padahal
kalau diingat-ingat, dulu jaman saya masih sekolah dan mengikuti kegiatan yang
sama, saya mempersiapkan semua sendiri deh :D orang tua tahunya cuma ngasih
sangu dan sejuta wejangan untuk bersikap baik dan berhati-hati. Segala jaket,
handuk, sabun, sikat gigi, semua ya saya yang siap-siapin sendiri. Pokoknya
super mandiri hehe....
Tapi entah
kenapa sekarang begitu si Kakak yang mau piknik justru saya yang heboh dan
cerewet mempersiapkan ini itu.
Dari
beberapa hari sebelumnya saya sudah membuat list apa saja yang harus dibawa.
Dan lanjut dengan kerempongan mempersiapkan semua, lalu mencocokkan dengan list
menjelang keberangkatan. Sebenarnya yang mau pergi saya atau si Kakak sih?
Papanya
tidak kalah rempong. Sibuk memberitahu bagaimana harus menyimpan uang dan
handphone. Mengulang-ngulang hal yang sama sampai anaknya terlihat bosan :D
Pokoknya
kemarin itu, saya merasa bahwa kami adalah orang tua paling norak sedunia
(sadarnya baru sekarang sih wkwkwk). Anak pergi sebentar saja dan tidak terlalu
jauh pula, lebaynya minta ampun hahaha....
Sebenarnya
beberapa saat sebelum Kakak berangkat, saya sudah (agak) sadar sih. Soalnya
kasihan melihat dia yang tampak mulai tertekan karena papanya tidak henti
mengingatkan:
“Hati-hati
ya, kalau pas membungkuk begitu jangan sampai uang atau handphone yang disimpan
di kantong baju jatuh...”
“Hati-hati
lho kalau mencabut selembar uang yang disimpan di kantong celana, jangan sampai
menjatuhkan lembar yang lainnya”
“Kalau
sholat, tasnya diletakkan di depan tempat sujud ya, jadi kalau ada apa-apa bisa
langsung lihat...”
Lha saya
saja yang mendengar sampai bosan, apalagi si Kakak ya wkwkwk.....
Dan
tiba-tiba saja saya mengeluarkan sebuah ucapan yang membuat Kakak menganggap
bahwa saya adalah pahlawan supernya:
“Udahlah
biarin aja, kalau sampai hilang berarti bukan rejeki. Hitung-hitung buat
pembelajaran juga kan. Justru dia akan bisa jauh lebih berhati-hati kalau
pernah merasakan kehilangan...”
Begitu.
Saya berkata seperti itu ke papanya dan si Kakak pun tersenyum lega.
Orang tua
saya dulu tidak pernah se-‘cerewet’ itu kepada saya dalam hal menjaga uang.
Dan, Ya... saya mengalami kecopetan pertama saat duduk di kelas 1 SMA. Dan itu
kecopetan saya yang pertama sekaligus yang terakhir. Karena sejak mengalami
kehilangan tersebut, saya jadi super hati-hati dan waspada menjaga
barang-barang berharga saya.
Setelah
kecopetan yang pertama itu, saya berkali-kali hampir menjadi sasaran copet
lagi, tapi saya selalu berhasil menjaga dompet dan handphone. Entahlah, sinyal
kewaspadaan saya bekerja dengan sangat baik jika sedang berada di atas bus atau
tempat-tempat umum lainnya. Kalau menurut saya sih, mungkin ini karena saya
pernah merasakan kecopetan sebelumnya. Seandainya saya belum pernah
mengalaminya, kemungkinan sinyal kewaspadaan saya tidak akan sepeka ini.
Jadi orang
tua saya yang dulu seperti cuek dan tidak banyak menasehati saya untuk menjaga
barang berharga, sebenarnya mereka sedang mengenalkan ‘dunia yang sebenarnya’
pada saya. Sebenarnya mereka sedang membangun ‘sistem pertahanan’ pada diri
saya. Membiarkan saya bersedih dan menangis berhari-hari karena kehilangan
dompet yang masih baru plus uang jajan selama sebulan yang berada di dalamnya. Membiarkan
saya merasakan pedihnya kehilangan dan kemudian menjadi extra waspada tanpa
harus di-‘cereweti seperti yang kami lakukan terhadap si Kakak.
Kok saya
jadi merasa bersalah ya, karena sepertinya terlalu overprotective yang justru membuat si Kakak tidak kunjung menyadari
bahwa dunia itu ‘keras’. Yang apa-apa selalu kami jaga dan lindungi hingga
membuatnya bergantung pada kami.
Tiba-tiba
saja saya tersadar bahwa dalam beberapa tahun ke depan dia sudah akan
mengepakkan sayapnya meninggalkan kami (kok jadi syedih huuhuu...), sementara
kami belum mempersiapkannya menjadi manusia yang mampu menjaga dirinya sendiri. *tiba-tiba
panik.
Kepergian
Kakak kemarin itu fix membuat saya
menyadari bahwa mulai sekarang saya harus membiarkannya belajar lebih banyak
tentang kehidupan. Tidak lagi cerewet memberi tahu ini dan itu karena itu hanya
akan membuatnya tak kunjung mandiri. Cukup memantau dan tidak perlu segera ikut
campur saat dia tersandung masalah, supaya dia belajar menyelesaikan masalahnya
sendiri. Dengan tetap membentengi langkahnya dengan keimanan dan norma-norma
yang ada, mudah-mudahan sih dia sudah cukup siap saat kami harus melepasnya
pergi meraih impian dan cita-citanya.
Ketika
Kakak pergi piknik kemarin itu, mindset
saya berubah. Bahwa menyayangi bukan berarti selalu harus menjaganya dari
kesedihan, kegagalan, kehilangan. Menyayangi justru harus membiarkannya
merasakan berbagai rasa yang tidak menyenangkan, yang menyedihkan, mungkin
sampai menguras rasa dan air mata.
Satu saja
yang harus kita lakukan: Menemaninya.
Memeluknya, menggenggam tangannya, menegakkan kepalanya, menguatkan hatinya,
menyemangatinya... dan percaya bahwa
dia bisa melewatinya dan mengambil
hikmah dari kesedihan dan kehilangannya ^_^
Bismillah...
semangat ya Kak....
maklum mbak, saya juga gitu kok. jangankan satu hari, dia yang ekluar kora untuk outbond dan sorenya balik. wejangannya semilyar. peralatan ini masukkan disini, jangan samapai ketinggalan jadi harus a,b,c .... hahaha tapi dengan begini saya belajar juga, untuk nggak terlalu memnajkana dia dan lebih ngajarin mandiri dan tanggung jawab dengan barangnya sendiri.
BalasHapusMbak, si Kakak beruntung sekali punya Ibu yang perhatian, sayang, dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan dari pengalamannya. Sehat selalu ya, mbak.
BalasHapusDengan merasakan tidak hanya kesenangan, seseorang jadi belajar lebih dewasa melalui pengalaman
BalasHapus